Potensial Kriminalisasi Advokat, KUHP Nasional Kembali Dipersoalkan
Utama

Potensial Kriminalisasi Advokat, KUHP Nasional Kembali Dipersoalkan

Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 509 KUHP Nasional bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau dibatalkan.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Dinilai potensial kriminalisasi profesi advokat, UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau lazim disebut KUHP Nasional kembali dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohonnya, Mohamad Anwar yang berprofesi sebagai advokat dan tercatat aktif dalam organisasi Kongres Advokat Indonesia (ISL). Saat ini, pemohon menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Banten KAI (ISL).

Melalui Tim Kuasa Hukumnya, Mohamad Anwar sebagai advokat merasa hak konstitusional potensial dirugikan atas berlakunya Pasal 509 KUHP Nasional. Sebab, advokat saat menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik baik di dalam maupun di luar persidangan potensial terjerat kasus pidana atau dikriminalisasi.

“Secara resmi, kami telah mendaftarkan permohonan pengujian Pasal 509 KUHP Nasional ini pada 26 April 2023,” ujar salah satu Kuasa Hukum Pemohon, Viktor Santoso Tandiasa saat dikonfirmasi Hukumonline, Senin (1/5/2023).   

Baca Juga:

Selengkapnya Pasal 509 KUHP Nasional berbunyi:

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III:

  1. Advokat yang memasukan atau meminta memasukan dalam surat gugatan atau surat permohonan cerai atau permohonan pailit, keterangan tentang tempat tinggal atau kediaman tertugat atau debitur, padahal diketahui atau patut diduga bahwa keterangan tersebut bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya.
  2. Suami atau istri yang mengajukan gugatan atau permohonan cerai yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat atau sebagaimana dimaksud dalam huruf a; atau
  3. Kreditur yang mengajukan permohonan pailit yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

“Pasal 509 KUHP Nasional telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan menimbulkan ancaman dan ketakutan bagi advokat saat menjalankan tugas profesinya serta mengancam martabat/kehormatan advokat. Untuk itu, kami meminta MK menyatakan Pasal 509 KUHP Nasional bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau dibatalkan,” ujar Viktor menyebutkan petitum permohonan ini.

Dalam permohonannya, pemohon mengingatkan prinsip hukum dalam Pasal 16 UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat jo Putusan MK No.26/PUU-XI/2013. Seorang advokat mendapat imunitas saat menjalankan tugas dengan adanya surat kuasa dari pemberi kuasa (klien) berdasarkan iktikad baik. Artinya, saat advokat sudah mendapatkan kuasa dari klien, dalam menjalankan tugas untuk kepentingan pembelaan klien di dalam ataupun di luar pengadilan, selama didasari ada iktikad baik, apa yang dilakukan advokat tersebut tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana.   

Dalam pertimbangan Putusan MK No.110/PUU-X/2012, Mahkamah juga tidak mempertimbangkan adanya penundaaan keberlakuan atas UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang diatur dalam Pasal 108 dan tidak harus menunggu hingga UU 11/2012 tersebut berlaku (2 tahun ke depan), Mahkamah langsung mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya.

Pemohon menilai terdapat kesamaan karakter antara objek pengujian dalam Perkara No.110/PUU-X/2012 dengan objek dalam pengujian perkara a quo, dimana terhadap Pasal 509 UU 1/2023 juga belum diatur di KUHP ataup UU 18/2003. Apalagi, ketentuan Pasal 509 KUHP Nasional adalah aturan baru yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) ataupun dalam UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat.  

“Karena itu, alasan pemohon mengajukan pengujian norma a quo untuk mencegah terjadinya jerat pidana bagi advokat yang sedang menjalankan tugasnya. Jadi, tidak perlu menunggu harus jatuhnya korban yang tidak bersalah saat ketentuan norma a quo sudah berlaku (setelah 3 tahun ke depan, red).”

Seperti diketahui, sebelumnya MK telah “menggugurkan” sejumlah pengujian pasal dalam KUHP Nasional, Selasa (28/2/2023) lalu. Pertama, pengujian Pasal 433 ayat (3), Pasal 434 ayat (2), dan Pasal 509 huruf a dan b KUHP yang dimohonkan Advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dengan nomor perkara 1/PUU-XXI/2023.

Kedua, 20 mahasiswa yang diwakili kuasa hukumnya, Zico Leonard Djagardo dan Dixon Sanjaya. Para pemohon mempersoalkan Pasal 256 KUHP tentang unjuk rasa yang berpotensi menghambat mahasiswa berunjuk rasa dan Pasal 603 serta Pasal 604 mengenai minimal pidana korupsi dengan nomor perkara 10/PUU-XXI/2023.  

Ketiga, pengujian Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) KUHP terkait tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap presiden/wakil presiden dan lembaga negara/kekuasaan umum, termasuk dengan sarana teknologi informasi. Permohonan ini diajukan oleh Fernando Manullang (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia/Pemohon I); Dina Listiorini (Dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta/Pemohon II); Eriko Fahri Ginting (Content Creator/Pemohon III); dan Sultan Fadillah Effendi (Mahasiswa/Pemohon IV) yang tercatat dengan nomor perkara 7/PUU-XXI/2023 dan juga diwakili kuasa hukumnya, Zico Leonard Djagardo.

Dari ketiga perkara pengujian KUHP Nasional itu, intinya MK menilai KUHP baru akan berlaku tiga tahun lagi yakni pada 2 Januari 2026, sehingga pasal-pasal KUHP yang dimohonkan pengujian para pemohon belum berdampak atau menimbulkan kerugian konstitusional baik kerugian secara potensial (di masa depan) maupun aktual (saat ini). Karena itu, MK menyimpulkan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, sehingga pokok permohonan tidak dipertimbangkan. Akankah pengujan UU Advokat ini bernasib sama?          

Tags:

Berita Terkait