PP 56/2021 Pertegas Kewajiban Royalti Terkait Pemutaran Lagu-Musik Bersifat Komersial
Utama

PP 56/2021 Pertegas Kewajiban Royalti Terkait Pemutaran Lagu-Musik Bersifat Komersial

Pengenaan royalti untuk penggunaan lagu dan/atau musik secara komersial sudah berjalan sejak UU Hak Cipta terbit pertama kali tahun 1982. Pasal 3 ayat (2) PP No.56 Tahun 2021 mengatur 14 bentuk layanan publik yang bersifat komersial yang dikenakan royalti.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: Klinik Hukumonline
Ilustrasi: Klinik Hukumonline

Pemerintah terus membenahi pengelolaan hak cipta, khususnya untuk lagu dan/atau musik. Belum lama ini, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Beleid ini diterbitkan, antara lain untuk mengoptimalkan fungsi pengelolaan royalti hak cipta atas pemanfaatan ciptaan dan produk hak terkait di bidang lagu dan/atau musik sesuai ketentuan Pasal 87, 89, dan 90 UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Misalnya, Pasal 89 (1) UU No.28 Tahun 2014 menyebutkan “Untuk pengelolaan Royalti Hak Cipta bidang lagu dan/atau musik dibentuk 2 (dua) Lembaga Manajemen Kolektif Nasional yang masing-masing merepresentasikan keterwakilan sebagai berikut: a. kepentingan Pencipta; dan b. kepentingan pemilik Hak Terkait.”

Staf Ahli Menteri Bidang Reformasi Birokrasi dan Regulasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Ari Juliano Gema, mengatakan PP No.56 Tahun 2021 ini hanya mempertegas kewajiban pembayaran royalti untuk lagu dan/atau musik. Selama ini kewajiban pembayaran royalti memang sudah sejak berlakunya UU No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, dan penarikan royalti kepada pengguna lagu dan/atau musik telah dijalankan sejak 1990-an.

“Selama ini sudah ada kewajiban pembayaran royalti sejak UU Hak Cipta pertama kali terbit tahun 1982,” kata Ari Juliano Gema saat dihubungi Hukumonline, Kamis (8/4/2021). (Baca Juga: Peringati Hari Musik Nasional, Yuk Simak Prosedur Pencatatan Hak Cipta)

Dalam UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur adanya lembaga manajemen kolektif (LMK) yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.

Dia menyebut LMK jumlahnya banyak dan kadang membingungkan pengguna lagu secara komersial. Misalnya suatu lembaga penyiaran banyak disambangi LMK untuk menagih royalti, sehingga lembaga penyiaran itu bingung. Oleh karena itu dibentuk LMK Nasional (LMKN) yang berfungsi sebagai koordinator LMK.

Ari menjelaskan LMKN berwenang untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti dari pengguna yang bersifat komersial. Untuk itu, keberadaan PP No.56 Tahun 2021 mempertegas apa yang dimaksud dengan layanan publik bersifat komersial yang dikenakan royalti. Royalti sendiri adalah imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu Ciptaan atau produk Hak Terkait yang diterima oleh Pencipta atau pemilik Hak Terkait.  

Secara prinsip, Pasal 3 ayat (1) PP 56/2021 menyebutkan setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait melalui LMKN.

Dalam Pasal 3 ayat (2) PP No.56 Tahun 2021 mengatur 14 bentuk layanan publik yang bersifat komersial. Pertama, seminar dan konferensi komersial. Kedua, restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek. Ketiga, konser musik. Keempat, pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut. Kelima, pameran dan bazar. Keenam, bioskop.

Ketujuh, nada tunggu telepon. Delapan, bank dan kantor. Sembilan, pertokoan. Sepuluh, pusat rekreasi. Sebelas, lembaga penyiaran televisi. Duabelas, lembaga penyiaran radio. Tigabelas, hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel. Empatbelas, usaha karaoke. “PP ini mempertegas apa yang dimaksud dengan layanan publik bersifat komersial yang terkena royalti,” kata pria yang dikenal sebagai Advokat dan Konsultan Hukum Hak Kekayaan Intelektual dari Kantor Hukum Assegaf Hamzah & Partners ini   

Selain itu, Ari mencatat ada 3 hal baru yang diatur dalam PP No.56 Tahun 2021. Pertama,memandatkan Menteri (Menteri Hukum dan HAM) untuk membentuk pusat data lagu dan/atau musik. Kedua, LMKN membangun sistem informasi lagu dan/atau musik (SILM). Ketiga, keringanan tarif royalti untuk penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik pada usaha mikro kecil menengah.

Ke depan, dia mendorong pemerintah agar mengatur juga royalti untuk karya dalam bentuk selain lagu dan/atau musik, misalnya karya buku dan film. Menurutnya, kedua jenis karya itu ikut menghadapi tantangan yang berat di era yang serba digital saat ini.

Tags:

Berita Terkait