Potret Pengungsi Korban Tsunami di Lampung Selatan
Foto Essay

Potret Pengungsi Korban Tsunami di Lampung Selatan

Trauma mendengar Gunung Anak Krakatau yang hampir tiap detik bergemuruh.

Resa Esnir
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES

Ribuan warga penghuni Pulau Sebesi dan Sebuku, Lampung Selatan, hampir tak percaya bahwa Sabtu 22 Desember 2018 lalu mengubah aktivitas yang biasa mereka lakukan. Hari itu, Gunung Anak Krakatau erupsi sehingga menyebabkan tsunami yang menerjang pantai di Pandeglang hingga sebagian wilayah pesisir Lampung Selatan.

Hukumonline.com

Ratusan orang pun meninggal akibat bencana ini. Ribuan lainnya, harus meninggalkan tempat tinggal mereka dan mengungsi ke wilayah yang lebih aman. Termasuk ribuan warga asal Pulau Sebesi dan Sebuku yang mengungsi menyeberang laut ke wilayah Kalianda, Lampung Selatan, sejak beberapa hari lalu.

Hukumonline.com

Hampir sepekan sudah ribuan warga dua pulau tersebut meninggalkan tanah kelahiran mereka. Evakuasi dilakukan dengan cepat oleh pemerintah lantaran para warga takut terjadi tsunami lagi.

Hukumonline.com

Hingga kini, ribuan warga tersebut masih menunggu keputusan dari Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan terkait dengan waktu pemulangan kembali ke tempat asalnya di Pulau Sebesi dan Sebuku.

Hukumonline.com

Salah satu pengungsi adalah Ibu Sutijah yang berusia 85 tahun. Trauma dan bingung bercampur aduk. Ia menuturkan, saat kejadian tsunami, dirinya sempat terseret air, dan akhirnya bisa terselamatkan oleh warga lainnya sehingga lari ke wilayah yang lebih tinggi.

Hukumonline.com

“Sekarang bingung mau pulang tapi rumah sudah tidak ada, selain itu masih trauma air akan meluap lagi,” lirihnya sambil menangis mengingat kejadian itu.

Hukumonline.com

Sutijah juga trauma mendengar gemuruh gunung Anak Krakatau. Hampir tiap detik, gunung tersebut meletus dan gemuruhnya membuat ciut nyali. “Selain itu bunyi letusan Krakatau jangan sampai terulang lagi, ngeri dengarnya hampir setiap detik gemuruh dari gunung anak krakatu itu berbunyi," tuturnya.

Hukumonline.com

Mahfud menceritakan, pasca tsunami perahu miliknya hancur berantakan. Pada saat tsunami menerjang, dirinya lari ke atas gunung dan tetap tinggal di dataran tinggi selama tiga hari tiga malam. Selama itu, mereka mendirikan tenda darurat. Ia mengaku sempat merasakan tsunami pada tahun 1983 silam, namun tak sedahsyat sekarang.

Hukumonline.com

“Awalnya tidur di gubuk-gubuk yang ada di gunung. Pada malam kedua, barulah kami mendirikan tenda,” kata Hilmiah, warga Desa Tejang Dusun Tiga Regahan Lada, menambahkan.

Hukumonline.com

Cuaca dingin pada malam hari, nyamuk, dan ancaman binatang seperti ular dan lainnya, mereka rasakan bersama. Pada siang hari, sebagian memberanikan diri turun, sekadar melihat keadaan rumah dan harta benda yang terdampak tsunami.

Hukumonline.com

Selama tiga hari itu, mereka sempat beberapa kali memutuskan untuk pulang kendati sebagian besar rumah hancur. Namun, begitu suara letusan Gunung Anak Krakatau menggelegar, mereka kembali berhamburan ke gunung.

Hukumonline.com

Pulau Sebesi hanya berjarak 10 kilometer dari Gunung Anak Krakatau. Hari kelima pasca tsunami tepatnya tanggal 29 Desember warga Pulau Sebesi dievakuasi oleh TNI dengan menggunakan kapal KRI Torani.

Hukumonline.com

Jumlah pengusi di Lapangan tenis indoor Kalianda, terutama warga dari Pulau Sebesi Terus bertambah, dari hanya ratusan orang menjadi sekitar seribuan. Hingga Minggu (30/12) malam, pantauan hukumonline.com jumlah pengungsi tsunami di Kalianda, Lampung Selatan, akibat erupsi Gunung Anak Krakatau lebih dari 7.500 orang.

Hukumonline.com

Enam hari setelah tsunami melanda Selat Sunda dan menimbulkan kerusakan serta korban jiwa di kawasan pesisir Banten dan Lampung, gelombang pengungsi terus berdatangan dari Pulau Sebesi dan tempat lain.

Hukumonline.com

Tags: