Posisi Hukum dalam Pengembangan Artificial Intelligence
Utama

Posisi Hukum dalam Pengembangan Artificial Intelligence

Dalam melakukan pengaturan pengembangan AI, terdapat sejumlah prinsip yang harus diperhatikan. Antara lain beneficence, non-maleficence, autonomy, justice, dan explicability. Kemudian prinsip common license, community license, dan social license.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Dosen FH Undip Dr. Muh. Afif Mahfud dalam Seminar Nasional Islamic Law Fair 2024, Jum’at (7/6/2024).
Dosen FH Undip Dr. Muh. Afif Mahfud dalam Seminar Nasional Islamic Law Fair 2024, Jum’at (7/6/2024).

Perkembangan teknologi yang begitu pesat jelas berimbas pada berbagai aspek kehidupan manusia. Salah satu produk yang lahir dari perkembangan teknologi dan menjadi buah bibir masyarakat adalah Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI). Hadirnya AI, tentu menjadi isu yang terus digali dan dirancang oleh regulator sehubungan dengan aturan hukum demi melingkupi AI itu sendiri.

“Ketika kita mau melakukan pengaturan terhadap perkembangan AI itu bagaimana desain hukumnya? Yang pertama kalau Anda mau mengatur sesuatu, maka jangan lupa itu ada nilainya, ada asas atau prinsip-prinsipnya, baru bicara aturannya,” ungkap Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip) Dr. Muh. Afif Mahfud dalam Seminar Nasional Islamic Law Fair 2024, Jum’at (7/6/2024).

Baca Juga:

Dalam melakukan pengaturan terhadap pengembangan AI, terdapat sejumlah prinsip yang harus diperhatikan. Ada 5 prinsip yang dikemukakan Luciano Floridi mencakup beneficence, non-maleficence, autonomy, justice, dan explicability. Terdapat pula 3 prinsip utama yang dikutip dari Roger Brownsword. Pertama, prinsip common license yang berarti AI harus membawa kemanfaatan bagi manusia. Kedua, prinsip community license yakni pengembangan AI harus sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Ketiga, social license yakni harus ada keseimbangan antara kepentingan semua pihak.

Selaras dengan prinsip-prinsip tersebut, kata dia, pengaturan AI harus berbasis pula pada keterpaduan. “Ketika kita bicara pengaturan AI berbasis keterpaduan, kita akan bicara mengenai perubahan basis hukum. Basis hukum itu bisa dilihat pada abad XXI, kontur hukumnya sudah borderless dan transnasional. Sehingga kita tidak bisa menggunakan pola konvensional seperti law 1.0 ke abad ke-XXI,” kata dia.

Mengingat kontur hukum yang ada di abad saat ini berbeda dengan basis hukum pada abad sebelumnya, maka dari itu perubahan basis hukum di abad sekarang ini harus menjadi perhatian dalam melakukan pengaturan AI berbasis keterpaduan. Selanjutnya, dalam mengatur AI yang berbasis keterpaduan juga harus memperhatikan sejumlah aturan dalam tataran hukum internasional termasuk Section 4 b Resolusi PBB Maret 2024 (dokumen A/78/L.49) yang mendorong partisipasi semua pihak.

“Penggunaan AI di bidang hukum itu high risk, risikonya tinggi. Misalnya untuk menilai akurasi pembuktian itu tinggi risiko, dalam konteks peradilan dan penyelesaian sengketa alternatif itu (bila menggunakan AI) juga termasuk risiko tinggi. Kemudian kita melangkah ke pertanggungjawaban terhadap tindakan AI, kita akan dihadapkan pada 3 hal. Product liability, risk management approach, dan vicarious liability.”

Tags:

Berita Terkait