Potensi Konflik Ini Paling Dikhawatirkan Jika Tak Ada Batasan Belanja Kampanye
Berita

Potensi Konflik Ini Paling Dikhawatirkan Jika Tak Ada Batasan Belanja Kampanye

Pengawasan terhadap aktivitas kampanye yang menggunakan kekuatan keuangan dinilai masih lemah.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
ilustrasi kampanye. Ilustrator: BAS
ilustrasi kampanye. Ilustrator: BAS

Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum mengatur ketentuan rinci mengenai batas maksimal pembelanjaan dana kampanye. Meskipun saat ini telah ada Peraturan KPU No. 24 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye, susbtansinya hanya mengatur pembatasan maksimal sumbangan dana kampanye kepada peserta pemilu. Sementara batasan belanja kampanye masih belum diatur rinci, sehingga dibutuhkan inisiatif KPU.

Pengaturan tentang batas belanja kampanye penting jika dilihat dari potensi konflik kepentingan. Maksudnya adalah konflik kepentingan para penyumbang dana kampanye terhadap keberadaan pasangan calon presiden dan wakil presiden, atau calon anggota legislatif peserta pemilu. “Banyak uang yang terkumpul akan menimbulkan konflik kepentingan yang menyumbang akan semakin besar,” ujar peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramdhani, kepada hukumonline, Selasa (2/10).

Ketiadaan ketentuan yang mengatur batasan maksimal belanja kampanye sebenarnya sudah bisa dilacak sejak UU No. 10 Tahun 2016 mengenai pemilihan kepada daerah disahkan. UU yang secara substansial mengatur perubahan kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 ini juga tidak mengatur batas maksimal belanja kampanye.

Namun, berdasarkan hasil musyawarah dengan pasangan calon kepala daerah saat itu, diaturlah batas maksimal belanja kampanye dengan memperhatikan indeks kemahalan daerah. “Makanya kita mendorong (KPU) ke depan karena ini adalah pemilu serentak,” tambah Fadli.

(Baca juga: Ingat, Peserta Pemilu Wajib Melakukan Pembukuan Dana Kampanye).

Sebenarnya, UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Peraturan KPU No. 24 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye, mengatur batas maksimal sumbangan perorangan dan perkumpulan atau kelompok atau perusahaan. Nominalnya relatif besar. Selain itu jarang terjadi penyumbang dana kampanye memberikan sumbangan semaksimal nilai yang ditentukan. Meski demikian, dari batas maksimal sumbangan bisa terlihat gambaran potensi uang yang beredar dalam momentum pemilu cukup besar.

Dana yang keluar semakin besar jika dilihat dari jadwal kampanye yang relatif panjang. Sejak deklarasi damai oleh penyelenggara pemilu dan seluruh peserta pemilu, 23 September lalu, masa kampeye  hingga berselang masa tenang minus tiga hari (H-3) sebelum pemungutan suara. Artinya, waktu kampanye akan berlangsung cukup panjang, kurang lebih tujuh bulan. “Tujuh bulan kampanye, apa berarti dana kampanye akan sangat besar jumlahnya?” ujar mantan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Alfon Kurnia Palma, dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu.

Batas maksimal belanja kampanye saat ini memang masih menjadi pekerjaan rumah penyelenggaraan pemilu. Jika dilihat dalam praktik, tidak semua aktivitas kampanye yang menggunakan sumberdaya finansial dicatatkan oleh peserta pemilu dalam Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK). Tidak semua aktivitas kampanye dicatatkan oleh peserta pemilu di RKDK, yang menunjukkan ketidaksiapan peserta pemilu menjalankan sistem yang telah dibuat penyelenggara. “Padahal setiap pengeluaran kampanye, baik itu dalam bentuk uang tunai, barang/jasa, wajib di catatakan di dalam RKDK,” tambah Fadli.

Ada semacam lingkaran anomali dalam penyelenggaraan kampanye jika dilihat dalam perspektif dana kampanye. Di satu sisi, pengawasan terhadap aktivitas kampanye yang menggunakan kekuatan keuangan masih dipandang lemah oleh sebagian pihak. Di sisi lain, belum ada batasan belanja kampanye yang ditetapkan penyelenggara. Padahal, atmosfir politik biaya tinggi (highcost politic) belum ditekan secara maksimal. Persoalan ini dapat mengancam penyelenggaraan pemilu yang bersih dan menghasilkan pejabat publik yang berintegritas.

Bisa dibayangkan aktivitas kampanye yang disokong modal besar. Peserta pemilu tampil dengan wajah royal di hadapan masyarakat pemilik hak suara, sementara di balik itu, mesin politik bekerja untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya demi menyelenggarakan kampanye yang tidak murah. Akses terhadap sumber uang yang tidak seimbang bisa berdampak pada ruang pertarungan yang juga tidak seimbang. Hal ini bisa dilihat dari struktur penyumbang dana kampanye pada Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Ada empat perusahaan. Macam-macam perusahaannya. Ada yang bergerak di bidang investasi, ada juga yang berasal dari perusahaan teknologi," terang perwakilan tim bendahara Tim Kampanye Nasional pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 01, Syafrizal beberapa waktu lalu. Jika dilihat dari LADK pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dipublikasikan diwebsite resmi KPU, sumbangan yang berasal dari pihak lain dengan kriteria perseorangan sebesar Rp1.001.000.000,-; sementara sumbangan yang bersumber dari pihak lain dengan kategori badan usaha nonpemerintah sebesar Rp7.500.000.000.

(Baca juga: DPR: Jangan Cari Dana Kampanye di Luar Ketentuan).

Komponen ini yang tidak dimiliki oleh pasangan calon presiden dan calon wakil presiden lain, setidaknya berdasarkan LADK yang telah dilaporkan. Untuk itu, persoalan transparansi penyumbang dana kampanye muncul ke permukaan. KPU diminta untuk membuka ke publik, identitas penyumbang dana kampanye sebagaimana yang telah dituangkan lewat LADK. Komisioner KPU Hasyim Ashari mempersilahkan publik untuk mengakses informasi tersebut melalui website resmi KPU. “Diumumkan di website KPU,” jawabnya pendek.

Penguatan kapasitas pengawas Pemilu juga jadi persoalan penting. Lembaga pengawas harus mampu menjalankan tugas pengawasan terhadap pelaksanaan kampanye, terutama dalam menemukan dan menentukan ada tidaknya kategori pelanggaran terhadap ketentuan penggunaan dana kampanye. Ada kemungkinan terjadi manipulasi laporan penggunaan dana kampanye. Realitas di lapangan bisa digunakan untuk mengukur kesesuaian jumlah belanja kampanye yang dihabiskan, tetapi lembaga pengawas tak kan mungkin bisa melihat realitas di lapangan seluruhnya.

Undang-Undang Pemilu mengatur sanksi terhadap pelanggaran terhadap manipulasi laporan dana kampanye itu, termasuk sanksi diskualifikasi. Untuk itu, menurut Charles Simabura, penting meningkatkan kapasitas pengawas pemilu dalam melaksanakan tugas-tugas pengawasan terhadap penggunaan belanja kampanye. “Terutama menafsirkan pasal-pasal pidana dan administratif terhadap pelanggaran,” jelas akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang itu.

Tags:

Berita Terkait