Porsi Kepemilikan Asing di Perusahaan Asuransi Masih Jadi Perdebatan
Berita

Porsi Kepemilikan Asing di Perusahaan Asuransi Masih Jadi Perdebatan

Setahun lebih RPP tentang Kepemilikan Asing Perusahaan perasuransian molor dari jadwal yang ditentukan. DPR mendesak pemerintah segera menerbitkan peraturan tersebut seraya kembali mempertimbangkan porsi maksimal 49 persen kepemilikan asing.

CR-26
Bacaan 2 Menit
Kementerian Hukum dan HAM. Foto: SGP
Kementerian Hukum dan HAM. Foto: SGP

Presiden Joko Widodo hingga saat ini masih belum mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kepemilikan Asing Perusahaan Perasuransian. Padahal, PP tersebut yang diamanatkan UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, PP tersebut jatuh tempo pada 17 April 2017 lalu.

 

Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Yunan Hilmy menjelaskan memang sejak awal terjadi keterlambatan dalam menyusun peraturan tersebut. Tim harmonisasi regulasi baru merampungkan draf RPP tersebut pada Agustus 2017. Tim tersebut terdiri dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Sekretariat Negara, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

 

“Memang sejak awal terjadi keterlambatan pembahasannya,” kata Yunan saat dihubungi Hukumonline, Sabtu (10/3/2018).

 

Yunan menjelaskan setelah selesai menyusun rancangan tersebut, pihaknya telah menyerahkan kembali kepada Kementerian Keuangan sebagai instansi penanggung jawab. Menurutnya, tertundanya penerbitan regulasi tersebut, menandakan masih ada poin-poin dalam rancangan tersebut yang masih dibahas oleh Kemenkeu dan Sekrertariat Negara

 

Sekarang belum selesai mungkin ada proses klarifikasi yang masih belum clear di presiden,” kata Yunan.

 

Salah satu substansi penting dalam RPP tersebut adalah batas maksimal kepemilikan asing pada perusahaan asuransi di Indonesia. Investor asing dilarang memiliki lebih dari 80 persen dari modal yang disetor pada perusahaan perasuransian. Namun, batasan tersebut tidak berlaku bagi perusahaan perasuransian berstatus perseroan terbuka.

 

Yunan menjelaskan penentuan batas maksimal kepemilikan asing tersebut merupakan salah satu poin yang paling alot pembahasannya. Menurutnya, ditetapkannya batasan kepemilikan asing maksimal 80 persen tersebut juga menghindari terganggunya industri asuransi nasional yang ada saat ini.

 

Berdasarkan catatan Hukumonline, saat ini terdapat sekitar 18 perusahaan asuransi asing dengan kepemilikan asing lebih dari 80 persen. Semua perusahaan tersebut bukan merupakan entitas yang tercatat di bursa efek (perseroan terbuka).  

 

Namun, berlakunya ketentuan tersebut nantinya tidak berdampak signifikan terhadap peta industri asuransi nasional. Pasalnya, regulasi ini tidak berlaku surut atau hanya berlaku pada badan hukum asing yang akan masuk ke Indonesia. 

 

Kemudian, regulasi tersebut juga menyatakan kepemilikan pada perusahaan perasuransian berbadan hukum asing harus melalui penyertaan langsung, transaksi di bursa efek dan/atau penyertaan pada badan hukum Indonesia.

 

Lalu, kriteria badan hukum asing yang memiliki perusahaan perasuransian memiliki ekuitas paling sedikit lima kali besarnya penyertaan langsung pada perusahaan perasuransian pada saat pendirian dan perubahan kepemilikan. Tetapi, aturan tersebut tidak berlaku pada badan hukum asing yang memiliki perusahaan perasuransian melalui transaksi di bursa efek.

 

Tidak terlalu lama  

Anggota Komisi XI DPR RI, Sarmuji mendesak pemerintah segera menerbitkan regulasi tersebut. Menurutnya, pengesahan RPP tersebut seharusnya tidak terlalu lama karena tidak melibatkan banyak pihak.

 

“Salah satu problem di eksekutif itu koordinasi antar departemen, sehingga kadang-kadang seringkali membuat aturan molor dari amanat Undang-Undang. Kami menuntut kepada pemerintah supaya koordinasi antar pemerintah ditingkatkan. Supaya hal seperti ini tidak terjadi lagi,” kata Sarmuji, Senin (12/3/2018).

 

Dia menjelaskan keterlambatan pengesahan aturan tersebut berdampak terhadap tidak jelasnya kepastian hukum dalam industri perasuransian. Menurutnya, kondisi tersebut justru akan menghambat industri perasuransian tersebut. “Nanti orang mau akuisisi perusahaan asuransi atau mau beli sahamnya jadi terhambat. Sebenarnya peraturan ini seperti apa karena tidak ada kepastian hukum,” kata Sarmuji.

 

Sarmuji juga menyoroti besarnya dominasi kepemilikan asing dalam peraturan tersebut. Menurutnya, batasan tersebut (seolah) tidak memberi kesempatan lebih besar bagi investor dalam negeri merasakan manfaat dari potensi pasar pada sektor tersebut. Dia menilai semakin besarnya kepemilikan dalam negeri akan lebih memegang kendali perusahaan perasuransian yang beroperasi di Indonesia.

 

“Dari (pembahasan) DPR waktu itu ada aspirasi agar maksimal kepemilikan asing 49 persen. Kendali perusahaan itu kalau bisa ditentukan pengusaha-pengusaha dalam negeri. Akan lebih bagus potensi pasar itu dinikmati WNI. Selain itu, kalau terjadi sesuatu seperti fraud WNI itu sulit keluar negeri,” dalihnya.

Tags:

Berita Terkait