PP OSS Dinilai Lemahkan Posisi Wajib AMDAL
Utama

PP OSS Dinilai Lemahkan Posisi Wajib AMDAL

Selama ini, posisi strategis AMDAL sebagai pengambil keputusan. Namun OSS justru mengesampingkan AMDAL dalam mempertimbangkan terbitnya izin lingkungan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pemerintah terus berupaya untuk mempermudah proses perizinan di Indonesia. Hadirnya Online Single Submission (OSS) yang diluncurkan pada tahun lalu diharapkan dapat mendukung upaya percepatan penanaman modal. OSS merupakan platform yang disediakan pemerintah untuk mengurus perizinan secara terintegrasi.

 

Layanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PBTSE), yang lebih mudah disebut dengan nama generik OSS ini hadir dalam rangka pelayanan perizinan berusaha yang berlaku di semua Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia yang selama ini dilakukan melalui Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Selain melalui PTSP, masyarakat dapat mengakses Sistem OSS secara daring di mana pun dan kapan pun.

 

Sistem OSS dibangun dalam rangka percepatan dan peningkatan penanaman modal dan berusaha, dengan cara menerapkan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik. Dalam beleid terbaru mengenai OSS, yakni PP No. 24 Tahun 2018, Pemerintah mengatur antara lain tentang jenis, pemohon, dan penerbitan perizinan berusaha; pelaksanaan perizinan berusaha; reformasi perizinan berusaha per sektor, sistem OSS, lembaga OSS, pendanaan OSS; insentif atau disinsentif pelaksanaan perizinan berusaha melalui OSS; penyelesaian permasalahan dan hambatan brusaha; serta sanksi.

 

Apa yang membedakan OSS dengan pengurusan perizinan sebelum OSS? Sistem OSS membalik proses perizinan yang dilakukan sebelumnya. Jika sebelumya izin operasional atau izin komersil dikeluarkan setelah serangkaian perizinan seperti izin lingkungan, AMDAL, dan lain sebagainya, dikantongi oleh pengusaha. Namun dengan OSS, dengan Nomor Induk Berusaha (NIB), pengusaha bisa mendapatkan izin operasional dan izin komersil, dan proses AMDAL diselesaikan secara bertahap pasca NIB terbit.

 

Namun rupanya, proses AMDAL yang diletakkan setelah NIB terbit, mendapat perhatian tersendiri bagi beberapa pihak seperti akademisi dan pegiat-pegiat lingkungan. Pakar Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hariadi Kartodiharjo menyoroti PP OSS yang meletakkan wajib AMDAL setelah terbitnya NIB. Menurut Hariadi, tindakan itu justru melemahkan posisi AMDAL yang selama ini berfungsi sebagai pengambil keputusan.

 

Hariadi juga menegaskan bahwa PP OSS bertentangan dengan semangat UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang memperkuat posisi AMDAL. (Baca Juga: Dinilai Tabrak Aturan Sana Sini, PP OSS Harus Direvisi)

 

“Jadi pertimbangan lingkungan itu seharusnya bukan cuma sekedar hanya untuk mempertahankan proyek kemudian dampaknya ditangani, tapi justru posisi AMDAL itu bisa sampai pada satu keputusan bahwa proyek ini tidak bisa dilakukan. Nah maka PP OSS itu sendiri sudah melemahkan posisi AMDAL padahal dalam UU 32/2009 itu ‘kan muncul hal yang lain seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dan beberapa instrumen lingkungan yang tujuannya waktu pembuatannya itu menyadari kalau AMDAL itu lemah, oleh karena itu ditambah beberapa instrumen yang lain,” kata Hariadi kepada hukumonline, Selasa (14/5).

 

Menurut Hariadi, ada konsep yang keliru dari penerbitan OSS. Urusan-urusan percepatan izin, lanjutnya, tidak serta merta bisa diukur dengan waktu yang diperpendek. Persoalan pokok terkait perizinan di Indonesia adalah adanya konflik kepentingan yang menyebabkan adanya korupsi, suap dan lainnya. Artinya, masalah perizinan berada di sisi tata kelola dan bukan penyederhanaan prosedur.

 

“Nah semua peraturan itu diasumsikan bahwa untuk mempercepat segala sesuatu maka prosedurnya diringkas, itu keliru. Karena sebelum diskusi ini saya juga kontak ke beberapa informan bahwa menggunakan peraturan berbasis OSS apa lebih efisien apa enggak, semua jawab enggak, bahkan sama saja. Mengurus ini tetap pakai duit, tidak pasti dan sebagainya,” tambah Hariadi.

