Polri Dituntut Bentuk Unit Khusus Ketenagakerjaan
Berita

Polri Dituntut Bentuk Unit Khusus Ketenagakerjaan

Agar dapat menegakkan hukum ketenagakerjaan.

ADY
Bacaan 2 Menit
Polri Dituntut Bentuk Unit Khusus Ketenagakerjaan
Hukumonline

Serikat pekerja bersama LBH Jakarta mendesak Polri membentuk divisi pidana khusus yang menangani masalah perburuhan. Menurut Kepala Departemen Hukum dan Advokasi Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), Ismet Inoni, laporan pekerja kepada kepolisian atas tindak pidana perburuhan yang diduga dilakukan pengusaha kerap tidak ditindaklanjuti.

Ismet mendugahal itu terjadi karena aparat kepolisian tidak mengerti pidana perburuhan sebagaimana tercantum dalam sejumlah undang-undang seperti UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja dan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Ismet memahami ada mekanisme lain yang dapat dilakukan untuk menangani tindak pidana perburuhan yaitu melaporkannya kepada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di dinas ketenagakerjaan. Sayangnya, PPNS tidak berfungsi sebagaimana mestinya sehingga pengaduan yang disampaikan pekerja tidak ditanggapi. Oleh karenanya, ketika menghadapi masalah yang berkaitan dengan pidana perburuhan, Ismet memantau sebagian besar pekerja melaporkannya kepada aparat kepolisian. Namun, pekerja yang melapor itu harus kecewa karena aparat kepolisian kurang memahami pidana perburuhan.

Misalnya, Ismet melanjutkan, ketika GSBI mengadvokasi anggotanya yang bekerja di sebuah pabrik di Cikarang dan mengalami pemberangusan serikat pekerja oleh pengusaha. Ketika melaporkannya kepada kepolisian, Ismet mengaku harus bersusah payahmeyakinkan aparat yang bersangkutan bahwa tindakan yang dilakukan pengusaha itu termasuk pidana perburuhansehingga kepolisian berwenang untuk menanganinya.

“Dalam UU Serikat Pekerja disebutkan dengan jelas bahwa pemberangusan serikat pekerja adalah tindak pidana dan harus ditindak aparat kepolisian. Tapi kami kesulitan meyakinkan polisi kalau itu tindak pidana perburuhan” kata Ismet kepada hukumonline di kantor ILO Jakarta, Rabu (23/10).

Sebagai upaya agar aparat kepolisian memahami tindak pidana perburuhan, Ismet berpendapat Polri harus membentuk divisi khusus yang menangani hal tersebut. Sehingga, memudahkan pekerja yang melaporkan adanya tindak pidana perburuhan di lokasi kerja. Ismet mencatat dalam setahun, laporan tindak pidana perburuhan yang dilaporkan GSBI tapi mandek di kepolisian mencapai puluhan. Untuk membenahi persoalan itu GSBI dan beberapa serikat pekerja lain serta LBH Jakarta merasa perlu mendorong ILO untuk mendesak Polri membentuk divisi pidana perburuhan tersebut.

Sementara advokat publik LBH Jakarta, Maruli Tua Rajagukguk, menilai penegakan pidana perburuhan mengalami permasalahan di tahap penyidikan. Padahal, tahap tersebut sangat krusial agar kasus dapat diproses ke tingkat persidangan. Dari berbagai laporan yang disampaikan pekerja kepada kepolisian, Maruli memantau hampir tidak ada pengusaha yang perkaranya sampai penuntutan di pengadilan. Apalagi sampai dijatuhi penjara atau denda.

Sejumlah tindak pidana perburuhan yang dilakukan pengusaha menurut Maruli diantaranya berkaitan dengan pembayaran upah di bawah minimum provinsi dan penghalang-halangan kegiatan berserikat. LBH Jakarta mencatat tidak satupun dari 26 kasus pidana yang dilaporkan pekerja sepanjang 2012-2013 diproses oleh aparat berwenang sampai tahap persidangan. Mengingat minimnya penegakan hukum maka terjadilah impunitas dalam penegakan hukum ketenagakerjaan.

Maruli mencatat pola impunitas yang selama ini terjadi seperti privatisasi kasus pidana perburuhan, perdamaian yang dipaksakan dan kriminalisasi terhadap pekerja serta pendampingnya. Selain itu terjadi penolakan atau penundaan atas laporan tindak pidana perburuhan. “Salah satu penyebab tidak berjalannya penyidikan di tingkat kepolisian adalah masalah sumber daya manusia di internal Polri, tidak ada polisi yang memahami dan punya pengetahuan atas pidana perburuhan,” ujarnya.

Atas dasar itu Maruli melihat kinerja kepolisian dalam mengungkap kasus pidana yang dilaporkan pengusaha berbeda penanganannya ketimbang pekerja yang melapor. Sebab, laporan pengusaha biasanya sigap ditangani kepolisian sementara pengaduan pekerja seringkali ditolak atau berjalan lamban. Bahkan diakhiri dengan surat pemberitahuan penghentian penyidikan (SP3). Kondisi itu membuat polisi terlihat lebih berpihak kepada pengusaha daripada pekerja. “Padahal, hukum harus menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia,” tukasnya.

Bagi Maruli, ILO dapat membantu menyelesaikan permasalahan itu dengan cara mendesak Presiden RI untuk segera membentuk divisi khusus pidana perburuhan di kepolisian. Menurutnya, ILO sebagai lembaga internasional punya tugas pokok yaitu memastikan terpenuhinya hak-hak pekerja di seluruh negara anggota PBB, termasuk Indonesia. Apalagi, Indonesia telah meratifikasi bermacam konvensi ILO, sehingga ILO dituntut mampu memastikan tegaknya peraturan internasional tersebut.

“Kepolisian adalah ujung tombak proses penyidikan tindak pidana yang harus bekerja sesuai dengan fakta hukum. Oleh karena itu dengan terbentuknya desk pidana perburuhan, kasus-kasus pengusaha nakal yang melakukan tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban,” tutur Maruli.

Menanggapi hal tersebut National Programme Coordinator on Workers’ Activities ILO Jakarta, Soeharjono, mengatakan ILO punya mekanisme kerja yang harus dipahami semua pihak dalam rangka mengakomodir persoalan ketenagakerjaan. Ia menjelaskan, ILO adalah organisasi internasional yang terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha dan pekerja. Sehingga, untuk menangani persoalan tersebut, harus disampaikan kepada anggota ILO yang berasal dari negara anggota. Untuk Indonesia, serikat pekerja diwakili oleh KSBSI dan KSPI.

Pembahasan masalah ketenagakerjaan itu menurut Soeharjono dilakukan di kantor pusat ILO di Jenewa. Sedangkan kantor ILO Jakarta hanya bertindak sebagai sekretariat. Dalam menindaklanjuti persoalan yang disampaikan serikat pekerja dan LBH Jakarta itu Soeharjono menyebut ILO Jakarta hanya dapat membantu untuk menyampaikan laporan tersebut kepada ILO pusat. Namun, untuk mendapat laporan yang lebih detail, Soeharjono mengatakan ILO Jakarta akan menjadwalkan ulang pertemuan dengan serikat pekerja dan LBH Jakarta. “Memang seperti itu mekanismenya. Kami akan atur lagi kapan pertemuannya,” pungkasnya.

Tags: