"Pendekatan militeristik dalam menangani Papua masih digunakan pemerintah. Itu terlihat dari penerjunan aparat TNI ke Papua dalam jumlah besar, padahal yang diperbanyak harusnya personil Polri," kata Poengky dalam diskusi yang digelar Imparsial di Universitas Paramadina di Jakarta, Rabu (06/5).
Poengky menekankan agar aparat yang dikirim harus terjamin profesionalitasnya. Sebab, salah satu persoalan yang dihadapi polisi di Papua adalah soal profesionalitas. Begitu pula dengan Kapolda Papua, diharapkan dijabat oleh aparat yang memiliki kualifikasi yang tinggi.
Untuk mendukung peran Polri di Papua, dikatakan Poengky, UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua mengamanatkan agar diterbitkan Peraturan Daerah Provinsi. Regulasi itu mengatur ketentuan yang memberi kewenangan provinsi untuk mendorong Polri di Papua lebih maksimal dalam mengelola keamanan dan ketertiban. Sayangnya, sampai saat ini Perda itu belum diterbitkan.
Poengky juga mengingatkan agar pemerintah tidak menerbitkan regulasi yang menghambat upaya penyelesaian seperti RUU Rahasia Negara dan RUU Keamanan Nasional (Kamnas). Harusnya diterbitkan regulasi yang mendukung penyelesaian masalah Papua seperti merevisi UU Peradilan Militer dan menerbitkan UU Perbantuan TNI. "Jangan sampai TNI ikut tugas keamanan dalam negeri. Itu malah kacau," ujarnya.
Guna menuntaskan masalah yang ada di Papua, Poengky mengusulkan agar diselesaikan lewat dialog. Mengevaluasi Otonomi Khusus dan penempatan TNI di Papua. Aparat kepolisian yang bertugas di Papua pun harus memiliki pemahaman yang cukup terhadap budaya Papua.
Asisten Perencanaan Kapolri sekaligus mantan Kapolda Papua, Irjen Pol M. Tito Karnavian, menilai ada dua macam konflik yang terjadi di Papua yaitu vertikal dan horizontal. Konflik vertikal terjadi antara kelompok masyarakat di Papua dengan pemerintah. Konflik horizontal terjadi diantara masyarakat Papua. Namun, kedua macam konflik itu saling terkait dan yang banyak jadi sorotan selama ini yaitu konflik vertikal.
Tito berpendapat kelompok warga Papua yang menuntut Papua merdeka didorong oleh persoalan kesejahteraan dan keadilan, bukan ideologi. Sebagaimana diketahui saat ini Papua masih menghadapi persoalan kemiskinan dan pembangunan yang terhambat. Ada sejumlah hal yang menyebabkan masalah itu terjadi yakni kondisi geografis yang sulit ditempuh dan kondisi pendidikan yang belum merata serta banyaknya suku-suku.
Tito melihat langkah yang ditempuh pemerintah untuk menuntaskan persoalan di Papua sudah tepat, yakni mengedepankan pendekatan kesejahteraan bagi masyarakat Papua. Dengan begitu diharapkan pembangunan di Papua terjadi percepatan. Ditambah dengan otonomi khusus Papua yang bisa mendorong pemda untuk membangun wilayahnya.
“Otonomi Khusus bagi Papua itu bagus karena memberi kewenangan kepada kepala daerah untuk mempercepat pembangunan di wilayahnya. Yang penting dilakukan pemerintah pusat yakni melakukan supervisi,” papar Tito.
Anggota Komisi III DPR, Masinton Pasaribu, sependapat dengan Pengky. Menurutnya, untuk menyelesaikan persoalan di Papua tidak bisa dilakukan dengan pendekatan militerisme seperti masa Orba. Pengerahan kekuatan militer di Papua menurutnya hanya tepat digulirkan ketika masa Orde Lama. Tapi saat ini militerisme itu tidak tepat untuk menuntaskan masalah kesejahteraan dan keadilan yang dihadapi masyarakat Papua.
“Saya usulkan pengerahan tentara ke Papua harus dikurangi, yang penting jumlah personil polri di Papua memadai. TNI jaga perbatasan saja,” pungkasnya.