Mahfud menceritakan, pasca tsunami perahu miliknya hancur berantakan. Pada saat tsunami menerjang, dirinya lari ke atas gunung dan tetap tinggal di dataran tinggi selama tiga hari tiga malam. Selama itu, mereka mendirikan tenda darurat. Ia mengaku sempat merasakan tsunami pada tahun 1983 silam, namun tak sedahsyat sekarang.
“Awalnya tidur di gubuk-gubuk yang ada di gunung. Pada malam kedua, barulah kami mendirikan tenda,” kata Hilmiah, warga Desa Tejang Dusun Tiga Regahan Lada, menambahkan.
Cuaca dingin pada malam hari, nyamuk, dan ancaman binatang seperti ular dan lainnya, mereka rasakan bersama. Pada siang hari, sebagian memberanikan diri turun, sekadar melihat keadaan rumah dan harta benda yang terdampak tsunami.
Selama tiga hari itu, mereka sempat beberapa kali memutuskan untuk pulang kendati sebagian besar rumah hancur. Namun, begitu suara letusan Gunung Anak Krakatau menggelegar, mereka kembali berhamburan ke gunung.
Pulau Sebesi hanya berjarak 10 kilometer dari Gunung Anak Krakatau. Hari kelima pasca tsunami tepatnya tanggal 29 Desember warga Pulau Sebesi dievakuasi oleh TNI dengan menggunakan kapal KRI Torani.
Jumlah pengusi di Lapangan tenis indoor Kalianda, terutama warga dari Pulau Sebesi Terus bertambah, dari hanya ratusan orang menjadi sekitar seribuan. Hingga Minggu (30/12) malam, pantauan hukumonline.com jumlah pengungsi tsunami di Kalianda, Lampung Selatan, akibat erupsi Gunung Anak Krakatau lebih dari 7.500 orang.
Enam hari setelah tsunami melanda Selat Sunda dan menimbulkan kerusakan serta korban jiwa di kawasan pesisir Banten dan Lampung, gelombang pengungsi terus berdatangan dari Pulau Sebesi dan tempat lain.