Polemik Aturan Pendirian PT dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja
Utama

Polemik Aturan Pendirian PT dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja

Salah satu yang akan diatur adalah pendirian PT yang bisa dilakukan oleh satu pihak.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: BAS
Ilustrator: BAS

Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dipastikan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020. Salah satu fokus pembahasan dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini menyoal investasi dan perizinan, di mana satu di antaranya mengenai penyederhanaan pendirian Perseroan Terbatas (PT).

 

Menteri Koordinator Perekonomian (Menko) Airlangga Hartato menyampaikan bahwa bentuk penyederhanaan pendirian PT adalah menghapus syarat batasan modal awal. Bahkan untuk usaha kecil menengah, badan usaha satu pihak pun akan dimungkinkan dengan persetujuan usaha kecil dan menengah. Airlangga melanjutkan bahwa saat ini naskah akademik sudah selesai dan sebagian besar dari konten sudah disepakati.

 

Berdasarkan dokumen naskah akademis yang diperoleh oleh hukumonline, dalam kaitan dengan starting a business, starting a business di Indonesia masih memiliki banyak kendala. Salah satunya adalah karena adaya ketentuan undang-undang yang menyangkut pendirian badan hukum harus didirikan oleh dua pihak atau lebih, minimal modal, akta notaris dan beragamnya bentuk badan usaha.

 

Masih dikutip dalam naskah akademis, dalam Bab Analisis dan Evaluasi Terkait Pendukung Ekosistem, penerapan starting a business dapat mengacu negara peringkat atas EoDB, seperti Selandia Baru. Adapun muatan yang perlu diatur yaitu mengubah ketentuan UU Perseroan Terbatas (PT) mengenai pendirian badan hukum dapat dilakukan oleh satu pihak dan tanpa ada minimal modal di setor (diserahkan kepada pendiri atau kesepakatan para pendiri); mengubah ketentuan UU PT, UU Koperasi, UU Jabatan Notaris mengenai akta pendirian badan hukum dengan kriteria tertentu dapat dilakukan oleh Pemerintah melalui registrasi elektronik (tanpa melalui akta notaris).

 

Contoh penerapan registrasi elektronik di Singapura; mencabut ketentuan CV dan Persekutuan Perdata dalam KUHD dan KUH Perdata dan menghapus UD; dan mencabut ketentuan UU Wajib Daftar Perusahaan mengenai tanda daftar perusahaan (telah ditampung dalam OSS);  Hinder OrdonantieStb. 1926 No. 226 juncto Stb. 1940 No.450.

 

Merespons hal tersebut, Notaris Aulia Taufani menilai isu penghapusan modal untuk pendirian PT adalah isu lama. Kebijakan ini diambil oleh pemerintah guna memenuhi kriteria dari Bank Dunia sebagai bagian dari penilaian EoDB terkait kemudahan memulai usaha.

 

(Baca: RUU Cipta Lapangan Kerja Hanya Cabut Aturan yang Hambat Investasi)

 

Penerapan kebijakan ini, lanjut Aulia, memang dimungkinkan dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), di mana negara memiliki kewenangan untuk menetapkan penetapan modal dasar melalui Peraturan Pemerintah. Pertimbangan itu pula yang melahirkan PP No.29 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas. Dan Omnibus Law mempertegas tentang penghapusan modal dasar pendirian PT tersebut.

 

“Nah ini kalau dilihat dalam konteks ini Omnibus Law ingin mempertegas lagi karena memang ada perdebatan. Walaupun itu dimungkinkan melalui PP tapi yang mengindikasikan pendelegasian ke PP itu arahnya meningkat, misal awalnya modal dasar Rp50 juta naik jadi Rp100 juta karena pertumbuhan ekonomi, dll. Nah jadi saya rasa kalau konteks modal dasar masuk dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja untuk mempertegas bahwa memang modal dasar itu bisa kesepakatan para pihak,” kata Aulia kepada hukumonline, Selasa (21/1).

 

Sementara itu terkait dengan syarat pendirian PT yang dimungkinkan dilakukan oleh satu pihak, Aulia menilai bahwa esensi dari terbatas seharusnya tidak dikontrol oleh satu pihak. Keberadaan saham minoritas menjadi penting sebagai penyeimbang. Jika hanya dilakukan oleh satu pihak, maka aturan tentang kepemilikan saham minoritas menjadi tidak ada. Konsep dua pemegang saham diperlukan demi konsistensi dan pertanggungjawaban terbatas terhadap perusahaan.

 

Di sisi lain, doktrin syarat pendirian PT dengan minimal dua pemegang saham berangkat dari defenisi PT pada Pasal 1 ayat (1) UU PT yang menyatakan bahwa PT didirikan berdasarkan atas suatu perjanjian. Konsep perjanjian itu sendiri, katanya, adanya dua belah pihak atau lebih yang berinisiatif untuk melakukan perjanjian.

 

Namun demikian, hal tersebut dimungkinkan jika melihat literatur yang selama ini sudah diperbandingkan dengan pendirian PT dalam konteks deklarasi yang juga banyak diterapkan di banyak negara. Hanya saja perlu kajian akademik yang lebih spesifik untuk menentukan apakah pendirian PT bersifat perjanjian atau deklarasi.

 

“Saya sih termasuk orang yang menganggap bahwa dialektika itu penting. Konteksnya bahwa esensi dari limited, terbatas itu memang harusnya tidak dikontrol oleh satu pihak, jadi minoritas itu jutsru menjadi penyeimbang bahwa perseroan itu bukan milik shareholder, tapi juga milik stakeholder, pemangku kepentingan. Di situ juga ada pihak ketiga kreditor, di situ juga ada pekerja karyawan, jadi enggak bisa hanya satu pemegang saham. Konsep dua pemgang saham untuk membuat konsistensi dari pertanggung jawaban terbatas,” jelasnya.

 

Aulia menambahkan, konsep deklarasi dalam pendirian PT dimungkinkan untuk dilakukan di Indonesia khusus UMKM. Tapi pertanyaan kemudian yang muncul adalah omnibus law tidak sampai menyentuh konsep perubahan anggaran dasar.

 

“Artinya ok pendirian sederhana cukup dengan deklarasi atau emang UMKM dikasih batasan maksimum Rp100 juta atau Rp500 juta boleh deklarasi, atau mungkin yang lebih kecil dibawah itu, nah termasuk tadi boleh enggak ini tidak pakai akta notaris?” ungkapnya.

 

Kemudian terkait wacana pendirian PT yang bisa dilakukan tanpa adanya akta notaris dalam omnibus law dengan kriteria tertentu, Aulia menegaskan hal tersebut bisa dilaksanakan sepanjang pendirian PT bersifat deklaratif dan modal kecil. Dalam hal ini, pemerintah perlu menentukan peran notaris mana yang harus dihapus, apakah peran membuat akta notaris yang merupakan perjanjian dalam konteks menjadi akta pendirian dan anggaran dasar, atau peran menjalankan fungsi pendaftaran di Kemenkumham.

 

Namun Aulia mengingatkan jika kebijakan ini bukan tanpa risiko. Pendirian PT tanpa akta notaris membuat keabsahan dokumen, keabsahan identitas dan keabsahan dari kehendak menjadi tidak terjamin dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

 

“Karena ini akan memberikan titel badan hukum maka formalitas dan keabsahan informasi itu harus valid, makanya diharapkan harus ada pihak ketiga yang dipercaya untuk memastikan dokumen itu dimasukan dengan baik dan dengan akurat. Nah ini mau diganti dengan pejabat fungsional dan sebagainya,” tuturnya.

 

Terkait hal ini, demi menjamin keabsahan dan pertanggungjawaban informasi dalam pendirian PT, maka Aulia menilai peran notaris tidak bisa diabaikan. Jika sektor yang disasar pemerintah adalah UMKM, maka Menkumham sudah menyediakan aturan khusus yang seharusnya disosialisasikan kepada semua pihak.

 

“Kita siap bicara dengan pemerintah. Artinya melepaskan peran notaris berarti berisiko dalam keakuratan data dan dampak besar ke proses lain. Ini ‘kan pemberian status badan hukum. Ya itu yang akan diambil oleh negara risikonya besar jika tanpa peran notaris,” pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait