Pollycarpus Gugat ‘PK Oleh Jaksa' Ke MK
Berita

Pollycarpus Gugat ‘PK Oleh Jaksa' Ke MK

Polly coba menghantam pengajuan PK dalam UU Kekuasaan Kehakiman. Maruarar Siahaan mengingatkan UU tersebut bersifat generik, bukan untuk acara pidana saja. Bila dibatalkan, maka akan berpengaruh pada pengajuan PK dalam perdata.

Ali
Bacaan 2 Menit
Pollycarpus Gugat ‘PK Oleh Jaksa' Ke MK
Hukumonline

 

Bahwa yang menjadi dasar-dasar pertimbangan terhadap putusan No: 109 PK/Pid/2007 adalah diterimanya permohonan PK yang diajukan oleh jaksa/penuntut umum berdasarkan pertimbangan putusan a quo tentang penafsiran ‘pihak-pihak yang bersangkutan' sebagaimana Pasal 23 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, ucap Idrus saat membacakan permohonan.

 

Karenanya, Idrus mencantumkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai cantelan hak konstitusional yang dilanggar. Pasal itu berbunyi Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 

 

Kembali ke KUHAP

Idrus berharap bila Pasal 23 ayat (1) ini dinyatakan tak mempunyai kekuatan mengikat, maka pengaturan mengenai pengajuan PK akan kembali ke Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP, yang bisa mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, ujarnya.

 

Bila hanya mendasarkan KUHAP, Idrus optimis pengajuan PK oleh jaksa pasti tak akan diterima oleh majelis hakim. Ia mengingatkan Putusan MA No: 84 PK/Pid/2006 dalam perkara pidana Mulyar bin Samsi yang pengajuan PK oleh jaksa dinyatakan tidak dapat diterima. Pertimbangan tidak diterimanya permohonan PK tersebut karena majelis hakim menggunakan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, tegasnya.

 

Namun, bila kembali ke KUHAP, belum tentu permohonan PK pasti dinyatakan tak diterima oleh majelis hakim. Apalagi tak ada ketentuan dalam KUHAP yang melarang jaksa mengajukan PK. Penafsiran yang digunakan adalah a contrario, yang menyatakan sepanjang tidak ada larangan maka dibolehkan. Koordinator KONTRAS Usman Hamid pernah menggunakan penafsiran ini ketika dimintai komentar boleh tidaknya jaksa mengajukan PK dalam kasus Munir dimana Polly menjadi terdakwanya.

 

Nasib Perkara Perdata

Tiga hakim panel yang memeriksa permohonan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan ini mengaku bisa memahami substansi permohonan ini. Namun, ada beberapa catatan yang diberikan sebagai saran untuk melengkapi permohonan ini.

 

Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mengingatkan bahwa Pasal 23 ayat (1) bersifat generik atau umum. Tidak melulu berbicara perkara pidana. Kalau pasal itu dihapus bagaimana dengan perkara perdata? tanya hakim konstitusi yang berasal dari MA ini. Para pihak (dalam perkara perdata,-red) tak bisa mengajukan PK dong, tambahnya. Ia meminta agar pemohon tak melihat dari satu sisi saja.

 

Idrus menyadari pertanyaan Maruarar itu. Namun, posisi kliennya memang sudah serba salah terkait pengajuan PK oleh jaksa ini. Ia mengatakan, idealnya Pasal 23 ayat (1) itu memang digunakan hanya untuk perkara perdata. Kenapa dipakai untuk pidana, tanyanya.

Perdebatan boleh atau tidaknya jaksa mengajukan peninjauan kembali (PK) akhirnya bermuara juga ke Mahkamah Konstitusi (MK). Isu ini memang selalu menyita perhatian masyarakat hukum Indonesia. Dimulai dari kasus Mochtar Pakpahan yang harus merasakan pahitnya penjara karena pengajuan PK oleh jaksa. Ketentuan Pasal 263 KUHAP telah menyatakan secara limitatif yang bisa mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya. Namun, Pasal 23 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman membuka peluang jaksa bisa mengajukan PK melalui penafsiran ekstentifikasi atau diperluas.

 

Lengkapnya, Pasal 23 ayat (1) berbunyi Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan oleh undang-undang.

 

Adalah terpidana pembunuh aktivis HAM Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto yang menggugat pasal ini ke MK. Dalam permohonannya, Polly meminta agar Pasal 23 ayat (1) dinyatakan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK. Kalimat ‘pihak-pihak yang bersangkutan' dalam bunyi pasal tersebut dapat menimbulkan penafsiran yang menyesatkan, ujar Kuasa Hukum Polly, Idrus Mony di ruang sidang MK, Rabu (4/6).

 

Idrus menjelaskan kalimat tersebut sering ditafsirkan bahwa jaksa boleh mengajukan PK. Jaksa diklasifikasi sebagai pihak-pihak yang bersangkutan. Sehingga acapkali hakim agung menerima pengajuan PK oleh jaksa berdasarkan ketentuan itu.

 

Direktur Eksekutif Lembaga Reformasi Hukum Indonesia (LRHI) ini juga menjelaskan kerugian konstitusional kliennya seputar penafsiran tersebut. Polly harus merasakan LP Cipinang untuk dua puluh tahun ke depan karena hakim agung menerima permohonan PK yang diajukan oleh jaksa.

Tags: