Potensi Langgar Etik, KY Diminta Periksa Majelis Gugatan Binsar Goeltom
Berita

Potensi Langgar Etik, KY Diminta Periksa Majelis Gugatan Binsar Goeltom

Namun, KY enggan berkomentar karena sebagai pihak termohon atau tergugat dalam perkara ini.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung PTUN Jakarta: Foto: RES
Gedung PTUN Jakarta: Foto: RES

Sidang gugatan Hakim Pengadilan Tinggi Bangka Belitung Binsar M. Goeltom terkait legalitas calon hakim hakim agung dari jalur nonkarier memasuki tahap pembuktian di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pada Desember 2018 lalu, melalui kuasa hukumnya A. Irmanputra Sidin, Binsar melayangkan gugatan ke PTUN Jakarta gara-gara Komisi Yudisial (KY) meloloskan calon hakim agung (CHA) dari kalangan hakim nonkarier.   

 

Adapun objek gugatan Binsar menyangkut Pengumuman Hasil Seleksi Administrasi CHA Tahun 2018 dengan No. 07/PENG/PIM/RH.01.02/09/2018 dan Keputusan Pengumuman Hasil Seleksi CHA Tahun 2018 Tahap Kedua (Kualitas) dengan No. 07/PENG/PIM/RH.01.03/10/2018. Intinya, gugatan ini gara-gara seleksi CHA Tahun 2018, KY menjaring hakim nonkarier sebagai peserta CHA.

 

Padahal, surat Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial No. 4/WKMA-NY/7/ 2018, membutuhkan hakim agung yang berasal dari hakim karier untuk kamar pidana, perdata, agama, militer. KY harus menyeleksi sejak awal CHA sesuai kebutuhan MA, bukan mengikutsertakan calon-calon lain yang tidak dibutuhkan MA. Karenanya, kedua objek sengketa itu dinilai bertentangan dengan Pasal 7 huruf b butir 3 UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA cq Putusan MK No. 53/PUU-XIV/2016 tanggal 19 Juli 2017 dan Surat Permintaan Wakil Ketua MA mengenai hakim agung dari hakim karier.

 

Putusan MK ini menyatakan Pasal 7 huruf b butir 3 UU MA inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan keahlian di bidang hukum tertentu dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum tertentu. Artinya, CHA nonkarier harus memiliki syarat pendidikan doktor dan magister bidang hukum tertentu termasuk pendidikan sarjana hukum atau sarjana lain.

 

Namun, sejumlah LSM yang bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Peradilan meminta majelis hakim PTUN Jakarta yang memeriksa perkara hakim Binsar ini menghentikan proses gugatan perkara ini. “Meminta KY memeriksa potensi adanya pelanggaran etik yang serius terhadap majelis hakim yang memeriksa perkara ini,” kata perwakilan dari YLBHI, M. Isnur saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (21/2/2019). Selain YLBHI, Koalisi ini terdiri dari PBHI, LBH Jakarta, ICW, ICJR, Indonesian Legal Roundtable, Kode Inisiatif.

 

Isnur menilai gugatan ini potensial membuat para hakim TUN melanggar prinsip utama peradilan yakni Nemo Judex Ideneus In Propia Causa atau Nemo Judex In Sua Causa, hakim tidak boleh mengadili perkara dimana ia berkepentingan dengan kasus itu sendiri. Menurutnya, dalam tataran praktis, prinsip ini sudah dimasukan dalam Prinsip Ketiga Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) Tahun 2009 tentang Berperilaku Arif dan Bijaksana.

 

Selengkapnya bunyi poin Ketiga KEPPH, “Hakim dilarang mengadili perkara di mana anggota keluarga hakim yang bersangkutan bertindak mewakili suatu pihak yang berperkara atau sebagai pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara tersebut.”

 

“Dalam kasus ini jelas sekali bahwa hakim yang memeriksa, secara tidak langsung punya kepentingan terhadap gugatan Binsar,” tegasnya. Baca Juga: MK ‘Rombak’ Syarat Pendidikan dan Pengalaman CHA

 

Terlebih, para hakim PTUN yang memeriksa perkara ini merupakan hakim karier yang berkepentingan terhadap permohonan ini. “Ini Jelas dapat menjatuhkan derajat hakim itu sendiri,” tudingnya.

 

Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini secara tidak langsung berkepentingan agar Putusan MK No. 53/PUU-XIV/2016 itu dapat memperkuat tafsir subjektif agar seleksi CHA tereduksi menjadi hanya sekedar proses seleksi terhadap hakim karier. “Hakim yang memeriksa perkara ini diduga melanggar KEPPH,” tegasnya.

 

Dia mengingatkan semangat awal reformasi peradilan sesuai konstitusi, keberadaan KY sebenarnya untuk menguatkan independensi hakim dengan melakukan seleksi CHA terhadap orang-orang di luar pengadilan yang berintegritas dan cakap untuk memperkuat dan mereformasi MA secara kelembagaan.

 

Hal ini terlihat dari masuknya sejumlah hakim agung nonkarier yang berkompeten, seperti Bagir Manan, Artidjo Alkostar, Komariah Emong Sapardja, dan sejumlah hakim nonkarier lain. “Upaya Binsar ‘meminjam’ tangan PTUN untuk menutup akses CHA nonkarier yang telah diatur sejak awal reformasi, akan menutup pintu orang-orang berkualitas dan berkompeten di luar hakim karier untuk mengabdi kepada kepentingan publik,” kata dia.

 

Menanggapi desakan Koalisi agar KY memeriksa majelis hakim gugatan hakim Binsar, Komisioner KY Bidang Rekrutmen Hakim Aidul Fitriciada Azhari enggan berkomentar karena KY sebagai pihak termohon atau tergugat atas perkara ini. “KY tidak dapat memberikan komentar atas proses peradilan perkara yang sedang berjalan ini. Senin (25/2) besok, KY baru akan menghadirkan bukti dan saksi fakta,” kata dia.

 

Terkait gugatan keputusan hasil seleksi CHA Tahun 2018, Aidul menegaskan seluruh proses seleksi CHA sudah berjalan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilaksankan secara profesional dan independen. “Untuk peserta CHA dari hakim karier dan nonkarier, KY berpegangan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan prinsip nondiskriminasi,” katanya.  

Tags:

Berita Terkait