Masalahnya saat ini, jelas Dasco, adalah penyelesaian kasus tersebut tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Pasal 27 ayat (3) UU ITE bukanlah delik aduan yang bisa dihentikan pengusutannya kalau pelapor sudah memaafkan pelaku dan mencabut laporannya.
“Dipastikan kasus tersebut akan terus bergulir sampai ke pengadilan karena tidak ada alasan bagi aparat untuk menghentikannya. Kondisi ini agak janggal dimana hukum yang seharusnya dijadikan sarana untuk menyelesaikan konflik di masyarakat ternyata justru mebuat penyelesaian konflik menjadi bertele-tele,” jelasnya.
Oleh karena itu, ia berpendapat agar masalah seperti tiga kasus tersebut dapat diselesaikan dengan elegan dan tidak terulang kembali di masa yang akan datang, sebaiknya Pasal 27 ayat (3) secara tegas dikategorikan sebagai delik aduan. “Harus ada pihak yang meminta pengkategorian tersebut dengan mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi,” tambahnya.
Ia menjelaskan dikategorikannya Pasal 27 ayat (3) sebagai delik aduan sangatlah tepat karena hak atas reputasi merupakakan hak absolut seseorang yang penerapannya juga merupakan hak absolut yang bersangkutan.
“Pencideraan terhadap hak atas reputasi tidak menimbulkan kerugian bagi publik sehingga jika si korban menganggap masalah sudah selesai maka aparat penegak hukum yang mewakili kepentingan publik juga harus menganggap masalah tersebut selesai,” pungkasnya.
Berdasarkan catatan hukumonline, Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebenarnya sudah pernah diuji dan diputus oleh MK. Dalam pertimbangan putusan, MK pun sudah menafsirkan bahwa ketentuan ini harus ditafsirkan sebagai delik aduan. Sayangnya, dalam praktik, penegak hukum tetap memperlakukan ketentuan ini sebagai delik biasa.