Potensi Penghasilan Negara dari Sektor Laut Terhambat Sampah Plastik
Berita

Potensi Penghasilan Negara dari Sektor Laut Terhambat Sampah Plastik

Tanpa penanggulangan bersama, sampak akan bertambah dua kali lipat pada 2040.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Sarasehan ILUNI FHUI berkenaan dengan pengelolaan sampah plastik di laut. Foto: RES
Sarasehan ILUNI FHUI berkenaan dengan pengelolaan sampah plastik di laut. Foto: RES

Data World Wildlife Fund (WWF) pada tahun 2015 menyebutkan estimasi nilai total aset laut mencapai 24 triliun dolar AS (ASD). Aset laut bisa berupa sumber daya air yang memiliki nilai setara 6,9 triliun; jalur layaran senilai 5,2 triliun, productive coastline, dan penyerapan karbon sebesar 4,3 trilun. Sementara itu, luas keseluruhan lautan dunia sebesar 361.132.000 kilometer persegi. Angka ini setara dengan 71 persen luas permukaan bumi terdiri dari laut.

 

Luas lautan Indonesia sendiri diketahui sebesar 6.400.000 kilometer persegi, setara dengan 5,32 persen dari lautan dunia. Berdasarkan perhitungan dari Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115), dengan luas laut Indonesia yang sedemikian, maka total nilai aset laut Indonesia sebesar 1.277 triliun ASD atau senilai Rp18.513,6 triliun. Nilai ekonomi maritim Indonesia menurut Dewan Kelautan Indonesia pada tahun 2013 berpotensi mencapai sebesar 171 miliar dolar per tahun.

 

Angka-angka di atas tentu saja merupakan potensi pendapatan yang tidak kecil bagi negara. Tentu saja salah satunya dengan cara mengelola persoalan yang saat ini tengah terjadi di laut Indonesia. Salah satunya yang tengah menjadi perhatian para pegiat lingkungan terkait laut adalah sampah. Pendiri Indonesia Center for Enviromental Law (ICEL), Mas Achmad Santosa menyebutkan kurang lebih 650.000 ton sampah plastik berakhir di laut. Angka ini berdasarkan studi terbaru (2019) National Plastic Action Partnership (NPAP).

 

“Kebocoran terbesar ke lau adalah dari wilayah remote 15 persen, dan rural 12 persen. Analisis ini belum mencakup sampah plastik di laut yang bersumber langsung dari laut seperti bekas alat tangkap dan sebagainya,” ujar Mas Achmad Santosa dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI) di Jakarta, Selasa (15/10/2019).

 

(Baca juga: ICEL Tagih Komitmen Pemerintah Tangani Sampah Plastik di Laut)

 

Menurut Koordinator Satgas 115 Kementerian Kelautan dan Perikanan ini, pada 2040 jumlah sampah plastik di laut akan meningkat dua kali lipat. Berdasarkan permodelan NPAP, dengan skenario tidak melakukan apapun atau mempertahankan, jumlah kebocoran ke laut, danau dan sungai akan berlipat-lipat. Dengan kata lain, tanpa penambahan kapasitas, kebocoran diperkirakan lebih dari dua lipat lipat menjadi 1,6 juta ton per tahun pada 2040. “Jika pertumbuhan kapasitas pengumpulan sampah konstan, kebocoran ke air diperkirakan meningkat 1.4 juta ton per tahun pada 2040,” ujar pria yang kerap akrab disapa Ota ini.

 

Menurut Ota, hal ini ikut dipengaruhi oleh peningkatan timbulan sampah plastik perorang dan peningkatan jumlah penduduk Timbulan sampah plastik pada 2017 mencapai 6,8 juta ton. Pada tahun 2040, total timbulan sampah plastik per orang diperkirakan meningkat 66 persen atau 26 sampai 44 kilogram per orang pertahun, antara 2017–2040. Kebocoran sampah plastik ke laut ini berasal dari sampah plastik yang tidak terangkut di Indonesia dimana rata-ratanya sekitar 61 persen.

 

Oleh karena itu, salah satu cara untuk menangani persoalan sampah laut, Pemerintah telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No. 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut. Dalam Perpres ini memuat Rencana Aksi Penanganan Sampah Laut dengan target 70 persen pengurangan sampah plastik di laut, pengurangan 30 persen sampah dari sumber, 70 persen penanganan sampah. Pemerintah Daerah juga telah mengambil peran dengan membuat Perda penanganan sampah.

 

Tidak hanya itu, komunitas bisnis pun saat ini telah mulai mengorganisir diri dan mulai mengambil aksi. Misalnya komitmen Unilever untuk mengurangi penggunaan plastik baru 50 persen pada 2025. Selain itu, oraganisasi masyarakat sipil perlu berpartisipasi dalam menggerakkan masyarakat dan pilot project se-Indonesia.

 

Advokat yang juga partner pada Ginting & Reksodiputro, Daniel Ginting mengungkapkan banyak sekali potensi bisnis dan investasi di sektor kelautan yang hingga kini belum tersentuh. Salah satu yang dapat digerakkan adalah pariwisata. Namun pengembangan investasi pariwisata di laut terkendala masalah sampah di laut. “Investasi yang ingin usaha di bidang kelautan mempunyai tantangan yang sangat besar,” ujar Daniel.

 

Selain sampah, perizinan juga harus diperhatikan. Dalam konteks ini, perlu ada kampanye berkesinambungan untuk mengajak seluruh pemangku kepentingan agar lebih sadar atas potensi bisnis sektor kelautan. Daniel berharap Pemerintah sebagai pihak yang memberi izin dan masyarakat pesisir yang akan menjadi garda terdepan mesti sadar akan pentingnya menjaga kebersihan pantai dan laut dari sampah.

 

(Baca juga: Gerakan Tanpa Plastik Sekali Pakai)

 

Direktur Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) Tiza Mafira mengungkapkan  tren peningkatan sampah plastik selama ini didukung tren penggunaan plastik. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Sejumlah negara maju didunia pun menurut Tiza menghadapi persoalan yang sama. Bahkan lebih jauh, negara-negara maju tersebut belum memiliki infrastruktur yang cukup untuk mendaur ulang sampah plastik yang dihasilkan. “Makanya mereka kemudian mengirim ke luar negeri di mana Indonesia menjadi salah satu tujuan,” ungkap Tiza.

 

Kini, masyarakat internasional tengah merumuskan strategi penanganan sampah. Hal pertama yang telah dimulai adalah dengan kampanye untuk mengurangi penggunaan plastik. Kampanye seperti ini bertujuan mengubah perilaku.Kebijakan pemerintah dapat dipergunakan untuk mendorong perubahan ini.

 

Climate Policy Initiative sudah turun ke beberapa daerah untuk mendorog pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan. Yang pertama kali disasar adalah daerah pesisir karena masyarakat pesisir paling potensial terdampak pertama kali masalah sampah di laut. “Berdasarkan studi World Bank, sampah kantong plastik merugikan pariwisata sebesar 170-an juta dolar Amerika Serikat. Bayangkan berapa kerugian kita?” ungkap Tiza.

 

Direktur Konservasi WWF Indonesia, Lukas Adhyakso menganggap perlu adanya kesadaran untuk mengubah pola relasi anatara manusia dengan laut. Jika hari-hari ini, kesadaran tentang menjaga kebersihan hutan dan gunung dari sampah, maka kesadaran yang sama kurang lebih harus bisa dibangun untuk menghadapi persoalan sampah di laut. “Kita harus berfikir mengubah hubungan kita dengan laut. Gerakan penyelamatan laut dari sampah plastik sedang gencar-gencarnya,” ujar Lukas.

 

Ia juga mendrong agar dunia usaha ikut memperhatikan aspek ini. Untuk itu Lukas mengajak dunia usaha mulai mengubah aktifitas penggunaan plastik. Setidaknya dengan mengurangi volume penggunaan, meningkatkan volume pengemasan sehingga kemasan yang menggunakan plastik tidak lebih banyak, dan sebagainya. “Perlu inovasi lain untuk hal ini. Indonesia adalah negara kepulauan. Berbeda dengan Jakarta (yang sudah memiliki fasilitas daur ulang sampah), bagaimana dengan daerah yang tidak ada fasilitas daur ulang sampah. Bagaimana sampah ini harus di buang?” 

 

Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Edmon Makarim menyebutkan peran hukum dalam menghadapi persoalan ini adalah menjadikan hukum sebagai alat rekayasa sosial. Kebijakan yang dihasilkan diharapkan mampu menjadi jalan keluar untuk mengubah perilaku masyarakat dalam menggunakan dan mengelola plastik. Ia menyadari mayoritas sampah di laut berasal dari aktivitas masyarakat di darat.

 

“Ada beberapa peraturan tentang sampah. Kebijakan publik dan masyarakat, peraturan nasional dan daerah telah mulai dirasakan. Sebagai salah satu kampanye, meluncurkan serangkaian kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Isu penanggulan sampah harus ditangani secara komprehensif,” tutup Edmon.

Tags:

Berita Terkait