PP Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik Dinilai Berpotensi Diskriminatif
Utama

PP Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik Dinilai Berpotensi Diskriminatif

Seharusnya PP tak hanya mengatur hak cipta lagu dan/atau musik, tapi juga ciptaan yang lain seperti tari. Kalangan artis mempertanyakan bagaimana pengawasan dan pertanggungjawaban LMKN, apa perbedaan pusat data dengan sistem informasi lagu dan/atau musik (SILM).

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: Klinik Hukumonline
Ilustrasi: Klinik Hukumonline

Pemerintah telah menerbitkan (PP) No.56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. PP No. 56 Tahun 2021 yang diteken Presiden Jokowi pada 30 Maret 2021 ini terus menjadi sorotan publik. Tak lama kemudian Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) menerbitkan Permenkumham No.20 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksana PP No.56 Tahun 2021.

Kaprodi Magister dan Doktor Hukum Universitas Pelita Harapan sekaligus Ketua Pengawas Sentra Lisensi Musik Indonesia, Henry Soelistyo, mengatakan PP No.56 Tahun 2021 merupakan langkah progresif dalam industri musik terutama dalam hal pengelolaan royalti. Meski menyambut baik terbitnya PP yang diundangkan 31 Maret 2021 ini, Henry menilai PP ini eksklusif dan berpotensi memunculkan kebijakan yang diskriminatif.

Sebab, PP ini hanya mengatur tentang pengelolaan royalti hak cipta lagu dan/atau musik, khususnya performing rights. Dia berpendapat performing rights seharusnya tak hanya untuk ciptaan berupa lagu dan/atau musik saja, tapi juga untuk tari. Jika yang diatur hanya hak cipta lagu dan/atau musik seharusnya bisa dituangkan aturannya dalam bentuk yang lebih teknis, seperti Peraturan Menteri.

Menurutnya, beleid ini merupakan peraturan tertinggi yang diterbitkan pemerintah tanpa melibatkan legislatif, seharusnya yang diatur sifatnya lebih luas. “Ada diskriminasi kebijakan, pengabaian oleh pemerintah. Padahal prinsipnya jika yang satu diperhatikan maka lainnya jangan diabaikan,” kata Henry dalam webinar “Diskusi Artis & Akademisi Menyikapi Royalti Musik Dalam Perspektif Musisi dan Akademisi: Implementasi PP No.56 Tahun 2021”, Kamis (15/4/2021). (Baca Juga: PP 56/2021 Pertegas Kewajiban Royalti Terkait Pemutaran Lagu-Musik Bersifat Komersial)  

Henry mengusulkan PP ini bisa menjadi payung untuk mengatur rumpun performing right dan copyright tak hanya untuk lagu dan/atau musik, tapi juga mencakup yang lain seperti tari. Untuk pengaturan teknis yang lebih detail bisa dilakukan lewat peraturan menteri. “Mau dibawa kemana hak cipta kalau hanya eksklusif pengaturannya mengenai lagu dan/atau musik. Ini masalah yang dihadapi dari sisi policy,” kata dia.

Tantangan lain, kata Henry, pengelolaan hak cipta terkait dengan pencatatan. PP No.56 Tahun 2021 mengatur lagu dan/atau musik dicatatkan dalam daftar umum ciptaan (DUC) dimana pencatatan dilakukan berdasarkan permohonan. Pencatatan juga dapat dilakukan lewat Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKM) berdasarkan kuasa pencipta, pemegang hak cipta.   

Setelah dicatatkan dalam DUC, kemudian masuk dalam pusat data dan lagu. Tapi perlu diingat dalam mengajukan permohonan pencatatan harus melampirkan bukti pembayaran sebagaimana diatur dalam PP No.16 Tahun 2020 tentang pencatatan Ciptaan dan Produk Hak Terkait.

Besaran tarif pencatatan hak cipta dan lisensi diatur dalam PP No.28 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku Pada Kemenkumham. Biaya pencatatan hak cipta untuk pemerintah, lembaga pendidikan, UMKM sebesar Rp200 ribu (online) dan Rp250 ribu (nonelektronik). Untuk umum biaya pencatatan hak cipta sebesar Rp200 (online) dan Rp250 ribu (nonelektronik). Biaya pencatatan lisensi Rp200 ribu.

