Polri Didorong Terbitkan Surat Edaran Soal Pedoman Penahanan
Berita

Polri Didorong Terbitkan Surat Edaran Soal Pedoman Penahanan

Selain itu, dibutuhkan sosialisasi aturan internal ke jajaran Polri di tingkat bawah agar terimplementasi dengan baik.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Kiri ke Kanan, Supriyadi W Eddyono, Ifdal Kasim, Luhut M.P Pangaribuan dan Putri Kanesia di diskusi Sistem Penahanan di Indonesia, Rabu (11/11). Foto: RES
Kiri ke Kanan, Supriyadi W Eddyono, Ifdal Kasim, Luhut M.P Pangaribuan dan Putri Kanesia di diskusi Sistem Penahanan di Indonesia, Rabu (11/11). Foto: RES

Penyebab over kapasitas di Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan antara lain disebabkan minimnya kontrol terhadap mekanisme penahanan di tingkat penyidikan. Sebagai institusi penegak hukum, Polri memiliki kewenangan melakukan penyidikan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana.

Namun seharusnya,  tidak dengan mudahnya penyidik melakukan penahanan terhadap tersangka. Hal itu pula yang mesti menjadi perhatian agar Rutan dan Lapas tidak over kapasitas. Polri mesti membuat aturan teknis penahanan berupa Surat Edaran (SE). Hal ini disampaikan Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) versi Luhut Manihot Parulian (MP) Pangaribuan dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (11/11).

“Andai kata institusi Polri berkomitmen, bisa dibuat Surat Edaran, bahwa penahanan tidak dengan mudah dilakukan terhadap tersangka, kecuali pengecualian. Jadi  supaya jangan berpikir kalau sudah memenuhi persyaratan (subjektif) kemudian ditahan,” ujarnya.

Aturan melakukan penahanan dalam hukum acara pidana sudah diatur dalam Pasal 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain itu terhadap ancaman hukuman tindak pidana di atas 5  tahun, maka dapat dilakukan penahanan.

Namun, persyaratan penahanan tersebut bersifat subyektif penyidik. Padahal, selain itu perlu pula alasan objektif dalam melakukan penahanan. Melakukan penahanan sama halnya merampas kemerdekaan seseorang. Jika penahanan tidak dapat dipertanggungjawbkan, boleh jadi telah terjadi kriminalisasi.

“Yang namanya penahanan itu merampas kemerdekaan dan tindak pidana kalau tidak sesuai UU. Kalau tidak sesuai UU, maka kembali ke asal usulnya yaitu tindak pidana,” katanya.

Luhut mengatakan, besarnya kewenangan penyidik dalam melakukan penahanan perlu diperketat dengan mekanisme pengawasan. Agar tidak terjadi kesewenang-wenangan, maka Kapolri selaku pimpinan institusi Kepolisian perlu menerbitkan aturan teknis bersifat internal terkait dengan penahanan.

Setidaknya, jajaran kepolisian di tingkat bawah tidak dengan mudah melakukan penahanan terhadap seseorang tersangka. Namun penahanan dilakukan dengan dapat dipertanggunggjawabkan secara hukum. Tak saja alasan subyektif, tetapi juga alasan obyektif.

“Jadi Surat Edaran bukan cuma hate speech, tapi juga soal penahanan,” ujar mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta  periode 1993—1997 itu.

Mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM), Ifdhal Kasim, mengamini pandangan Luhut. Menurutnya, perlu diterbitkan SE agar menjadi pedoman perihal waktu penahanan sebelum persidangan. Soalnya, jika tidak terdapat pedoman dikhawatirkan penyidik ketika mengetahui seseorang melakukan tindak pidana dengan ancaman di atas 5 tahun langsung dilakukan penahanan.

“Padahal harus ada syarat-syarat obyektif yang memang mengharuskan di tingkat penyidikan itu tersangka ditahan. Nah aturan di KUHAP masih sangat umum. Teknisnya, Kapolri  harus membuat (SE) sehingga penyidik di lapangan mudah mengartikan,” ujarnya.

Dikatakan Ifdhal, penahanan sebelum masa persidangan acapkali menjadi wilayah abu-abu. Makanya bukan menjadi rahasia umum masyarakat kerap menilai berasumsi negatif terhadap penahanan sebelum persidangan. Oleh sebab itu untuk menghindari terjadinya pandangan negatif dibutuhkan aturan teknis yang lebih jelas dan tegas.

Lebih jauh, Ifdhal berpandangan aturan Pasal 21 perihal alasan subjektif penahanan dapat ditafsirkan penyidik mengambil keputusan langsung melakukan penahanan. Pasalnya, tidak ada ukuran obyektif melakukan penahanan. Oleh karena itu, Polri didorong membuat dan menerbitkan aturan berupa edaran bagi internal Kepolisian hingga ke tingkat bawah terkait pedoman landasan melakukan penahanan.

“Makanya kita mendorong perlu ada satu aturan atau pedoman dari pimpinan Polri untuk variabel yang sangat subyektif ini bisa dibuat secara objektif. Jadi dasar-dasar penahanan itu lebih jelas. Obyektifnya itu kan jika diancam 5 tahun, tapi kalau melarikan diri, mengulangi perbuatannya itu kan subjektif juga. Sekarang gimana kita mengasumsikan orang ini akan bsia melarikan diri atau tidak,” ujarnya.

Kepala Divisi Advokasi Pembelaan Hak Sipil dan Politik KontraS, Putri Kanesia, berpandangan usulan Luhut dan Ifdhal cukup baik. Namun Putri menyorot dari sisi lain. Ia berpandangan Polri telah memiliki banyak aturan internal, semisal Peraturan Kapolri (Perkap) yang mengatur manajemen penyidikan. Jika saja aturan tersebut berjalan hingga jajaran  tingkat bawah, setidaknya dapat memperketat mekanisme penahanan.

“Masalahnya  bukan berarti tidak adanya aturan hukum yang baik terkait dengan bagaimana penindakan kasus pidana. Tetapi bagaimana aparat kepolisian mengimplementasikan aturan-aturan itu di lapangan,” ujarnya.

Ia menilai semestinya ketika Kapolri menerbitkan Perkap mesti ditindaklanjuti dengan adanya aturan petunjuk dan teknis (Juknis) yang bersifat himbauan. Ia menyayangkan dengan banyaknya aturan internal, tidak berimbang dengan implementasi di lapangan.

“Jadi kalau ada petunjuk yang jelas dari Kapolri ini bisa dibantu juga dari Divisi Hukum dan Humas Mabes polri bagaimana mensosialisasikan menjadi lebih baik ketimbang membuat SE baru,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait