Potensi Sengketa Berbasis Daring Besar, BPKN Jajaki Mekanisme ODR
Berita

Potensi Sengketa Berbasis Daring Besar, BPKN Jajaki Mekanisme ODR

Dapat dipergunakan untuk penyelesaian sengketa lintas batas.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Rombongan BPKN dan tamunya dari Jepang membahas antara lain ODR. Foto: BPKN
Rombongan BPKN dan tamunya dari Jepang membahas antara lain ODR. Foto: BPKN

Ekonomi berbasis digital terus tumbuh di Indonesia. Hubungan hukum yang tercipta pasca disrupsi teknologi telah menyebabkan perubahan pada pola transaksi. Transaksi barang dan jasa secara daring mengalami peningkatan. Apalagi jumlah pengguna perangkat komunikasi (mobilephone) dan internet di Indonesia sangat banyak. Indonesia termasuk negara pengguna internet tertinggi di dunia.

Tetapi, perkembangan ekonomi digital di Indonesia bukan tanpa masalah atau potensi risiko hukum. Dalam perspektif hukum perlindungan konsumen, meningkatnya ekonomi digital juga membuka peluang meningkatnya komplain dan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Sumber sengketa bisa beragam: mulai dari kualitas barang, keterlambatan pengiriman, atau adanya cacat tersembunyi (verborgen gebreken).

Ada beberapa hal penyebab sengketa bisnis yang sudah diatur dalam BW (KUH Perdata). Misalnya Pasal 1504 dan Pasal 1506 menyebutkan bahwa penjual harus bertanggung jawab atas cacat tersembunyi pada barang sedemikian rupa sehingga barang itu tidak dapat digunakan untuk tujuan dimaksud, atau mengurangi pemakaian. Seandainya pembeli mengetahui sejak awal cacat tersembunyi, maka ia tidak akan membelinya. Bahkan penjual harus menjamin barang terhadap cacat tersembunyi meskipun ia tidak mengetahui adanya cacat itu, kecuali sejak awal sudah diperjanjikan bahwa ia tidak wajib menanggung akibat cacat tersembunyi tersebut. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga menganut prinsip hubungan konsumen-produsen yang baik.

(Baca juga: Jika Barang yang Dijual Mengandung Cacat Tersembunyi).

Potensi terjadinya komplain dan sengketa konsumen itu menjadi bagian dari diskusi yang berlangsung antara Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dengan tamunya, Consumen Affair Agency of Japan, National Consumer Affairs Center of Japan, ODR Room Network, dan Mitsubishi IFJ Research and Consulting, di aula Kementerian Perdagangan, Rabu (8/1) lalu. Melalui pertemuan ini, BPKN mencoba menjajaki kemungkinan penanganan sengketa secara daring (online dispute resolution/ODR).

Menyambut tamunya, Wakil Ketua BPKN, Rolas B.  Sitinjak, mengatakan bahwa pertemuan itu membuka peluang pendalaman atas permasalahan penanganan sengketa melalui ODR. Ini juga membuka peluang kerjasama pembangunan ODR dengan Consumer Affair Agency of Japan. “Sehingga bisa menjadi solusi penanganan sengketa lintas batas, khususnya antara Indonesia dan Jepang,” ujarnya.

Rolas menjelaskan ada beberapa kendala perlindungan konsumen di era digital seperti sekarang. Misalnya, penyesuaian regulasi akibat teknologi yang cepat berubah, penguatan kerja sama lintas batas, mengurangi dampak buruk penarikan produk, dan penyelesaian sengketa secara daring (online).

Pengamat hukum perlindungan konsumen, Abustan, berpendapat penyelesaian sengketa konsumen secara daring sangat dibutuhkan saat ini. “Bahkan suatu keniscayaan dalam merespons dinamika perkembangan, khususnya keberadaan teknologi elektronik di era digitalisasi. Sehingga masyarakat (konsumen) butuh instrumen hukum sebagai sarana untuk melindungi kepentingan dan memperjuangkan hak-hak yang nyata-nyata telah dirugikan oleh pelaku usaha,” jelas dosen Pascasarjana Universitas Islam Djakarta (UID) itu.

Abustan melihat dua sisi perkembangan teknologi dalam hubungannya dengan hukum perlindungan konsumen, Di satu sisi, teknologi telah memudahkan orang melakukan transaksi, misalnya membeli suatu barang, atau memesan makanan. Dalam konteks ini, konsumen cenderung dimanjakan. Namun di sisi lain, tak dapat dipungkiri bahwa transaksi secara daring sangat rentan menimbulkan implikasi hukum.

(Baca juga: Buah Pemikiran Prof. Retno Murni Soal Penguatan Perlindungan Konsumen).

Peluang terjadinya sengketa bukan sesuatu yang mustahil. Data menunjukkan bahwa tidak kurang dari 268,2 juta pengguna digital di Indonesia. Meskipun tidak semuanya pengguna telepon genggam, namun ratusan juta orang punya akses ke jaringan internet. Peluang untuk melakukan transaksi digital semakin besar. Malahan, saat ini sudah lazim melakukan pemesanan barang lintas negara. Contoh konkrit dalam dunia pidana adalah penipuan yang dilakukan sejumlah WNA di Indonesia.

Data berikut dapat dijadikan perbandingan. National Consumer Affairs Center of Japan (NCAC) dalam tiga tahun terakhir menerima pengaduan yang meningkat signifikan. Pengaduan melalui ODR pada tahun 2016 mencapai 891.000 pengaduan, meningkat jadi 941.000 pengaduan tahun 2017, dan setahun kemudian menjadi 992.000 pengaduan. Pada tahun 2018 ada 5.882 kasus yang dikemukakan oleh NCAC terkai pengaduan lintas batas. Pengaduan tertinggi yang diterima berkaitan barang dan jasa sebanyak 23% adalah  perangkat lunak/software.

NCAC menaruh perhatian pada masalah transaksi lintas batas. Sebanyak 62% didominasi oleh permasalahan pemutusan kontrak secara sepihak, barang palsu, dan dugaan penipuan. Kartu kredit menjadi metode pembayaran pembelian barang/jasa lintas batas yang paling banyak mengundang permasalahan, jumlahnya sejumlah 4.344 (74%) dari total pengaduan. Sebagian besar transaksi lintas batas didominasi e-Commerce.

Shinju Ueda, pejabat Consumer Affairs Agency of Japan menyampaikan bahwa konsultasi dan pengaduan konsumen di Jepang ditangani 1.200 kantor Consumer Affairs Center lokal yang terkoordinir di bawah National Consumer Affair Center. NCAC juga menangani Crossborder Consumer Center Japan (CCJ) yang menangani sengketa lintas batas dengan negara lain. Ia juga berpendapat bahwa ODR merupakan keniscayaan bagi perlindungan di Indonesia.

Rolas juga sependapat. “Pemerintah beserta pemangku kepentingan lainnya harus bahu membahu mewujudkannya agar kepercayaan bertransaksi meningkat dan konsumen semakin berdaya sehingga target AS$7 trilyun PDB pada tahun 2045 bisa tercapai", pungkas Wakil Ketua BPKN berlatar belakang advokat itu.

Hambatan

Para pemangku kepentingan sebenarnya menyadari pentingnya ODR digunakan untuk menyelesaikan sengketa bisnis daring. Tetapi Abustan melihat forum ODR belum menjadi pilihan konsumen. Ia melihat hambatannya datang dari kultur masyarakat yang cenderung malas untuk repot-repot berurusan dengan hukum. Budaya ‘nrimo’ masih kuat terpatri di benak sejumlah orang, sehingga kerusakan barang, misalnya, diterima begitu saja. Budaya demikian berkelindan dengan kesadaran hukum masyarakat. Apalagi konsep ODR seperti apa masih belum jelas bagi konsumen.

(Baca juga: Begini Rekomendasi LIPI untuk Antisipasi Banjir Impor e-Commerce).

Dijelaskan Abutan, sebetulnya ODR bisa diajukan di Pengadilan Negeri setempat. Dengan dalil atau alasan hukumnya karena wanprestasi, jika memang ada kesepakatan (perjanjian) yg tidak dipenuhi atau ada barang yg tidak sesuai dalam perjajian. Selain itu, juga bisa Perbuatan Melawan Hukum (PMH) jika bisa diuraikan nilai kerugian yg ditimbulkan. Akan tetapi, prosesnya sangat panjang atau memakan waktu. “Tetapi untuk sebuah pencarian kepastian hukum dan atau sebuah nilai keadilan, tentu jalur dan upayanya harus demikian,” jelasnya kepada hukumonline.

Terakhir, kata dia, keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) tentu juga bisa menjadi pilihan sebagai sebuah upaya langkah pertama, yaitu mencoba pdnyelesaian masalah konsumen di luar ranah pengadilan. Dengan tetap mengedepankan dan/atau memaksimalkan upaya rekonsiliasi dengan tata cara musyawarah-mupakat.

Tags:

Berita Terkait