“Bagi lagu dan/atau musik yang hits mungkin biaya tersebut tidak menjadi soal, tapi bagaimana jika yang mendaftarkan ahli waris dengan karya yang mau dicatatkan jumlahnya ratusan? tentu ini menjadi tantangan.”

Henry menilai persoalan lain yakni keberadaan pusat data lagu dan/atau musik itu sebagai dasar untuk pengelolaan royalti. Artinya hak cipta yang belum tercatat di pusat data lagu dan/atau musik berpotensi royaltinya tidak dapat dikelola lewat LMKN. Seperti diketahui, PP No.56 Tahun 2021 memberi kewenangan LMKN untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta, dan pemilik hak terkait di bidang lagu dan/atau musik.

Dengan adanya biaya pencatatan tersebut, belum tentu pencipta atau ahli warisnya mampu secara teknis dan finansial melakukan pencatatan. “Dari kajian cost and benefit hal ini (pencatatan hak cipta, red) bisa menjadi tantangan. Kecuali ada klausul yang menegaskan ini digratiskan dalam rangka membangun database (pusat data), tapi nanti benturan lagi dengan PP No.28 Tahun 2019,” papar Henry.

Posisi LKMN semakin jelas 

Artis, Elfonda (Once) Mekel, mengatakan secara umum kalangan artis sudah akrab dengan isu pengumpulan dan distribusi royalti karena itu sudah dimulai awal tahun 1990 melalui Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI). Paling akrab dengan pengelolaan royalti tersebut yakni bagi pencipta. Sedangkan untuk artis kategori performer bisa jadi ini hal baru, begitu juga artis yang bertindak juga sebagai produser.

Once melihat tanggapan kalangan artis terhadap PP No.56 Tahun 2020 sangat beragam, ada yang menyambut positif, tapi ada juga yang pesimis beleid ini dapat berjalan baik. Tapi yang jelas PP tersebut menuntaskan (mengakhiri, red) dualisme antara LMKN dan LMK. Menurutnya, LMKN posisinya semakin jelas sebagai organisasi yang menaungi semua proses pengumpulan dan distribusi royalti.

Tapi, muncul beberapa pertanyaan dari kalangan artis, misalnya bagaimana mekanisme pengawasan LMKN, bagaimana laporannya setiap tahun apakah detail atau tidak, kemudian apa perbedaan pusat data dengan sistem informasi lagu dan/atau musik (SILM). Kalangan musisi juga bertanya darimana dana yang akan digunakan untuk membangun SILM, apakah memotong royalti atau dari pemerintah (APBN).

“Jika SILM yang dibangun LMKN nanti memotong royalti, musisi (artis) akan merasa sangat berat,” kata mantan vokalis band Dewa 19 itu.

Sementara Senior Partner Guido Hidayanto and Partners, Mohamad Kadri, mengatakan cara pandang utama yang harus dipahami adalah kekayaan intelektual harus dihargai. Karena itu, ciptaan harus dilindungi dan diakui. Dia berpendapat PP No.56 Tahun 2021 ini intinya mengatur tentang performing right lagu dan/atau musik. Bentuknya, antara lain pemutaran/pertunjukan lagu dan/atau musik di kafe, bar, kelab malam, dan konser musik. Begitu juga rekaman yang diputar lewat radio dan tv.

Dalam pengelolaan royalti ini, menurut Kadri penting membangun data yang kemudian digunakan LMKN untuk menarik dan mendistribusi royalti. Ke depan diharapkan ada sistem yang akan menjadi pusat transaksi hak cipta. Tantangannya bagaimana agar sistem yang dibangun ini transparan dan memuaskan semua pihak.

“Jika melalui SILM ini sistemnya bisa transparan, menjadi ideal, sehingga pengelolaan royalti seperti penarikan dan pendistribusian dilakukan dengan jelas,” katanya.

Tags:

Berita Terkait