Polemik UU KPK Hasil Revisi Dikhawatirkan Ganggu Iklim Investasi
Berita

Polemik UU KPK Hasil Revisi Dikhawatirkan Ganggu Iklim Investasi

Selama ini keberadaan KPK memberikan kepercayaan diri tentang perbaikan tata kelola pemerintahan. Orang akan berpikir berkembali untuk bermain dan melakukan abuse of power, apalagi terhadap keuangan negara.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Massa dari Koalisi Masyarakat Menyelamatkan KPK menggelar aksi di depan Gedung DPR RI. Jakarta, Selasa (17/9). Dalam aksinya mereka menolak Revisi UU KPK yang telah disetujui DPR menjadi undang-undang. Foto: RES
Massa dari Koalisi Masyarakat Menyelamatkan KPK menggelar aksi di depan Gedung DPR RI. Jakarta, Selasa (17/9). Dalam aksinya mereka menolak Revisi UU KPK yang telah disetujui DPR menjadi undang-undang. Foto: RES

Disetujuinya Revisi UU KPK menjadi undang-undang terus menjadi polemik di tengah masyarakat. Bukan hanya akademisi hukum atau politisi, ekonom pun turut memberikan komentar. Salah satu kekhawatiran diungkapkan oleh Institute For Development of Economics and Finance (Indef).

 

Peneliti senior Indef Enny Sri Hartati mengkhawatirkan disahkannya revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi akan menjadi polemik berkepanjangan yang mengganggu iklim investasi.

 

Menurut Enny, belum terdapat urgensi yang mendesak agar UU KPK direvisi. Dirinya mempertanyakan beberapa perubahan dari total tujuh perubahan di UU KPK, yakni keharusan kepemilikan izin dari Dewan Pengawas kepada KPK sebelum melakukan penyadapan. Keberadaan Dewan Pengawas dengan peran vitalnya di KPK juga dipertanyakan Enny karena dinilai mengganggu independensi lembaga anti-rasuah tersebut.

 

Selain itu, Enny juga mempertanyakan peralihan KPK menjadi bagian dalam eksekutif. Hal itu dinilai Enny akan menimbulkan konflik kepentingan jika KPK sedang mengincar terduga pelaku korupsi yang berada dalam lingkup eksekutif.

 

"Kalau kita lihat sektor publik ranah eksekutif dan legislatif itu hampir banyak yang terkena kasus penyalahgunaan keuangan negara. Seperti kasus gratifikasi pemberian izin impor. Semua terindikasi oleh KPK. Di sana ada praktik 'hengki pengki'. Sehingga kalau sekarang semua penyelidikan KPK harus seizin yang dalam "obyek" yang akan disasar atau kerap menjadi sasaran KPK, bagaimana mungkin? bagaimana mungkin penyelidikan independen?" ujar Enny, seperti dikutip Antara, Rabu (18/9).

 

Menurut Enny, pemerintah dan DPR perlu menjelaskan argumentasi yang memadai mengenai perubahan tujuh ketentuan dalam UU KPK tersebut. Hal tersebut juga dinanti-nanti oleh investor karena menyangkut kepastian hukum. Investor juga mempertanyakan komitmen tata kelola pemerintahan karena akan menyangkut pengelolaan APBN atau instrumen fiskal yang sangat berdampak kepada laju perekonomian.

 

"Sehingga kalau kekhawatiran itu tidak terjawab, maka kita khawatir tidak hanya tentang investasi yang kita harapkan masuk ke perekonomian kita, tapi bagaimana upaya kita mengefisiensikan keuangan negara untuk stimulus fiskal," ujar dia.

 

(Baca Juga: Resmi Jadi UU, 2 Fraksi Ini ‘Dissenting’ Soal Dewan Pengawas KPK)

 

Menurut Enny, selama ini keberadaan KPK sebenarnya memberikan kepercayaan diri tentang perbaikan tata kelola pemerintahan. Dia berpendapat KPK mampu memberantas tindakan korupsi di tubuh pemerintahan dan legislatif sehingga memberikan efek jera agar korupsi tidak terulang.

 

"Keberadaan penegakan hukum, termasuk KPK sebenarnya memberikan shock terapi yang luar biasa. Karena orang akan berpikir berkali-berkali lipat untuk bermain-main dan melakukan abuse of power, apalagi terhadap keuangan negara," ujarnya.

 

Sebelumnya, DPR RI telah mengesahkan revisi UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menjadi Undang Undang. Pengesahan dilakukan melalui rapat paripurna.

 

Setidaknya ada tujuh poin revisi UU 30/2002. Seluruhnya, yaitu kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada kekuasaan eksekutif, pembentukan dewan pengawas, pelaksanaan penyadapan, serta mekanisme penghentian penyidikan dan atau penuntutan.

 

Kemudian, soal koordinasi kelembagaan KPK dengan lembaga penegak hukum dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi, mekanisme penggeledahan dan penyitaan, serta sistem kepegawaian KPK.

 

Korban Praktik Korupsi

Sebelumnya, kekhawatiran juga diutarakan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, berpendapat sengkarut revisi UU KPK oleh DPR dan upaya pelemahan KPK sangat mengharu biru publik di semua lini.

 

Menurutnya, pada konteks kepentingan publik klimaks dari praktik koruptif adalah publik dan atau konsumen sebagai korban, dengan menurunnya kualitas public services dan atau kenaikan harga/tarif suatu komoditas suatu barang/jasa.

 

Oleh karena itu, kata Tulus, YLKI menyatakan protes keras terhadap segala bentuk pelemahan upaya pemberantasan korupsi, termasuk pelemahan institusi KPK. Menurutnya, upaya pelemahan KPK hanya akan menyuburkan praktik korupsi di Indonesia, sebab tidak akan ada lagi lembaga yang kredibel dan wibawa dalam pemberantasan korupsi.

 

“Tingginya harga barang dan tarif suatu jasa akan makin tak terkendali, sebab biaya/ongkos korupsi dimasukkan ke dalam komponen harga/tarif suatu barang/jasa tersebut,” kata Tulus.

 

Tags:

Berita Terkait