Pola Praperadilan Pasca Putusan MK Berpotensi Membahayakan Alat Bukti
Utama

Pola Praperadilan Pasca Putusan MK Berpotensi Membahayakan Alat Bukti

Pengadilan menegaskan bukti-bukti asli wajib ditunjukan di muka sidang guna meyakinkan hakim bahwa fotocopy yang diajukan bersumber dari aslinya.

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit

Adapun aturan lain dalam Pasal 18 ayat (3) UU KIP yang memperbolehkan pembukaan informasi untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Namun, pembukaan informasi tersebut hanya dapat dilakukan dengan cara meminta izin kepada Presiden sebagaiaman diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UU KIP.

Pasal 18 ayat (6) UU KIP

Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diberikan oleh Presiden kepada Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Pimpinan Lembaga Negara Penegak Hukum lainnya atau Ketua Mahkamah Agung.

Menanggapi kekhawatiran KPK akan rusak, hilang, atau disalahgunakannya alat bukti yang dihadirkan di sidang praperadilan, Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan I Made Sutrisna mengatakan, setiap bukti berupa fotocopy yang diajukan di persidangan, termasuk sidang praperadilan wajib ditunjukan aslinya di muka hakim.

"Memangnya bukti-bukti itu mau diapakan di persidangan, sampai rusak atau hilang? (Bukti-bukti itu) Hanya ditunjukkan saja bahwa fotocopy ini di-copy dari aslinya ini. Begitu saja kok. Tidak (disimpan di pengadilan). Itu hanya untuk meyakinkan hakim bahwa fotocopy yang diajukan bersumber dari aslinya," tuturnya.

Sebagaimana diketahui, 28 April 2015 lalu, MK merombak ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP tentang objek praperadilan dan sejumlah pasal lain di dalam KUHAP tentang bukti permulaan yang cukup. MK menganggap Pasal 77 huruf a KUHAP inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai, termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Begitu pula dengan frasa "bukti permulaan yang cukup' dan 'bukti yang cukup". MK menyatakan kedua frasa itu harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangka, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan tanpa kehadirannya (in absentia).

Putusan MK inilah yang menjadi salah satu pertimbangan hakim tunggal Upiek ketika memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka Ilham. Dengan alasan KPK tidak dapat menunjukan bukti permulaan yang cukup, Upik menilai penetapan tersangka Ilham tidak sah. Alhasil, ia membatalkan penetapan tersangka Ilham.

Tags:

Berita Terkait