Polemik Dwi Kewarganegaraan Berulang di Kasus Bupati Terpilih Sabu Raijua
Utama

Polemik Dwi Kewarganegaraan Berulang di Kasus Bupati Terpilih Sabu Raijua

Bila benar Orient memiliki dwi kewarganegaraan, sesuai UU Kewarganegaran RI, status WNI yang bersangkutan sebagai syarat pencalonan dalam pilkada, gugur. Sebab, dalam UU Kewarganegaraan itu, Indonesia tidak menganut sistem dwi kewarganegaraan.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi. Hol
Ilustrasi. Hol

Belum lama ini, Bupati terpilih Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, Orient Patriot Riwu Kore dikabarkan diduga berkewarganegaraan Amerika Serikat (AS). Hal ini diamini Bawaslu setempat berdasarkan surat balasan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Jakarta yang menyatakan Orient Patriot Riwu Kore merupakan warga negara AS dan mengantongi paspor pemerintah AS.   

KPU setempat pun sudah mengklarifikasi temuan Bawaslu Sabu Raijua kepada Dukcapil Kota Kupang bahwa Orient Patriot mengantongi KTP warga negara Indonesia (WNI) yang sah. KTP-nya beralamat di Desa Nunbaun Sabu, Kecamatan Alak, Kota Kupang pada 16 Septembr 2020, sehingga yang bersangkutan lolos syarat pencalonan kepala daerah hingga memenangkan Pilkada kabupaten itu pada 9 Desember 2020 lalu.               

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar, mengatakan kasus dugaan pelanggaran pilkada oleh bupati terpilih Sabu Raijua, Orient Patriot Riwu Kore merupakan kasus pertama selama penyelenggaraan Pilkada di Indonesia. "Kami bertemu persoalan hukum yang belum pernah terjadi selama penyelenggaraan pilkada," kata Fritz, dalam keterangannya di Gedung Bawaslu Jakarta, Kamis (4/2/2021) seperti dikutip Antara.

Ia menjelaskan alasan Bawaslu merekomendasikan penundaan pelantikan terhadap bupati dan wakil bupati terpilih Sabu Raijua karena pihak-pihak penyelenggara pilkada masih mengembangkan pembahasan terkait dasar hukum yang dapat disangkakan kepada Riwu Kore.

Merujuk Pasal 13 dan Pasal 30 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, tugas-tugas pengawasan penyelenggaraan pilkada oleh Bawaslu berakhir saat penetapan kepala daerah terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum. "Proses penetapan sudah selesai dan dokumen sudah diserahkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk selanjutnya tahapan pelantikan," kata dia.

Dia mengingatkan Pasal 7 ayat (1) UU 10/2016 disebutkan kepala daerah haruslah seorang yang menyandang kewarganegaraan Indonesia. Lalu, terkait kewarganegaraan, Pasal 23 huruf h UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI disebutkan warga negara Indonesia (WNI) kehilangan hak kewarganegaraan Indonesianya jika memiiki kartu identitas resmi dari negara lain. 

Terkait alternatif pembatalan keterpilihan Riwu Kore sebagai bupati terpilih Sabu Raijua, dia mengatakan ada tiga hal yang berkembang dalam diskusi. Pertama, belum ada dasar hukum bagi kepala daerah, yang sudah ditetapkan sebagai pemenang pilkada, lalu dibatalkan keterpilihannya karena pelanggaran saat pendaftaran dan verifikasi berkas bakal calon yang sudah lewat. (Baca Juga: Mendorong Dwi Kewarganegaraan Agar Bisa Diterapkan di Indonesia)

Kedua, apabila keterpilihan Riwu Kore sebagai bupati Sabu Raijua dibatalkan, akan muncul pertanyaan terkait institusi yang berwenang membatalkan. "Pertanyaan hukumnya adalah, apabila seorang calon yang sudah ditetapkan kemudian dibatalkan, lembaga mana yang berwenang untuk membatalkannya? Apakah Badan Pengawas Pemilu, KPU, atau Kementerian Dalam Negeri? Itu juga persoalan hukum yang harus kami lihat," kata dia.

Ketiga, dalam kasus Pilkada Sabu Raijua itu muncul pembahasan terkait siapa yang akan dibatalkan, apakah hanya bupati terpilih atau beserta wakil bupati terpilih. "Lalu, kalau ada kemungkinan dibatalkan dan ada lembaga yang berwenang membatalkan, siapa yang dibatalkan? Apakah salah satu paslon atau kedua-duanya dapat dibatalkan?

Persoalan lain, Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham belum memberi tanggapan atas surat-surat yang dikirimkan Badan Pengawas Pemilu Kabupaten Sabu Raijua, NTT terkait permintaan data kewarganegaraan calon bupati Sabu Raijua, Orient Patriot Riwu Kore. Dalam keterangannya, Kamis (4/2/2021), Ketua Bawaslu Abhan, mengatakan, mereka beberapa kali telah melakukan berbagai upaya mengklarifikasi dugaan pelanggaran Riwu Kore sejak sebelum masa penetapan pasangan calon bupati dan wakil bupati Sabu Raijua pada 23 September 2020.

"Kami sudah melakukan upaya jauh hari, sebelum penetapan pasangan calon. Jadi sudah dilakukan oleh teman-teman di Bawaslu Sabu Raijua dengan bersurat dan sebagainya. Namun, sampai hari ini juga belum ada jawaban (yang pasti, red)," kata Abhan.

Seperti diketahui, Orient maju dalam Pilkada Kabupaten Sabu Raijua 2020 bersama Thobias Uly sebagai calon bupati, dengan mendapat dukungan dari Partai Demokrat, PDI Perjuangan, dan Partai Gerindra. Riwu Kore-Uly memenangi Pilkada dengan perolehan suara 48,3 persen, mengalahkan pasangan Nikodemus N Rihi Heke-Yohanis Uly Kale dengan 30,1 persen suara dan pasangan Takem Irianto Radja Pono-Herman Hegi Radja Haba dengan 21,6 persen suara.

Diduga dwi kewarganegaraan

Menanggapi persoalan ini, Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menduga ada pemalsuan dokumen kependudukan yang dilakukan Orient demi lolos dari persyaratan pencalonan. Titi juga menduga kemungkinan Orient saat ini memliki status dwi kewarganegaraan yakni Amerika dan Indonesia.

Menurutnya, bila benar Orient memiliki dwi kewarganegaraan, sesuai UU Kewarganegaran RI, status WNI yang bersangkutan sebagai syarat pencalonan dalam pilkada, gugur. Sebab, dalam UU Kewarganegaraan itu, Indonesia tidak menganut sistem dwi kewarganegaraan. “Ketika datanya ada di Dukcapil, dia berarti memberi keterangan tidak benar. Dia WNA (Amerika, red), tapi mengaku WNI atau dwi kewarganegaraan. UU Kewarganegaraan, kalau dia punya kewarganegaraan lain, otomatis status WNI gugur,” kata Titi saat dihubungi, Jum’at (5/2/2021).                         

Pasal 23 UU Kewarganegaraan RI menyebutkan Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan: h. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya.  

Lalu, jika Orient terbukti memalsukan dokumen, kata Titi, Bupati Sabu Raijua terpilih bisa dijerat pidana sesuai Pasal 184 UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pasal 84 UU 1/2015 menyebutkan Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 dan paling banyak Rp72.000.000,00.”      

“Dia (Orient, red) bisa dikenakan Pasal 184. Sebab, bisa jadi dokumen kependudukannya itu dikeluarkan secara resmi oleh Dukcapil, tapi cara dia memperolehnya itu dengan cara yang tidak memenuhi syarat,” katanya.     

Masalah kewarganegaraan ganda ini menjadi persoalan klasik di Indonesia. Sebab, UU Kewarganegaraan RI tidak mengenal dwi kewarganegaraan. Pasal 41 jo Pasal 4 UU Kewarganegaraan RI memberi pengecualian terhadap anak hasil perkawinan campur hingga berusia 18 tahun. Setelah usia 18 tahun atau sudah menikah, anak itu harus memilih kewarganegaraannya, apakah mengikuti kewarganegaraan ayah atau ibunya melalui proses pendaftaran diri kepada pejabat yang berwenang.  

Selama ini upaya yang dilakukan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalukan pengembangan dan penyempurnaan aplikasi kewarganegaraan; penyusunan revisi PP No. 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Permohonan, Kehilangan dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan dengan penyederhanaan persyaratan administrasi, biaya PNBP lebih murah, dan diatur naturalisasi murni.

Kasus kewarganegaraan ganda pada pejabat publik Indonesia pernah terjadi sebelumnya, saat Arcandra Tahar yang diketahui memiliki paspor Amerika Serikat sejak 2012. Hal ini terungkap setelah dia dilantik dan diambil sumpahnya sebagai Menteri ESDM pada Kabinet Kerja Pertama, pada 27 Juli 2016 lalu. Hanya dua pekan, dia menduduki kursi Menteri ESDM sampai akhirnya ia dicabut sebagai menteri ESDM. Kenyataan ini sempat menjadi polemik di ruang publik dan pemberitaan. Kemudian, Tahar dikukuhkan kembali identitas kewarganegaraan Indonesianya dan Oktober 2016 dilantik menjadi Wakil Menteri ESDM.

Tags:

Berita Terkait