Polemik Ganti Kerugian Korban First Travel, Ada Ketentuan yang ‘Ketinggalan’ Sejak Awal
Berita

Polemik Ganti Kerugian Korban First Travel, Ada Ketentuan yang ‘Ketinggalan’ Sejak Awal

Ganti rugi untuk korban pidana dapat dilakukan melalui penggabungan perkara dengan ganti kerugian.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Persoalan terkait barang bukti yang dirampas negara yang tengah dihadapi oleh Jemaah korban penipuan First Travel hari ini adalah konsekuensi dari penerpan hukum pidana secara “murni” dalam kasus First Travel. Menurut Dio, jika sejak awal penuntut umum menggunakan serta pasal 98 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka terbuka jalan bagi korban First Travel untuk memperoleh ganti rugi secara perdata.

Secara normatif, ganti rugi untuk korban pidana dapat dilakukan melalui penggabungan perkara dengan ganti kerugian, kemudian melalui gugatan perbuatan melawan hukum, dan melalui permohonan restitusi. Dalam konteks Pasal 98, jalan yang dimaksudkan adalah melalui penggabungan perkara sehingga korban tidak pidana dapat menuntut ganti rugi dilakukan.

Pasal 98 ayat (1) KUHAP mengatur ketentuan “Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu”.

Penggabungan perkara ganti kerugian diatur dalam Pasal 98 ayat (2) KUHAP. “Diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan”.

Jika sejak awal korban First Travel melalui kuasa hukumnya meminta penggabungan perkara ganti kerugian maka Pengadilan wajib menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban. Dengan begitu, pada saat pengadilan memutus perkara pidananya berkekuatan hukum tetap, secara bersamaan putusan penggantian kerugian korban First Travel berkekuatan hukum tetap.

Pemeriksaan penggabungan perkara ganti kerugian ini berdasarkan ketentuan Pasal 101 KUHAP menggunakan mekanisme yang diatur dalam Hukum Acara Perdata. “jadi penggabungan itu untuk penghitungan kerugian perdata,” ujar Dio. Ia menyayangkan sejak awal mekanisme ini tidak diikutsertakan.

Jika dilihat kembali melalui putusan Pengadilan Negeri Depok tertanggal 30 Mei 2018, diketahui sejumlah pasal yang menjadi dasar rumusan Penuntut Umum di hadapan pengadilan. Kedua Terpidana yang pada saat itu masih berstatus Terdakwa didakwa dengan dakwaan kombinasi Pasal 378 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Terdakwa juga didakwa dengan Pasal 372 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP, dan terakhir Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, menilai putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) terhadap perkara penipuan dan pencucian uang di perusahaan agen umrah First Travel tidak sesuai dengan tuntutan jaksa. Meskipun putusan kasasi MA telah menetapkan bahwa aset sitaan barang bukti First Travel untuk dilelang, menurut Burhanuddin, seharusnya aset harta tersebut dikembalikan kepada korban. Untuk itu, ia menilai putusan tersebut bermasalah. "Padahal kami tuntutannya (aset barang bukti) dikembalikan kepada korban, putusan itu kan jadi masalah," kata Burhanuddin, Minggu (17/11) lalu.

Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi ikut bersuara. Kementerian Agama, kata dia, mendukung upaya pengembalian aset First Travel, kepada jemaah korban penipuan dan pencucian uang oleh pimpinan First Travel. Menurut Zainut, hal tersebut merupakan hak jemaah sehingga harusnya dikembalikan kepada mereka. “Sudah menjadi catatan Kemenag bahwa sebaiknya para korban ini harus diperhatikan, apakah pengembaliannya dengan cara memberangkatkan umroh atau dikembalikan uangnya. Kami dari Kemenag sangat mendukung itu,” kata Zainut, Senin (18/11).

Ia juga menyebutkan terdapat opsi pengembalian tabungan umroh dan haji yang telah tertuang dalam Surat Keputusan Kementerian Agama No. 589 Tahun 2018. SK ini  menyebutkan bahwa uang jemaah wajib dikembalikan dan atau jemaah ke Tanah Suci.

Tags:

Berita Terkait