Potensi Hambatan Berlapis Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024
Terbaru

Potensi Hambatan Berlapis Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024

Penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada Serentak di tahun 2024 dirasa akan sangat berdampak bukan hanya kepada penyelenggara atau pemilih, namun peserta pemilu juga akan menghadapi berbagai masalah, kompleksitas, tantangan, kerumitan yang harus dihadapi.

CR-28
Bacaan 5 Menit
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini saat Pra-Pertemuan Nasional PBHI dengan topik 'Pemilu dan HAM', Kamis (2/12/2021). Foto: CR-28
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini saat Pra-Pertemuan Nasional PBHI dengan topik 'Pemilu dan HAM', Kamis (2/12/2021). Foto: CR-28

Republik Indonesia merupakan negara yang menerapkan demokrasi konstitusional dimana kedaulatan berada di tangan rakyat, namun dilaksanakan sesuai supremasi hukum. Demokrasi atau supremasi hukum saling berdampingan dan tidak mendahului satu sama lain. Konsep tersebut dilandasi berlakunya Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945).

Untuk mengimplementasikan itu, dihadirkanlah konsep pemilihan umum wakil rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali sebagaimana mandat Pasal 22E ayat (1) UUD Tahun 1945. Namun dalam pelaksanaannya, pemilu yang demikian baru bisa terwujud bila pemilih memberi suaranya sesuai informasi yang memadai dan benar. Terlepas dari kebohongan atau pengaruh yang menyesatkan atau tekanan apapun.

"Karena bagaimanapun kan dalam pemilu itu one person, one vote, one value. Sebagai artikulasi daulat rakyat,” ujar Titi Anggraini, Wakil Sekretaris LHKP PP (Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah) sekaligus Anggota Dewan Pembina Perludem (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi), dalam acara DUHAM #16 (Diskusi Hukum dan HAM) Pra-Pertemuan Nasional PBHI dengan topik “Pemilu dan HAM”, Kamis (2/12/2021).

Sebagaimana yang publik ketahui, pemilihan umum (pemilu) serentak dan pemilihan kepala daerah (pilkada) selanjutnya akan segera dilaksanakan pada tahun 2024. Dimana dalam satu tahun, masyarakat akan dihadapkan menggunakan hak pilihnya dengan begitu banyak calon pejabat publik.   

Dalam pemilihan umum sendiri akan terdapat pasangan calon presiden dan wakilnya; 575 DPR, 2.207 DPRD Provinsi; 17.610 DPRD Kabupaten/Kota; dan 136 DPD. Sedangkan dalam pilkada akan terdapat 33 gubernur, 415 bupati, dan 93 walikota yang dipilih.

"Bagaimana sih 2024 akan kita hadapi setelah pengalaman luar biasa dalam Pemilu 2019? Setelah pemilu yang sangat berat itu. Pemilu 2019 yang diklaim sebagai pemilu yang damai, tetapi memakan korban jiwa, meninggal dunianya para petugas karena kelelahan. Dan kelelahan ini sebetulnya bukan hanya dialami petugas dan penyelenggara, tetapi juga oleh para pemilih."

Dengan dasar tersebut, Titi menjelaskan bersama komunitasnya sudah dua kali melayangkan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meminta tafsir ulang soal keserentakan pemilu yang diputuskan oleh pembuat UU. Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) menyatakan pemilu diselenggarakan secara serentak untuk memilih 5 posisi sekaligus yakni Pemilu Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. “Ini yang disebut pemilu lima kotak yang pertama kali dipraktikkan pada Pemilu 2019.”

Atas permohonan tersebut, MK mengeluarkan Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang dibacakan di bulan Februari 2020. MK akhirnya memperluas pandangannya bahwa pemilu serentak tidak harus seperti model Pemilu 2019. Terdapat setidaknya 6 model berbeda yang kemudian ditawarkan oleh MK dalam sistem gelaran pemilu.

Meski pada akhirnya, menurut Titi, kunci utama tetap berada pada pembuat UU untuk mengimplementasikannya. Tapi pada akhirnya, para pembuat UU memutuskan untuk tidak mengubah UU Pemilu untuk Pemilu 2024. Hal ini dirasa akan sangat berdampak kepada masyarakat umum. Seperti kompleksitas, tantangan, kerumitan yang potensi harus dihadapi dalam Pemilu tahun 2024.

Selaras dengan itu, UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilu Kepala Daerah (UU Pilkada) juga tidak mengalami perubahan atas Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Di dalamnya disebutkan “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”. Artinya, akan terjadi irisan tahapan antara pemilu dan pilkada di tahun 2024 mendatang.

“Belum lagi bicara soal beban bagi pemilih, peserta, dan penyelenggara sebagai konsekuensi dari kompleksitas lima kotak suara yang akan dihadapi kembali oleh masyarakat. Polarisasi disintegratif ala Pemilu 2019 potensial kembali berulang.”

Belum lagi, polemik persoalan ambang batas pencalonan presiden atau presidential nomination threshold akan tetap ada. Dengan ketentuan saat ini pencalonan presiden harus dilakukan oleh partai atau gabungan partai yang memiliki 20% kursi di DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional pada Pemilu Legislatif sebelumnya. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 222 UU Pemilu. Dalam perjalanannya, ambang batas ini hanya menghantarkan maksimal tiga pasangan calon sejak tahun 2009.

Disamping pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden atau pilkada (nomination threshold), Titi melanjutkan pemilu serentak 5 kotak dengan pilkada membawa problem lain. Diantaranya menciptakan ketidakadilan akses dan perlakuan diantara peserta pemilu, pemilih akan cenderung memberi atensi pada pilpres ketimbang pileg; pengawasan jadi melemah; mahar politik (candidacy buying) yang membuat kesetaraan akses pencalonan terhambat bagi kandidat potensial; kuasa uang dan dana kampanye tidak akuntabel membuat hak mendapat kompetisi adil dan setara sukar diwujudkan; dan lain-lain.

“Belum lagi, tahun 2024 kita juga akan berhadapan dengan ancaman Covid-19 yang masih belum diketahui kapan dia akan bertransformasi menjadi endemik. Ini juga menjadi gambaran tersendiri untuk hambatan Pemilu 2024 mendatang.”

Sebelumnya, Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan mengkritik usulan pemerintah yang mengajukan pemunduran hari pencoblosan pemilu legislatif dan pilpres serentak pada 15 Mei 2024, setelah sebelumnya KPU mengusulkan pada 21 Februari 2024. Usulan pemerintah ini mundur tiga bulan dari ajuan KPU. Sementara untuk pelaksanaan pilkada serentak dijadwalkan pada 27 November 2024.

Menurut Syarief Hasan, penetapan tanggal pelaksanaan pemilihan umum ini menjadi penting karena berkaitan dengan beban dan dampak dari pelaksanaan Pemilu itu sendiri. "KPU sebagai pelaksana tentu membutuhkan persiapan dan waktu yang cukup agar Pemilu berjalan dengan aman dan lancar," ujar Syarief dalam keterangannya, pada 9 Oktober 2021 lalu. 

Syarief mempertanyakan alasan pemerintah yang menyatakan ada potensi polarisasi dan mengganggu stabilitas politik dan keamanan jika pemilu legislatif dan pilpres digelar pada 21 Februari 2024. Alasan ini terkesan janggal sebab pelaksanaan pemilu pada bulan Februari atau Mei tetap punya risiko.

Menurutnya, ia termasuk yang setuju dengan KPU. Pelaksanaan Pemilu bukanlah hal yang mudah karena membutuhkan kesiapan dan sumber daya yang cukup. Apalagi pada 2024, pemilu legislatif, pilpres, dan pilkada dilaksanakan pada tahun yang sama. Jika waktu pelaksanaan terlalu dekat, maka beban beratnya di KPU, dan juga Bawaslu.

"Kita tentu khawatir apabila terlalu dipaksakan, maka pelaksanaan Pemilu tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Apalagi jika ternyata Pilpres berjalan dua putaran, dan sengketa di MK berlarut-larut. Ini mestinya jadi perhatian,” ungkap Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini.

Menurutnya, perlu diberikan atensi khusus atas beban pelaksanaan pemilu yang disampaikan oleh KPU. KPU tentu sudah mempertimbangkan dengan matang berdasarkan pengalaman, sumber daya, dan berbagai potensi hambatan dalam pelaksanaan Pemilu. Apalagi, pelaksanaan Pemilu legislatif, Pilpres, dan Pilkada yang serentak di tahun yang sama adalah hal yang baru.

“Jangan sampai kita memaksakan sesuatu yang memang sulit untuk dilaksanakan. Harus diberi kesempatan kepada penyelenggara pemilu waktu yang cukup, apalagi sumber daya penyelenggara juga terbatas.

Tags:

Berita Terkait