Polemik UU ITE, Ini Daftar Pasal Kontroversi
Utama

Polemik UU ITE, Ini Daftar Pasal Kontroversi

Penghukuman UU ITE mencapai 96,8% atau 744 dengan tingkat pemenjaraan mencapai 88% 676 perkara.

Aji Prasetyo
Bacaan 7 Menit

Contoh lainnya adalah pasal tentang penyebaran informasi yang menimbulkan penyebaran kebencian berbasis SARA sebagaimana diatur dalam 28 ayat (2) UU ITE. Pasal ini tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian. Pasal ini justru menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah, lebih memprihatinkan pasal ini kerap digunakan untuk membungkam pengkritik Presiden, sesuatu yang oleh Mahkamah Konstitusi dianggap inkonstitusional saat menghapus pasal tentang penghinaan terhadap Presiden.

“Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai dengan Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara). Laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis. Sektor perlindungan konsumen, anti korupsi, pro-demokrasi, penyelamatan lingkungan, dan kebebasan informasi menjadi sasaran utama,” jelas koalisi.

Revisi UU ITE, menurut koalisi khususnya dalam tindak pidana penghinaan dan tindak pidana penyebaran berita bohong, harus dijamin tidak terjadi duplikasi yang menyebabkan tumpang tindih sehingga berakibat bertentangan dengan kepastian hukum. Pasal-pasal tersebut harus disesuaikan dengan ketentuan dalam RKUHP yang akan dibahas.

Berdasarkan monitoring yang dilakukan oleh LBH Pers, selama tahun 2020 setidaknya terdapat 10 Jurnalis yang sedang melaksanakan kerja kerja pers dilaporkan menggunakan ketentuan pasal - pasal dalam UU ITE. Adapun pasal yang kerap digunakan adalah pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian.
 
Kedua, proses “fair trial” dalam ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam revisi UU ITE harus kembali diberlakukan dan mendukung pembaharuan KUHAP dalam RKUHAP bahwa segala bentuk upaya paksa harus dengan izin pengadilan. Revisi UU ITE harus mengembalikan hal baik yang pernah dirumuskan oleh UU ITE tahun 2008 bahwa mekanisme upaya paksa harus dengan izin dalam bentuk penetapan dari pengadilan. Dalam UU ITE yang sekarang berlaku, upaya paksa justru menjadi diskresi aparat penegak hukum dan menghilangkan ijin dari Ketua Pengadilan.

Ketiga, pengaturan mengenai blocking & filtering juga harus direvisi. Dalam pandangan Koalisi, kendatipun kewenangan tersebut memang sudah seharusnya dimiliki pemerintah untuk menegakan hukum, namun perlu adanya kontrol agar tidak terjadi kesewenang - wenangan. Kewenangan mengenai pengaturan blocking dan filtering konten harus diatur secara tegas mekanismenya sesuai dengan due process of law.

“Terlalu besarnya kewenangan pemerintah eksekutif melakukan blocking dan filtering konten internet perlu ditinjau ulang dengan memasukan mekanisme kontrol dan pengawasan sebelum dan setelah melaksanakan pemutusan. Hal tersebut adalah semata mata untuk menjamin hak setiap orang atas informasi dan asas-asas pemerintahan yang baik,” tegas koalisi.

Tags:

Berita Terkait