Politik Anggaran Belum Tergali dengan Baik
Berita

Politik Anggaran Belum Tergali dengan Baik

Visi misi capres mengenai pengelolaan BUMN, kebijakan pajak, subsidi pangan dan utang negara masih menjadi pertanyaan.

ADY
Bacaan 2 Menit
Politik Anggaran Belum Tergali dengan Baik
Hukumonline
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang anggaran menilai isu politik anggaran dalam debat calon Presiden dan Wakil Presiden (capres-cawapres) putaran kedua tidak digali mendalam.

Menurut Sekjen Seknas FITRA, Yenny Sucipto, debat yang berlangsung Minggu (15/6) kebanyakan membahas efisiensi dan efektivitas anggaran. Harusnya, kata dia, debat lebih menekankan bagaimana pengelolaan anggaran pemerintahan mendatang: apakah konsisten dengan amanat UUD 1945 atau tidak.

Yenny menilai debat capres cawapres tidak membahas bagaimana APBN dirancang agar tidak defisit dan mampu berimbang. Padahal selama ini APBN selalu defisit dan alokasinya belum mencerminkan amanat konstitusi yaitu digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Seharusnya calon menjabarkan target penerimaan anggaran negara di masa mendatang. “Debat kemarin hanya bicara pada efesiensi dan efektifitas. Asumsi ekonomi makro tidak secara jelas disampaikan,” kata Yenny dalam jumpa pers di kantor Seknas FITRA di Jakarta, Senin (16/5).

Salah satu komponen yang penting sebagai sumber penerimaan negara adalah BUMN. Namun, Yenny tidak mendengar para capres menawarkan konsep untuk mengelola 141 BUMN. Padahal selama ini kinerja BUMN belum memuaskan dan pengelolaannya masih jauh dari profesionalisme berbisnis.

Yenny mencatat kurun 2010-2011 kontribusi BUMN ke APBN hanya 24 persen. Selebihnya, keuntungan itu ditahan BUMN dengan alasan untuk ekspansi dan meningkatkan laba. Dana negara yang ditahan BUMN mencapai Rp407,5 triliun. Ironisnya, sampai sekarang tidak ada regulasi yang mengatur berapa bagi hasil yang diberikan BUMN kepada APBN.

Minimnya, regulasi menyebabkan BUMN rentan dimanfaatkan politisi untuk kepentingan politik kelompok tertentu. Padahal keuntungan yang dihasilkan BUMN penting untuk membangun ekonomi dan kesejahteraan sosial. Apalagi Yenny yakin dengan pengelolaan tepat maka dana negara yang ditahan BUMN dapat dibayar guna mengatasi defisit APBN yang kerap melanda keuangan negara. “Belum lagi 15 BUMN yang tidak menyetor (keuntungan,-red) ke negara, tapi masih mendapat suntikan modal. Itu tidak muncul dalam debat capres,” heran Yenny.

Sementara peneliti perkumpulan Perkumpulan Prakarsa, AH Maftuchan, menilai kedua calon tidak punya pandangan yang jelas soal kebijakan perpajakan. Keduanya hanya mengandalkan penerimaan negara dari optimalisasi pengelolaan SDA. Serta penghematan dan menutup kebocoran anggaran negara. Padahal 80 persen APBN bersumber dari pajak. “Kedua kandidat tidak mengelaborasi lebih komprehensif kebijakan perpajakan apa yang akan mereka lakukan pada pemerintahan ke depan,” tandasnya.

Maftuchan berpendapat jika kedua calon peduli dengan isu perpajakan, paling tidak mereka berani melakukan prediksi berapa pendapatan negara dari pajak yang akan dikumpulkan dalam pemerintahan ke depan. Misalnya, mereka berani mematok penerimaan pajak dibandingkan total PDB sekian persen. Baginya hal itu penting karena dibanding negara lain yang setara, Indonesia tergolong tertinggal terkait perbandingan rasio pajak dengan PDB.

Jika pungutan pajak hanya mengutamakan wajib pajak dari golongan masyarakat menengah ke bawah, itu berarti pemerintah tidak berpihak pada rakyat. Pemerintah seharusnya mampu menembus wajib pajak golongan menengah atas dan super kaya. “Itu tidak ada dalam perdebatan capres dan memprihatinkan buat saya,” ucap Maftuchan.

Kedua capres juga luput membahas korupsi di perpajakan. Padahal, belakangan ini tak sedikit kasus korupsi melibatkan otoritas dan wajib pajak. Jika korupsi di sektor perpajakan tidak ditangani, ia yakin rakyat  tidak rela membayar pajak kalau nantinya dikorupsi. Begitu pula terkait penghindaran dan pengelakan pajak oleh wajib pajak, terutama korporasi dan individu kaya raya. Selama ini kedua wajib pajak yang kerap mengelak itu jarang  terjerat hukum. “Itu menghilangkan potensi penerimaan pajak,” ujarnya.

Regulasi perpajakan yang saling tumpang tindih juga luput dari pembahasan debat. Demikian pula kelembagaan pajak yang di bawah Kementerian Keuangan, termasuk Pengadilan Pajak.

Mengenai penerimaan negara bukan pajak, Maftuchan melihat kedua calon menekankan penerimaan negara dari sektor SDA. Padahal SDA yang ada di Indonesia sudah terbagi-bagi lewat bermacam konsesi lahan dan kontrak karya. Selain itu penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari sektor SDA dalam APBN cenderung menurun. Dengan menekankan pada hal tersebut ia khawatir pemerintahan ke depan lupa mengurusi sektor pajak. Sehingga berpotensi salah arah dalam menentukan kebijakan fiskal.

Apalagi dengan mengeruk SDA secara eksploitatif maka alam yang ada di Indonesia bakal bertambah rusak dan berujung pada kebangkrutan. Namun, jika penerimaan negara diutamakan lewat pengelolaan pajak maka eksploitasi SDA dapat dikurangi. Sekaligus meningkatkan partisipasi warga untuk berkontribusi dalam pembangunan.

Sekjen KAI, Abdul Waidl, mengatakan subsidi menjadi salah satu beban berat yang dipikul anggaran negara. Ia mencatat setiap tahun hampir 20 persen APBN dikucurkan untuk subsidi. Jika pemerintahan mendatang  tidak merencanakan alokasi subsidi dengan baik, anggaran negara akan terus terbebani.

Waidl juga mengatakan setiap tahun beban bunga dan pokok utang negara yang harus dibayar mencapai 21 persen dari APBN. Jumlah utang yang sudah melebihi Rp2.137 triliun pada akhir 2013 membatasi diskresi fiskal pemerintah. Namun, kata dia, kedua calon belum memberikan pandangan mengenai strategi pengelolaan utang negara.
Tags: