PP Tembakau Kurang Lindungi Kepentingan Anak
Utama

PP Tembakau Kurang Lindungi Kepentingan Anak

Ada empat celah yang berpotensi membahayakan kepentingan anak.

ADY
Bacaan 2 Menit
Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait (kanan). Foto: Sgp
Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait (kanan). Foto: Sgp

Komnas Perlindungan Anak (PA), mengkritik PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Pasalnya, regulasi itu dinilai minim melindungi anak-anak dari dampak promosi industri rokok.

Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, melihat sedikitnya ada empat celah yang perlu dibenahi dalam peraturan tersebut. Pertama, kawasan tanpa rokok (KTR)yang hanya diwajibkan pada gedung-gedung tertentu seperti rumah sakit.

Padahal, untuk melindungi anak dari bahaya asap rokok, lanjut Arist, KTR itu perlu dibentuk di semua tempat. Bahkan, Komnas PA mengusulkan KTR dimulai dari rumah. Karena, sebagian besar anak menghabiskan waktunya di rumah. Bila orang tua si anak bebas merokok di rumah, maka si anak akan terpengaruh untuk merokok.

Dari puluhan kasus balita perokok yang ditangani Komnas PA, Arist mengatakan sebagian besar kegagalan terapi penyembuhan terjadi karena korban terpengaruh lingkungan. Contohnya, seorang balita perokok asal Sukabumi yang merokok 40 batang sehari. Ketika korban tersebut diterapi, kemudian berhasil menghilangkan kebiasaan merokok. Ironisnya, ketika pulang ke rumah, melihat orang sekitarnya masih merokok, si anak perokok itu kembali merokok.

Kedua, Komnas PA merasa industri rokok masih diberi ruang besar untuk melakukan promosi. Menurut Arist kegiatan promosi yang dilakukan industri rokok berpotensi besar menggaet anak-anak untuk merokok. Sayangnya, dalam PP Tembakau, peluang promosi itu masih bisa dilakukan semaksimal mungkin oleh industri rokok. Walau PP itu melarang industri rokok melakukan beberapa bentuk kegiatan promosi seperti pembagian rokok gratis, namun bagi Arist hal itu tak menjamin anak-anak terhindar dari bahaya rokok.

Misalnya, dengan promosi gencar, perusahaaan rokok memasang berbagai iklan di media. Mengingat anak-anak banyak menghabiskan waktu di depan televisi, iklan rokok yang dikemas atraktif itu menggiring anak-anak untuk merokok. "Iklan itu mengesankan kalau merokok itu keren," kata dia dalam jumpa pers di kantor Komnas PA di Jakarta, Rabu (30/1).

Ketiga, Arist menyoroti distribusi rokok. Dia mengakui bahwa PP Tembakau melarang anak-anak membeli dan menjual rokok. Namun, ketentuan itu tak dibarengi sanksi bagaimana jika pedagang rokok menjual rokok kepada anak-anak. Begitu pula dengan orang tua yang menyuruh anaknya membelikan rokok. Oleh karenanya, Arist mengatakan PP Tembakau hanya berisi pasal karet sehingga industri rokok tak akan takut dengan PP Tembakau.

Keempat, soal kemasan rokok. PP Tembakau mewajibkan setiap kemasan rokok memasang gambar bahaya merokok sebesar 40 persen dari bungkus yang ada. Menurut Arist hal itu sebagai langkah baik karena gambar akibat buruk merokok seperti paru-paru dan janin rusak, dipajang. Namun, Arist meragukan hal itu berlaku juga pada tiap iklan yang ditampilkan seperti baliho dan iklan di media.

Untuk menindaklanjuti terbitnya PP Tembakau, Arist mengatakan Komnas PA akan melakukan beberapa upaya. Dalam 18 bulan ke depan, Komnas PA dan koalisi yang tergabung dalam Total Ban akan mengadvokasi implementasi peraturan tersebut. Seperti melihat dampak diterbitkannya PP itu terhadap industri rokok, petani tembakau dan pekerja di pabrik rokok.

Pasalnya, Komnas PA mendengar selama ini ada dalih yang menyebut jika bisnis industri rokok dipersulit akan merugikan petani tembakau dan pekerja. Selain itu Komnas PA berencana membenahi ketentuan yang terdapat dalam PP Tembakau dengan cara mengajukan judicial review. Kemudian, mengingat UU Penyiaran rencananya akan direvisi di DPR, Arist mengatakan akan menggunakan peluang itu untuk memasukkan ketentuan agar industri rokok dilarang melakukan promosi lewat media.

Pada kesempatan yang sama, psikolog dan pakar hipnoterapis klinis, Liza Marielly Djapri, mengatakan promosi yang dilakukan industri rokok, seperti iklan di televisi dapat mempengaruhi anak-anak. Dengan iklan yang dikemas sesuai dengan semangat anak muda, maka iklan yang sering dilihat anak-anak di media, bisa memberi kesan bahwa merokok itu muda dan keren.

Keaktifan Pemda
Berdasarkan PP Tembakau, Arist menyebut pemerintah daerah dituntut aktif menjalankan peraturan itu. Pasalnya, sejumlah peraturan yang termaktub dapat terimplementasi jika pemerintah daerah mau melakukannya. Misalnya, KTR. Arist memperkirakan kawasan bebas asap rokok itu tak akan terwujud jika pemerintah daerah tak membuat ruang KTR. Walau begitu Arist menegaskan tak semua pemerintah daerah tak mendukung usulan Komnas PA untuk melindungi anak dari bahaya rokok.

Menurut Arist, sebelum PP Tembakau diterbitkan, Komnas PA dan koalisi sudah melakukan lobi-lobi ke beberapa pemerintah daerah untuk menerbitkan peraturan yang mengendalikan secara ketat peredaran rokok. Misalnya, pemerintah kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Dari pendekatan yang dilakukan Arist mengatakan pemerintah kota daerah tersebut sudah menerbitkan peraturan untuk melarang iklan rokok di daerahnya.

Kemudian, saat ini Arist mendengar kabar peraturan tersebut sudah ditingkatkan menjadi peraturan daerah. Alhasil, sekarang tidak ada iklan rokok yang terpampang di sepanjang jalan daerah itu, begitu juga media iklan lainnya. Bahkan KTR bukan hanya ada di tempat-tempat publik, tapi juga di rumah. "Sekarang warga berhati-hati kalo mau merokok, sekalipun di rumah," ucapnya.

Dari pantauannya terhadap Perda tersebut, Arist mencatat absennya pendapatan daerah dari iklan rokok tak seperti yang dihawatirkan. Pasalnya, sejak Perda itu diterbitkan tak berpengaruh signifikan terhadap berkurangnya pendapatan daerah. Sampai saat ini, Arist melihat upaya serupa sedang dilakukan beberapa daerah lain, salah satunya Bali. "Lihat saja di Bandara (Ngurah Rai,-red), sudah tidak ada baliho besar iklan rokok," tegasnya.

Sementara Liza menandaskan, untuk melindungi anak-anak dari bahaya rokok, dibutuhkan peraturan yang memiliki sanksi tegas. Secara psikologis, implementasi atas sanksi yang dijatuhkan akan terekam dalam alam bawah sadar anak-anak. Dengan begitu, anak mengetahui kalau merokok adalah hal yang dilarang. Sayangnya, dalam PP Tembakau, Liza tak melihat ada sanksi yang dapat dijatuhkan. “Sanksi yang kuat dapat masuk ke alam bawah sadar,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait