Polri Kedepankan Keadilan Restoratif Tangani Perkara Dokter Lois
Terbaru

Polri Kedepankan Keadilan Restoratif Tangani Perkara Dokter Lois

Pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan kasus dr Lois ini mendapat apresiasi dari kalangan parlemen. Mereka mengusulkan agar dr Lois cukup diberi sanksi kerja sosial dan menjadi duta kampanye pentingnya mewaspadai bahaya Covid-19.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi berita bohong
Ilustrasi berita bohong

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengedepankan keadilan restoratif (restorative justice) dalam menyelesaikan perkara ujaran kontroversial dokter (dr) Lois Owien terkait penanganan pandemi Covid-19 di Tanah Air. Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Pol Slamet Uliadi menyebutkan Polri mengedepankan keadilan restoratif agar permasalahan opini seperti ini tidak menjadi perbuatan yang dapat terulang di masyarakat.

"Kami melihat pemenjaraan bukan upaya satu-satunya, melainkan upaya terakhir dalam penegakan hukum atau diistilahkan ultimum remedium. Polri dalam hal ini mengendepankan upaya preventif agar perbuatan seperti ini tidak diikuti pihak lain," kata Slamet Uliadi dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (13/7/2021) seperti dikutip Antara.  

Slamet menjelaskan, dalam menjalani serangkaian pemeriksaan intensif di kepolisian, dr Lois mengakui kesalahannya atas sejumlah opini mengenai Covid-19. Kepada penyidik, dr Lois yang berstatus terduga, memberikan sejumlah klarifikasi atas pernyataannya selaku dokter atas fenomena pandemi Covid-19 tersebut. "Segala opini terduga yang terkait Covid-19, diakuinya merupakan opini pribadi yang tidak berlandaskan riset," kata Slamet.

Dia menyebutkan ada asumsi yang dibangun sendiri oleh dr Lois, seperti kematian karena Covid-19 disebabkan interaksi antar obat yang digunakan dalam penanganan pasien. "Kemudian, opini terduga terkait tidak percaya Covid-19, sama sekali tidak memiliki landasan hukum. Pokok opini berikutnya, penggunaan alat tes PCR dan swab antigen sebagai alat pendeteksi Covid-19 yang terduga katakan sebagai hal yang tidak relevan, juga merupakan asumsi yang tidak berlandaskan riset," ujar Slamet.

Slamet yang juga Ketua Satgas PRESISI Polri ini, mengatakan terduga mengakui opini yang dipublikasikan di media sosial, membutuhkan penjelasan medis. Namun, hal itu justru bias karena di media sosial hanyalah debat kusir yang tidak ada ujungnya. "Setelah dilakukan pemeriksaan oleh penyidik, kami dapatkan kesimpulan bahwa yang bersangkutan tidak akan mengulangi perbuatannya dan tidak akan menghilangkan barang bukti, mengingat seluruh barang bukti sudah kami miliki," kata Slamet.

Pernyataan terduga selaku orang yang memiliki gelar dan profesi dokter yang tidak memiliki pembenaran secara otoritas kedokteran. Dalam klarifikasi dr Lois, ia mengakui perbuatannya tidak dapat dibenarkan secara kode etik profesi kedokteran. "Yang bersangkutan menyanggupi tidak akan melarikan diri. Karena itu, saya memutuskan untuk tidak menahan yang bersangkutan, hal ini juga sesuai dengan konsep Polri menuju Presisi yang berkeadilan," ujar Slamet.

Berkaitan dengan reproduksi konten oleh terduga, menurut Brigjen Slamet, merupakan tindakan komunikasi yang dimaksudkan untuk mempengaruhi opini publik. Slamet juga berharap upaya mengingatkan dokter ini agar bijak dalam menggunakan media sosial sebagai alat komunikasi sosial.

"Indonesia sedang berupaya menekan angka penyebaran pandemi, sekali lagi pemenjaraan dokter yang beropini diharapkan agar jangan menambah persoalan bangsa. Polri dan tenaga kesehatan kami minta fokus tangani Covid-19 pada masa PPKM Darurat ini," katanya.

Sebagai informasi tambahan, Polri memberikan catatan bahwa terduga dr Lois dapat diproses lebih lanjut secara otoritas profesi kedokteran dalam hal ini oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Meski begitu, Penyidik Bareskrim Polri tetap memproses secara hukum kasus dr Lois Owien yang menyebarkan opini terkait pandemi Covid-19 tidak berlandaskan riset yang menimbulkan kegaduhan di masyarakat dan dapat berdampak terhambatnya penanganan wabah penyakit di Tanah Air.

Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto, saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa, menyebutkan dr Lois ditetapkan sebagai tersangka penyebaran berita bohong tentang pandemi Covid-19. "Kasus tetap diproses, jadi tersangka sesuai dengan pasal yang disangkakan," kata Agus.

Dokter Lois Owien dikenakan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE); Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1946; dan/atau Pasal 14 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946; dan/atau Pasal 14 ayat (1) dan UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular; dan/atau Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP).

Agus menerangkan dokter Lois sebagai tersangka untuk tindak pidana menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA); dan/atau tindak pidana menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat; dan/atau tindak pidana dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah; dan/atau tindak pidana menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap.

"Sedangkan dia (Lois) mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menimbulkan keonaran di kalangan rakyat," kata Agus.

Usul sanksi kerja sosial

Terpisah, Wakil Ketua MPR Arsul Sani berpandangan pendekatan restorative justice yang digunakan kepolisian dapat diterapkan sepanjang Lois mengakui dan menyadari kekeliruan yang dilakukan dalam beropini. Dia mengusulkan agar diterapkan sanksi hukuman kerja sosial sebagai penyadar terkait bahaya pandemi Covid-19 dan perlu diwaspadai secara ketat.

Selain itu, dia mengusulkan agar Lois dijadikan duta kampanye pentingnya mewaspadai bahaya Covid-19 dengan menerapkan protokol kesehatan. Baginya, pemberian sanksi pekerjaan sosial jauh lebih memberikan efek jera dan bermanfaat ketimbang memenjarakan Lois. Apalagi situasi penjara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) maupun rumah tahanan (Rutan) memiliki persoalan lain yang cukup kompleks selain over kapasitas.

Insya Allah ini akan lebih bermanfaat daripada sekadar memenjarakan dia sebagai upaya membangun efek jera,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.

Sementara Ketua Komisi III DPR Herman Herry berpandangan langkah Polri mengedepankan pendekatan restorative justice amat tepat dalam menangani kasus Lois. Kendati demikian, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) semestinya menerbitkan bantahan resmi atas opini yang dibangun Lois agar informasi yang diterima masyarakat menjadi lebih jelas.

Seperti diketahui, Lois dianggap secara sengaja menimbulkan keonaran di masyarakat akibat menyebarkan opini yang diduga adanya unsur kebohongan di platform media sosial. Bermula dalam sebuah acara bincang-bintang (talk-show) sebuah acara di media televisi dipandu salah satu pengacara kondang.

Dalam acara tersebut, Lois berpendapat pasien Covid-19 yang meninggal dunia di rumah sakit bukan disebabkan virus SARS-CoV-2. Namun akibat interaksi antar obat yang berlebihan. Lois berpendapat obat-obatan yang digunakan untuk pasien Covid-19 telah menimbulkan komplikasi di dalam tubuh pasien.

Selain itu, melalui akun Instagram @dr_lois7, ia juga aktif menyampaikan narasi yang diantaranya menyatakan Covid-19 bukan disebabkan virus dan tidak menular. Singkat cerita, Lois puun dicokok petugas Polda Metro Jaya pada Minggu (11/7/2021) sore. Lalu, kasusnya dilimpahkan ke Bareskrim Mabes Polri.

Tags:

Berita Terkait