Polemik Permohonan PKPU Jiwasraya
Utama

Polemik Permohonan PKPU Jiwasraya

Jiwasraya menunjuk jaksa pengacara negara sebagai kuasa hukum. Atas penunjukan itu, kuasa hukum pemohon PKPU menyatakan keberatan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Asuransi Jiwasraya (Persero) kembali harus menghadapi permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). PKPU terhadap Jiwasraya dimohonkan oleh Ruth Theresia dan Tomy Yoesman pada Rabu (14/4) dengan nomor perkara 170/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN. Jkt.Pst. Adapun tagihan dari kedua pemohon tersebut adalah sekitar Rp17 miliar.

Dalam sidang dengan agenda mendengarkan jawaban dari termohon pada Selasa (27/4), Jiwasraya menunjuk Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat sebagai kuasa hukum. Hal ini biasa disebut sebagai jaksa pengacara negara.

Namun rupanya, kuasa hukum pemohon Frengky Richard Mesakaraeng menyampaikan keberatan terhadap penunjukkan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat sebagai kuasa hukum Jiwasraya. Menurutnya tidak ada aturan yang memberikan ruang bagi institusi kejaksaan untuk bertindak selaku kuasa dari suatu pihak yang menjadi Termohon PKPU dalam permohonan PKPU di pengadilan niaga.

“Tentu ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Frengky, Selasa (27/4).

Frengky merujuk pada Pasal 2 ayat (2) UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, di mana kewenangan Kejaksaan dibatasi hanya untuk mengajukan permohonan Kepailitan mewakili kepentingan Kreditur untuk kepentingan umum. kepentingan umum di sini tidak bisa dimaknai secara bebas tapi harus melihat konteks dan aturan hukum yang belaku. (Baca: Skenario yang Disiapkan Pemerintah Pasca Restrukturisasi Polis Jiwasraya)

Demikian pembatasan kewenangan kejaksaan dalam urusan Kepailitan dan PKPU juga dipertegas dalam Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 109/KMA/SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dimana disebutkan Kejaksaan hanya bisa mengajukan permohonan Kepailitan (selaku Kreditur) untuk kepentingan umum.

Selain itu, saat ini Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat juga tengah melakukan penuntutan perkara pidana dengan dugaan korupsi tengah berjalan terhadap para petinggi Jiwasraya. Di sisi lain, Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat juga menjadi kuasa hukum Jiwasraya, dan Frengky menilai akan timbul konflik kepentingan di pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.

Terkait penunjukan Kejaksaan Negeri Jakpus sebagai kuasa hukum Jiwasraya, kurator Imran Nating menegaskan bahwa jaksa berhak mewakili Jiwasraya sebagai jaksa pengacara. Hal ini bahkan sering dilakukan dalam kasus-kasus yang melibatkan BUMN/BUMN di BANI.

“Kita lihat dulu, penunjukan jaksa ini selaku penyidik atau pengacara negara? Kalau pengacara negara maka berhak mewakili Jiwasraya karena memang posisi pengacara negara. Jika sebagai konteks sebagai jaksa pengacara, sah-sah saja. Kita pernah tandem di BANI mewakili BUMD, tandem satu tim dan mereka berhak bertindak sebagai jaksa pengacara, pastikan statusnya sebagai jaksa pengacara, bukan penyidik,” kata Imran saat dihubungi oleh Hukumonline, Rabu (28/4).

Pada dasarnya, penunjukan jaksa sebagai kuasa hukum dari BUMN/BUMD bukanlah hal baru. Namun, lanjut Imran, hal ini memang baru terjadi di kasus PKPU dan Kepailitan. Dalam bertugas jaksa pengacara melepaskan seluruh atribut jaksa sebagai penyidik, dan biasanya jaksa pengacara berasal dari Kasidatun dan Asdatun yang khusus menangani perkara perdata dan tata usaha negara.

Kewenangan jaksa untuk mewakili BUMN/BUMD sebagai kuasa hukum diatur dalam Pasal 30 UU No. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan). Pasal tersebut berbunyi “Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.”

Menurut mantan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Martin Basiang, dalam tulisannya ‘Tentang Jaksa Selaku Jaksa Pengacara Negara’, berasumsi makna ‘kuasa khusus’ dalam bidang keperdataan sebagaimana tercantum dalam UU Kejaksaan, dengan sendirinya identik dengan pengacara. Istilah pengacara negara, tulis Martin, adalah terjemahan dari landsadvocaten yang dikenal dalam Staatblad 1922 No. 522 tentang Vertegenwoordige (keterwakilan) van den Lande in Rechten.

Pasal 2 Staatblad 1922 No. 522 menyebutkan dalam suatu proses (atau sengketa) yang ditangani secara perdata, bertindak untuk pemerintah sebagai penanggung jawab negara di pengadilan adalah opsir justisi atau jaksa.

Posisi jaksa selaku ‘pengacara’ negara tak lantas membuat seluruh jaksa bisa menjadi JPN. Menurut Martin, sebutan itu ‘hanya kepada jaksa-jaksa yang secara struktural dan fungsional melaksanakan tugas-tugas perdata dan tata usaha negara’. Sebutan ‘pengacara’ dalam Jaksa Pengacara Negara tak bermakna pula bahwa JPN tunduk pada dan diikat Undang-Undang Advokat.