 

Seharusnya, pemerintah lebih mengedepankan keterbukaan informasi publik terkait AMDAL, atau melakukan penguatan tim penilai AMDAL yang sayangnya hal tersebut tidak disentuh oleh PP OSS. Sehingga, ia menilai pemerintah salah mengidentifikasi masalah pada tahap ini.

 

Kehadiran PP OSS justru membuat posisi AMDAL menjadi tidak strategis ketika hanya dengan mengantongi izin komitmen, pelaku usaha bisa mendapatkan izin lingkungan. Dengan izin lingkungan, pelaku usaha bisa melakukan berbagai aktivitas seperti pengadaan tanah dan sebagainya. Sehingga keberadaan AMDAL tidak mempengaruhi apapun terhadap proyek kecuali sekedar mitigasi terkait dampak yang harus ditangani.

 

Hariadi mengacu kepada konsep AMDAL yang dipraktikkan di luar negeri, di mana ada pengurangan wajib AMDAL. Studi AMDAL yang pernah dilakukan untuk proyek yang sama tidak perlu diulang lagi karena sudah memiliki standar yang sama. Sementara di Indonesia, studi AMDAL masih diwajibkan oleh seluruh pelaku usaha meskipun proyek tersebut sudah pernah dilakukan oleh pelaku usaha yang berbeda.

 

Demi efisiensi waktu, studi AMDAL yang pernah dilakukan untuk kasus yang sama tidak diperlukan sehingga AMDAL hanya difokuskan kepada penguatan pengendalian, pengelolaan, dan pemantauan lingkungannya.

 

“Oleh karena itu yang diurangi itu kegiatan wajib amdalnya, yang tadi wajib amdalnya itu ada studi, ini tak usah, langsung saja ke pemantauan, pengawasan, perbaikan lingkungan. Amdal itu posisi strategis sebagai pengambil keputusan dan itu dilemahkan, nah saya mengusulkan wajib AMDAL dikurangi, memang substansinya sudah enggak perlu, orang melakukan studi sudah puluhan kali studi enggak usah diulang, studi itu uang, duit, yang menimbulkan inefisiensi,” tambah Hariadi.

 

Kadiv Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup Indonesian Center for Environmental Law (Icel), Margaretha Quina, menegaskan bahwa pada dasarnya AMDAL berfungsi sebagai pencegahan atas pencemaran lingkungan yang mungkin disebabkan oleh sebuah proyek. Jika wajib AMDAL diletakkan dibelakang setelah izin lingkungan, fungsi pencegahan itu menjadi hilang.

 

Di sisi lain, lanjutnya, penerbitan izin lingkungan tanpa syarat wajib AMDAL jelas melanggar UU PPLH. Tindakan tersebut diancam dengan hukuman pidana sesuai dengan pasal 109, pasal 110, dan pasal 111 UU PPLH.

 

Pasal 109:

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satumiliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 110:

Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 111:

(1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

 

“Di mana-mana, setahu saya AMDAL itu posisinya di depan. Tujuannya apa, tujuannya ‘kan preventif. Bagaimana misalnya pelaku usaha sudah melakukan kegiatan usahanya tiba-tiba AMDAL-nya tidak diterima? Bagaimana?,” jelas Quina.

 

Sementara itu, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Merah Johansyah, menambahkan bahwa JATAM menolak PP OSS ini. Meskipun sektor pertambangan belum masuk dalam perizinan yang diatur oleh OSS, tapi izin lingkungan pertambangan diatur oleh OSS.

 

Menurutnya, PP OSS justru mempercepat dan memperluas ekspansi pertambangan. Hal ini akan berdampak kepada masyarakat yang berada di lokasi pertambangan.

 

“Tidak ada ruang bagi masyarakat korban terdampak dan bahkan menghilangkan peran masyarakat sipil karena di dalam PP OSS tadi masyarakat yang dilibatkan cuma masyarakat terdampak, masyarakat lain seperti pemerhati lingkungan hidup termasuk NGO lain tidak mendapatkan ruang untuk melakukan monitoring,” ungkapnya.

 

Merah berpendapat jika keberadaan PP OSS ini hanya menguntungkan bagi investasi pertambangan dan kepastian berusaha. Sementara itu keterlibatan masyarakat atas rencana bisnis pertambangan menjadi terbatas. Apalagi, lokasi-lokasi pertambangan biasanya berada di remote area yang jauh dari transportasi, dan komunikasi.

 

Tags:

Berita Terkait