Potensi Kembalikan Dwi Fungsi ABRI, Koalisi Uraikan 6 Catatan Revisi UU TNI
Terbaru

Potensi Kembalikan Dwi Fungsi ABRI, Koalisi Uraikan 6 Catatan Revisi UU TNI

Seperti perluasan fungsi TNI tak hanya sebagai alat pertahanan negara tapi juga keamanan negara. TNI berpotensi digunakan untuk menghadapi masyarakat yang dianggap sebagai ancaman negara.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Pemerintah menyiapkan draf revisi UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Centra Initiative, Elsam, Imparsial, PBHI, YLBHI, dan Public Virtue menyoroti sejumlah ketentuan dalam RUU TNI.  Setidaknya terdapat sejumlah catatan yang menjadi perhatian atas materi muatan revisi UU 34/2004.

Direktur Imparsial Gufron Mabruri, menilai usulan perubahan sejumlah pasal  dalam UU 34/2024 berpotensi membahayakan demokrasi, negara hukum, dan pemajuan HAM di Indonesia. Karenanya, pemerintah diharapkan dapat meninjau kembali rencana merevisi UU 34/2004.

“Kami menandang pemerintah sebaiknya meninjau ulang agenda revisi UU TNI, mengingat hal ini bukan merupakan agenda yang urgen untuk dilakukan saat ini,” katanya dikonfirmasi, Rabu (10/05/2023).

Koalisi mencatat sedikitnya 6 catatan dan/atau usulan perubahan pasal dalam draf revisi UU TNI yang berpotensi mengembalikan Dwi Fungsi ABRI. Pertama, perluasan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara. Revisi UU TNI yang memasukan fungsi TNI bukan hanya sebagai alat pertahanan negara tetapi juga keamanan negara adalah hal yang keliru. Dalam negara demokrasi fungsi militer sebagai alat pertahanan negara yang disiapkan untuk menghadapi perang.

Menempatkan militer sebagai alat keamanan negara membahayakan demokrasi karena militer dapat digunakan untuk menghadapi masyarakat yang dianggap ancaman keamanan negara. Penambahan fungsi militer sebagai alat keamanan negara sama saja memberikan cek kosong untuk militer dapat masuk dalam menjaga keamanan dalam negeri. Hal ini berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM dan mengembalikan format dan fungsi militer seperti di masa rezim otoriter orde baru.

Baca juga:

Kedua, pencabutan kewenangan Presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI. Gufron melihat ketentuan tentang kewenangan Presiden tersebut seharusnya tetap dipertahankan dan tidak boleh dicabut di dalam UU TNI. Pasal 10 UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Dalam kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata, Pasal 14  UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menegaskan Presiden berwenang dan bertanggungjawab atas pengerahan kekuatan TNI.

Dihapusnya kewenangan pengerahan dan penggunaan TNI oleh Presiden di dalam UU 34/2004 menurut Gufron sangat berbahaya. Hal itu akan menyebabkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kontrol Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Ketiga, perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Gufron berpendapat usulan perubahan Pasal 7 ayat 2 dan ayat (3) yang memperluas dan menambah cakupan OMSP menunjukan paradigma dan keinginan politik untuk memperluas keterlibatan peran militer di luar sektor pertahanan negara. Misalnya penambahan 19 jenis OMSP dari yang sebelumnya berjumlah 14 jenis. Bahkan beberapa penambahan tersebut di antaranya tidak berkaitan dengan kompetensi militer, seperti penanggulangan narkotika, prekursor dan zat adiktif lainnya, serta dalam upaya mendukung pembangunan nasional.

Lebih dari itu, upaya perluasan keterlibatan peran TNI di luar sektor pertahanan negara dengan dalih OMSP juga dipermudah. Mengingat adanya usulan perubahan bahwa dalam pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah (PP), tidak lagi berdasarkan keputusan politik negara, termasuk dalam hal ini otoritas DPR. Jika usulan perubahan ini diadopsi, Gufron mengingatkan ini berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan pasukan TNI dalam konteks OMSP tidak bisa dikontrol dan diawasi oleh DPR.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamamd Isnur melanjutkan catatan selanjutnya. Keempat, perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif. Gufron mencatat ada usul perubahan yang memberikan ruang bagi TNI untuk dapat menduduki jabatan sipil yang lebih banyak dan lebih luas.

Ketentuan yang tercantum dalam draf RUU Pasal 47 poin 2 dapat membuka ruang kembalinya Dwi fungsi. Hal ini menunjukkan kemunduran, di mana sejak 1998 posisi TNI dikembalikan sebagaimana mestinya yakni sebagai alat pertahanan negara. Penempatan militer di luar fungsi sebagai alat pertahanan negara akan memperlemah profesionalisme militer.

Kelima, memperkuat impunitas anggota militer yang melakukan tindak pidana umum. Meunurut Gufron perubahan Pasal 65 ayat (2) UU 34/2004 yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum, bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI. Penting dicatat, reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR No. VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU 34/2004.

Keenam, perubahan mekanisme anggaran pertahanan dan dilangkahinya kewenangan Menteri Pertahanan (Menhan). Gufron melihat rencana revisi UU TNI juga meliputi perubahan anggaran TNI berasal dari APBN tidak terbatas anggaran pertahanan. Hal ini dapat dilihat pada usulan perubahan ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU 34/2004 dari yang sebelumnya menyatakan TNI dibiayai dari ‘anggaran pertahanan negara’ yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menjadi ‘TNI dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan  Belanja Negara’.

“Perubahan tersebut menunjukan akan ada pos anggaran baru bagi TNI di luar anggaran pertahanan. Hak ini akan membuka ruang anggaran non-budgeter yang dulu pernah ada dan dihapuskan karena rawan terjadinya penyimpangan,” ujarnya.

Kewenangan Menteri Pertahanan dalam penyusunan anggaran juga dilangkahi. Terlihat dari perubahan klausul Pasal 67 yang sebelumnya menyatakan bahwa dalam hal pemenuhan anggaran TNI, Panglima TNI mengajukan kepada Menteri Pertahanan kemudian diubah menjadi mengajukan kepada Menteri Keuangan untuk dibiayai APBN. Dengan adanya perubahan tersebut, Mennhan tidak hanya sekedar dilangkahi kewenangannya, tapi juga menempatkan proses penyusunan anggaran TNI di luar kontrol pemerintah.

Berdasarkan berbagai hal tersebut koalisi mendesak pemerintah untuk menghentikan agenda revisi UU 34/2004. Selain tidak urgen, usulan perubahan sangat berbahaya bagi demokrasi, negara hukum, dan pemajuan HAM. Pemerintah lebih baik fokus pada penyelesaaian pekerjaan rumah reformasi TNI yang tertunda, seperti reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), serta melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI.

Tags:

Berita Terkait