Kewenangan OJK

Imran juga menegaskan bahwa dalam Kepailitan dan PKPU, tidak ada jalan lain yang diberikan kepada nasabah untuk mengajukan permohonan PKPU dan pailit kepada perusahaan asuransi. PKPU dan pailit terhadap perusahan asuransi hanya bisa dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini jelas diatur dalam Pasal 223 jo Pasal 2 ayat 5 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, di mana permohonan PKPU terhadap perusahaan asuransi tidak dapat diajukan langsung oleh kreditur.

“Hanya OJK yang boleh mengajukan PKPU dan pailit terhadap perusahaan asuransi, titik. Tidak ada diksusi untuk itu. Bahasa saya, tolong jangan goda pengadilan, Kasus asuransi Krishna adalah sebuah kealpaan luar biasa dari pengadilan,” jelas Imran.

Bahkan saat pembahasan UU Kepailitan dan PKPU yang dilakukan pada tahun 2004 lalu, lanjut Imran, agenda utamanya adalah untuk meloloskan Pasal 223 tersebut demi melindungi perusahaan asuransi. Dalam pembahasan UU Kepailitan dan PKPU di tahun 2004 tersebut tersebut rupanya juga memasukkan pasal yang memberikan kewenangan kreditur mengajukan PKPU dan pailit meskipun hal ini tidak masuk dalam pembahasan. Hal ini harus dipahami oleh advokat atau penegak hukum.

“Sebagai advokat, penegak hukum harusnya bisa ngomong ke klien kalau UU tidak memperbolehkan itu. Karena pembahasan UU Kepailitan dan PKPU Tahun 2004, poin utama hanya untuk menggolkan ini (PKPU dan pailit lembaga keuangan/non bank hanya bisa dilakukan oleh OJK). Ada beberapa pasal lain juga dan sekalian dimasukkan, tetapi menyusul satu ayat, di mana kreditur boleh mengajukan PKPU, tiba-tiba pasal ini masuk. Kecolongan. Karena seharunsya hanya debitur yang boleh mengajukan PKPU dan pailit,” tegasnya.

Namun demikian Imran juga melayangkan kritik dan masukan kepada OJK. Selaku lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengajukan pailit dan PKPU kepada perusahaan asuransi, OJK tidak boleh menutup mata. PKPU bukanlah barang haram sehingga OJK tak perlu alergi untuk mengajukan PKPU saat perusahaan asuransi berada dalam kesulitan.

“OJK juga jangan menutup mata, ketika ada lembaga insurance yang sedang bermasalah, PKPU bukan barang haram. Ketika asuransi sudah engap, OJK jangan alergi untuk mengajukan PKPU, justru PKPU akan membantu perusahaan dan pemegang polis, OJK jangan diam saat ada permintaan PKPU dari kreditur diam. Kalau OJK diam, mungkin teman-teman advokat ini kesal akhirnya coba-coba maju karena OJK tutup mata,” ujarnya.

Untuk diketahui, Otoritas Jasa Keuangan atau OJK menerbitkan Peraturan OJK Nomor 28/POJK.05/2015 tentang Pembubaran, Likuidasi dan Kepailitan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah. Terkait hal tersebut, kreditor yang menilai bahwa sebuah perusahaan perasuransian memenuhi persyaratan pailit berdasarkan UU Kepailitan dapat menyampaikan permohonan kepada OJK agar OJK mengajukan permohonan pernyataan pailit perusahaan kepada pengadilan niaga.

Kemudian dalam hal kreditor menilai bahwa sebuah perusahaan perasuransian memenuhi persyaratan pailit berdasarkan UU Kepailitan, maka upaya yang dapat dilakukan oleh krediror adalah menyampaikan permohonan kepada OJK agar OJK mengajukan permohonan pernyataan pailit perusahaan perasuransian ke pengadilan niaga.

Sayangnya, lanjut Imran, OJK tidak memiliki mekanisme banding atau lembaga sanggah saat pengajuan permohonan PKPU dan pailit dari kreditur ditolak oleh OJK. Padahal lembaga sanggah ini diperlukan untuk mengetahui alasan penolakan OJK untuk mengajukan PKPU dan pailit. Sehingga Peraturan OJK 28/2015 layak untuk diperbaiki.

“Ada aturan di OJK tentang aturan pailit, sayangnya tidak ada upaya banding atau lembaga sanggah di OJK, kalau OJK tolak permohonan tersebut ya sudah selesai. Bikin dong lembaga sanggah ketika OJK menolak, kita bisa banding, bisa tahu alasan penolakan tersebut apa. OJK jangan tutup mata, mestinya aturan OJK ini diperbaiki, ketika anda menolak orang berhak banding, karena memang faktanya ada utang yang sudah jatuh tempo. Nanti di forum banding akan dijelaskan oleh OJK dan bisa adu data. Apakah alasan OJK kalau perusahaan asuransi di PKPU bisa berdampak sistemik atau seperti apa, jadi tidak diam saja. Orang tidak gedeg, tapi jangan karena kita gedeg kita melanggar,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait