Polemik Penolakan Perpu JPSK
Kolom

Polemik Penolakan Perpu JPSK

Salah satu masalah krusial yang mencuat dari skandal Bank Century adalah status Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perpu JPSK). Yaitu, apakah Perpu tersebut sudah ditolak atau belum oleh DPR?

Bacaan 2 Menit

 

Setelah berlakunya UU No. 10 Tahun 2004, mekanisme pencabutan Perpu diatur secara gamblang. Yaitu jika Perpu ditolak DPR, maka Perpu tersebut tidak berlaku. Selanjutnya, Presiden mengajukan RUU tentang Pencabutan Perpu, yang didalamnya dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut. Ini diatur dalam Pasal 25 ayat (2) dan (3) UU No. 10 Tahun 2004. Namun yang tidak jelas diatur dalam Pasal 25 tersebut adalah, apakah pencabutan Perpu dilakukan dalam Undang-Undang tersendiri yang cuma memuat klausula pencabutan Perpu. Atau, ketentuan pencabutan Perpu itu dapat digabung kedalam UU yang juga mengatur substansi.

 

Sepanjang pengetahuan penulis, pencabutan Perpu JPSK dengan Undang-Undang ini adalah kasus pertama kali pascaberlakunya UU No. 10 Tahun 2004. Karenanya, wajar apabila DPR agak gamang dalam menyikapi RUU Pencabutan Perpu JPSK ini. Sebab, selain merupakan pengalaman baru, DPR juga bagai makan buah simalakama. Di satu sisi, kalau DPR menyetujui RUU Pencabutan Perpu JPSK, dapat ditafsirkan DPR secara implisit mengakui Perpu JPSK masih berlaku. Namun di sisi lain, kalau tidak menyetujui RUU Pencabutan itu, DPR dapat dianggap melanggar UU No. 10 Tahun 2004, yang sudah jelas mengamanatkan Perpu harus dicabut dengan Undang-Undang.

 

Saran Penyelesaian

Mengenai masalah pencabutan Perpu JPSK ini, saran yang dapat disampaikan  adalah, pertama, apabila DPR tidak menyetujui suatu Perpu, maka DPR harus secara tegas menyatakannya baik dalam Rapat Paripurna maupun dalam surat Ketua DPR kepada Presiden. Ketegasan ini penting agar tidak menimbulkan lagi perbedaan penafsiran atas sikap DPR terhadap Perpu yang diajukan Presiden.

 

Kedua, Pasal 22 UUD 1945 perlu disempurnakan. Penyempurnaan yang paling penting adalah, adanya klausula yang menegaskan kapan suatu Perpu yang sudah tidak mendapat persetujuan DPR itu dinyatakan tidak berlaku. Idealnya, sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004, Perpu demi hukum sudah tidak berlaku lagi sejak DPR tidak memberikan persetujuannya.

 

Ketiga, karena masalah pencabutan Perpu JPSK ini sudah berlarut-larut, maka DPR dan pemerintah perlu duduk bersama untuk mencari solusi yang terbaik. Hal ini karena DPR dan pemerintah tidak dapat mengelak ketentuan UU No. 10 Tahun 2004, yang mengamanatkan pencabutan Perpu harus dengan Undang-Undang. DPR juga tidak perlu risau apabila UU Pencabutan Perpu JPSK mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Karena secara materil, Perpu JPSK sudah tidak berlaku sejak tidak mendapat persetujuan DPR, yang menurut DPR sejak 18 Desember 2008. Sedangkan UU Pencabutan Perpu JPSK, haruslah dipandang sebagai formalitas atau masalah administratif saja.

 

Kalau pun, masih ada kekhawatiran, Perpu JPSK tersebut masih dianggap berlaku hingga berlakunya UU Pencabutan Perpu JPSK, maka bisa saja UU Pencabutan Perpu JPSK tersebut diberlakukan surut sampai dengan 18 Desember 2008. Meski usulan ini agak aneh karena pemberlakuan surutnya lebih dari satu tahun, tapi usulan ini mungkin saja dapat memuaskan DPR karena dapat menepis anggapan bahwa Perpu JPSK tersebut masih berlaku sampai saat ini. Lagi pula, menurut “buku putih” yang diterbitkan Departemen Keuangan, Perpu JPSK hanya digunakan pada 21 November 2008, jauh sebelum 18 Desember 2008. Setelah 21 November 2008, pemerintah menggunakan UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menangani Bank Century. Dengan kata lain, jika Perpu JPSK dinyatakan tidak berlaku sejak 18 Desember 2008 nampaknya tidak akan menimbulkan persoalan.

 

Terakhir, dimasa mendatang klausula pencabutan Perpu sebaiknya diajukan dalam UU tersendiri, tidak digabung kedalam RUU substansi yang sekaligus memuat ketentuan tentang pencabutan Perpu. Pembahasan RUU yang hanya memuat klausula pencabutan Perpu ini, tentunya akan memerlukan waktu yang sangat singkat. Sehingga, sifat kegentingan memaksa yang melekat pada suatu Perpu dapat terjaga, yaitu tidak boleh melebihi persidangan yang berikut sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. 

 

*) Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran.

Tags: