Polemik Tagar dan Deklarasi Gerakan, Kampanye atau Makar? Begini Hukumnya
Berita

Polemik Tagar dan Deklarasi Gerakan, Kampanye atau Makar? Begini Hukumnya

Harus dilihat apakah gerakan tersebut dilakukan dengan melakukan penyerangan terhadap kekuasaan yang sah dengan maksud menggulingkan kekuasaan, meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Selanjutnya, Pasal 276 UU Pemilu, mengatur tentang masa dimulainya kampanye. Untuk kampanye dalam bentuk pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye pemilu kepada umum dan pemasangan alat peraga di tempat umum dilaksanakan sejak tiga hari setelah penetapan calon sampai dimulainya masa tenang.

 

Sedangkan untuk kampanye dalam bentuk rapat umum, iklan media massa cetak, media massa elektronik, dan internet serta rapat umum dilaksanakan selama 21 hari dan berakhir sampai dengan dimulainya masa tenang. Membatasi hal ini, Pasal 492 bahkan memberikan ancaman bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan. 

 

“Bila ditelaah dari UU Pemilu maupun PKPU Kampanye Pemilu, gerakan tersebut tidak memenuhi unsur ‘ditunjuk oleh peserta pemilu dan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu. Karena peserta pemilu-nya sendiri khususnya untuk Pilpres hingga kini belum ada, karena hingga saat ini belum ada penetapan capres ataupun cawapares,” ujar Ikhwan kepada hukumonline, Jumat (7/9).

 

Baca:

 

Perihal Makar

Ikhwan menjelaskan, KUHP saat ini berlaku di Indonesia berasal dari Belanda yang aslinya bernama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI). KUHP ini pertama kali diberlakukan di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1918 berdasarkan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 tertanggal 15 Oktober 1915. Pasca Kemerdekaan, untuk mengisi kekosongan hukum pidana maka berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia.

 

“Dalam Pasal VI disebutkan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht sehingga dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana,” terang Ikhwan.

 

Problemnya, KUHP yang berbahasa belanda belum diterjemahkan secara resmi ke dalam bahasa Indonesia, sehingga terjemahan yang ada adalah terjemahan tidak resmi dari para pakar hukum, tidak terjemahan dalam suatu perundang-undangan. Karena itu penerapan hukum pidana harus tetap mengacu pada maksud dari bahasa aslinya yaitu bahasa Belanda bila terjadi kerancuan makna. Ikhwan menyebutkan ada persoalan dalam menerjemahkan kata Aanslag menjadi makar dalam pengertian bahasa Indonesia. Menurutnya, menerjemahkan kata Aanslag dengan menjadi makar telah mengaburkan makna mendasar dari Aanslag yang berarti serangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait