PP Larangan Ekspor Mineral Pengaruhi Perekonomian Daerah
Berita

PP Larangan Ekspor Mineral Pengaruhi Perekonomian Daerah

Khususnya daerah pengekspor mineral.

FAT
Bacaan 2 Menit
PP Larangan Ekspor Mineral Pengaruhi Perekonomian Daerah
Hukumonline
Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua PP No. 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara atau biasa yang dikenal dengan Larangan Ekspor Mineral Mentah memiliki persoalan tersendiri bagi perekonomian daerah. Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter Bank Indonesia (BI), Doddy Zulverdi, mengatakan berlakunya PP tersebut mempengaruhi perekonomian di daerah.

“Khususnya daerah-daerah yang mayoritas pengekspor mineral,” kata Doddy di Jakarta, Selasa (18/2).

Sejumlah daerah yang terpengaruh PP tersebut, lanjut Doddy, mayoritas berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI), antara lain Papua, Sulawesi, Maluku dan Kalimantan. Menurutnya, berlakunya PP itu berdampak pada melambatnya perekonomian di wilayah-wilayah tersebut.

“Dampak penerapan kebijakan pengaturan ekspor mineral dalam jangka pendek dapat mengurangi kinerja ekspor di beberapa wilayah di KTI,” kata Doddy.

Doddy mengatakan, melambatnya ekspor di KTI lantaran terdapatnya penyesuaian oleh pengusaha lokal dalam hal implementasi kebijakan pengaturan ekspor mineral tersebut. Menurutnya, penyesuaian pengusaha tersebut berupa tengah dibangunnya smelter-smelter untuk mendukung ekspor mineral, yang awalnya mentah menjadi bahan jadi.

Kondisi ini pula yang menyebabkan ekspor di KTI akan melambat. Bahkan, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun 2014 di KTI akan berada di level 4,5 persen hingga 5,0 persen. Hal ini jaug dari angka pertumbuhan secara nasional 2014 yang berada di level 5,8 persen hingga 6,2 persen.

“Mereka perlu penyesuaian dengan pihak ekspor yang ada dan pembangunan smelter, tahap awal pertumbuhan mineral lebih melambat,” ujar Doddy.

Sedangkan untuk dua wilayah KTI seperti Bali dan Nusa Tenggara tak akan terganggu dengan adanya impelentasi kebijakan pengaturan ekspor mineral tersebut. “KTI bervariasi, Bali dan Nusa Tenggara membaik, sementara kawasan Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua melambat,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) Jero Wacik yakin bahwa bea keluar ekspor mineral yang terdapat di PP No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara atau dikenal dengan Larangan Ekspor Mineral Mentah tak akan merugikan pengusaha. Alasannya, mineral yang diekspor setelah dimurnikan akan semakin tinggi harganya.

“Material yang diekspor harganya jauh lebih tinggi, kena biaya keluaran sebetulnya tidak rugi,” kata Jero di Komplek Parlemen di Jakarta, selasa (28/1).

Atas dasar itu, lanjut Jero, PP tersebut bermaksud untuk memaksa perusahaan tambang memurnikan hasil pertambangannya. Salah satu caranya dengan membangun smelter baru yang bertujuan untuk mengolah atau memurnikan hasil tambangnya. “Kalau perusahaan mau buat smelter, selesai itu,” katanya.

Jero mengatakan, PP yang mulai berlaku pada 12 Januari 2014 tersebut intinya melarang ekspor mineral mentah. Maka itu, ada instrumen tarif bea keluar yang dikenakan pada ekspor tersebut berdasarkan kadar pemurniannya. Secara garis besar, semakin sedikit pemurnian yang dilakukan tarif bea keluarnya akan semakin mahal.
Tags:

Berita Terkait