Polemik Pajak Freeport Diselesaikan di Amerika Serikat
Aktual

Polemik Pajak Freeport Diselesaikan di Amerika Serikat

ANT
Bacaan 2 Menit
Polemik Pajak Freeport Diselesaikan di Amerika Serikat
Hukumonline
Polemik pajak daerah yang harus dibayarkan PT Freeport Indonesia kepada Pemerintah Provinsi Papua sejak 2009-2014, akan diselesaikan di Freeport-McMoRan (FCX) yang berkantor pusat di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat.

"Tidak bisa dituntaskan manajemen Freeport di Indonesia, itu harus sampai di Phoenix, Amerika Serikat," kata Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Papua Bangun Manurung, di Jayapura, Selasa.

Bangun mengakui, pajak daerah itu menjadi polemik berkepanjangan karena terjadi perbedaan penilaian terhadap besaran pajak yang harus dibayarkan perusahaan tambang tembaga, emas dan perak itu.

Versi Pemerintah Provinsi Papua, Freeport berkewajiban membayar Pajak Air Permukaan (PAP) dan pajak pertambangan lainnya dari 2009 sampai 2014 sebesar Rp2,7 triliun.

Pemprov Papua memiliki dasar hukum untuk menetapkan PAP dan pajak pertambangan lainnya senilai Rp2,7 triliun itu yaitu mengacu pada UU Nomor 28 tahun 2009 dan Perda Provinsi Papua Nomor 11 tahun 2009.

Namun, manajemen PT Freeport Indonesia menyatakan keberatan membayar tagihan PAP dan komponen pajak pertambangan lainnya ke Pemprov Papua sejak 2009-2014 senilai Rp2,7 triliun.

Kepala Unit Penerimaan Pendapatan Daerah (UPPD) Samsat Timika, Snell Elisabeth mengatakan, keberatan untuk membayar tagihan PAP Rp2,7 triliun itu tertuang dalam surat balasan manajemen PT Freeport ke Gubernur Papua, Lukas Enembe.

Pihak Freeport beralasan pembayaran tagihan PAP dan komponen pajak Pemprov Papua lainnya mengacu pada nota kesepahaman yang ditandatangani Pelaksana Tugas Gubernur Papua Constan Karma pada 2011 dan Peraturan Gubernur Papua pada 2011.

Mengacu pada dua aturan itu, Freeport hanya bersedia membayar PAP sebesar 150.000 dolar AS atau jika dikonversikan ke dalam mata uang rupiah senilai Rp1,5 miliar per tahun.

Penghitungan untuk menentukan besaran PAP yang dibayar PT Freeport kepada Pemprov Papua mengacu pada hasil survei yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Pemprov Papua (sekarang disebut Dinas ESDM) bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Berdasarkan hasil survei dimaksud dan dikuatkan dengan UU Nomor 28 tahun 2009 dan Perda Provinsi Papua Nomor 11 tahun 2009 maka setiap tahun PT Freeport harus membayar Pajak Air Permukaan (PAP) ke Pemprov Papua sebesar Rp17 miliar.

Selain itu, MoU yang pernah ditandatangani Plt Gubernur Papua Constan Karma dengan manajemen PT Freeport pada 2011, dianggap sebagai temuan yang dipersoalkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Masalah ini juga dibahas secara detail dengan Presiden Direktur (Presdir) PT Freeport Indonesia Rozik Boedioro Soetjipto, di ruang kerja Gubernur Papua, Senin (18/8), namun juga belum bisa selesai," ujarnya.

Karena itu, masalah tersebut akan diselesaikan di kantor pusat Freeport di Amerika Serikat.

Tim Pemprov Papua tengah membentuk tim khusus yang akan ikut menghadiri pertemuan dengan petinggi Freeport di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat.

"Minggu ketiga September nanti, ada tim kecil untuk berangkat ke sana, akan dibicarakan pajak ini," ujarnya.

Investasi Saham Selain polemik pajak daerah itu, tim Pemprov Papua dan petinggi Freeport di Amerika Serikat, juga akan membicarakan investasi di Freefort yang akan diberikan ke pemerintah daerah di Papua, seperti pembelian saham divestasi.

"Bagaimana pemerintah daerah di Papua bisa membeli saham divestasi di Freeport, dan juga pengembalian sebagian dari wilayah Kontrak Karya ke pemerintah daerah seperti Blok A atau yang disebut Blok Wabu," ujarnya.

Luas wilayah Freeport Indonesia di Papua saat ini lebih dari 100 ribu hektare, dari 117 ribu hektare yang dapat disetujui pemerintah untuk dipergunakan.

Namun, Freeport cuma butuh 10 ribu hektare untuk eksploitasi, sehingga pemerintah meminta penyusutan wilayah, dan disetujui Freeport, sehingga dimantapkan dalam renegosiasi Kontrak Karya.

Kontrak Karya Freeport baru akan berakhir pada 2021, dan akan ada perpanjangan waktu untuk periode 2021-2041.

Pada Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, diatur luas wilayah maksimal untuk pertambangan mineral logam seluas 25.000 hektar, dan untuk pertambangan batubara seluas 15.000 hektare.
Tags: