Pokok-Pokok Pengaturan Perlakuan Perpajakan E-Commerce
Utama

Pokok-Pokok Pengaturan Perlakuan Perpajakan E-Commerce

Mulai 1 April 2019, penjual online shop wajib memberitahukan nomor NPWP.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES

Pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Dalam rangka memberikan kepastian terkait aspek perpajakan bagi pelaku usaha yang melaksanakan kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik.

 

Dalam siaran persnya, Jumat (11/1), Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama menyatakan penting untuk diketahui bahwa Pemerintah tidak menetapkan jenis atau tarif pajak baru bagi pelaku e-commerce.

 

Menurutnya, pengaturan yang dimuat dalam PMK-210 ini semata-mata terkait tata cara dan prosedur pemajakan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan administrasi dan mendorong kepatuhan perpajakan para pelaku e-commerce demi menciptakan perlakuan yang setara dengan pelaku usaha konvensional.

Pokok-pokok pengaturan dalam PMK-210 ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagi pedagang dan penyedia jasa yang berjualan melalui platform marketplace
  1. Memberitahukan Nomor Pokok Wajib Pajak kepada pihak penyedia platform marketplace;
  2. Apabila belum memiliki NPWP, dapat memilih untuk (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, atau (2) memberitahukan Nomor Induk Kependudukan kepada penyedia platform marketplace;
  3. Melaksanakan kewajiban terkait PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seperti membayar pajak final dengan tarif 0,5% dari omzet dalam hal omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun, serta
  4. Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal omzet melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun, dan melaksanakan kewajiban terkait PPN sesuai ketentuan yang berlaku.
  1. Kewajiban penyedia platform marketplace
  1. Memiliki NPWP, dan dikukuhkan sebagai PKP;
  2. Memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penyediaan layanan platform marketplace kepada pedagang dan penyedia jasa;
  3. Memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan barang dagangan milik penyedia platform marketplace sendiri, serta
  4. Melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan oleh pedagang pengguna platform.

 

Hestu menjelaskan, yang dimaksud dengan penyedia platform marketplace adalah pihak yang menyediakan sarana yang berfungsi sebagai pasar elektronik, di mana pedagang dan penyedia jasa pengguna platform dapat menawarkan barang dan jasa kepada calon pembeli.

 

Penyedia platform marketplace yang dikenal di Indonesia antara lain Blibli, Bukalapak, Elevenia, Lazada, Shopee, dan Tokopedia. Selain perusahaan-perusahaan ini, pelaku overthe-top di bidang transportasi juga tergolong sebagai pihak penyedia platform marketplace.

 

Bagi e-commerce di luar Platform marketplace Pelaku usaha yang melaksanakan kegiatan perdagangan barang dan jasa melalui online retail, classified ads, daily deals, dan media sosial wajib mematuhi ketentuan terkait PPN, PPnBM, dan PPh sesuai ketentuan yang berlaku.

 

“Sebelum PMK-210 ini mulai berlaku efektif pada 1 April 2019, DJP akan melaksanakan sosialisasi kepada para pelaku e-commerce, termasuk penyedia platform marketplace dan para pedagang yang menggunakan platform tersebut,” kata Hestu.

 

(Baca Juga: Kemenkeu: Pengenaan Pajak e-Commerce Terkait Tata Cara)

 

Konsultan Perpajakan DDTC, Darussalam, berpendapat inti dari PMK 210 ini merupakan upaya untuk menyeragamkan perlakuan pajak antara e-commerce dengan pedagang konvensional.

 

Dilihat dari sifatnya, kata Darussalam, PMK ini hanya berupa penegasan saja atas kewajiban pajak kepada penyelenggara marketplace dan pengguna jasa marketplace karena pemerintah juga tak menetapkan jenis dan tarif pajak baru bagi pelaku e-commerce.

 

“Ada keadilan yang diberikan dalam PMK ini kepada wajib pajak yang melakukan perdagangan dengan model konvensional, karena perlakuan pajaknya sama,” ujar Darussalam melalui pesan singkat kepada hukumonline, Sabtu, (12/1).

 

Pengamat perpajakan lainnya, Yustinus Prastowo mengatakan secara substansi PMK a quo cukup moderat karena lebih fokus pada pengaturan hak dan kewajiban yang bersifat umum, dan menekankan registrasi sebagai wajib pajak bagi para pedagang.

 

Pemilik platform diprediksi Yustinus menjadi salah satu kunci utama keberhasilan PMK ini, mengingat pemilik platformlah yang akan menjadi tulang punggung pemastian bahwa pedagang memiliki NPWP sebelum mendaftar di sebuah platform.

 

“Untuk itu sosialisasi, koordinasi, dan pengawasan harus betul-betul bagus,” ujar Yustinus.

 

Hanya saja, jika merujuk pada Pasal 3 ayat 3 dan 5 PMK a quo, ada kewajiban bagi pemilik platform untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) meski termasuk pengusaha kecil. Hal ini tidak sesuai UU PPN, meski dapat dipahami pewajiban ini dimaksudkan untuk memastikan capturing potensi pajak terlaksana dengan lebih baik. Dengan begitu perlu sosialisasi dan jalan tengah, termasuk konsekuensi penalti yang akan ditanggung pemilik platform apabila lalai melaksanakan kewajiban.

 

Selain itu, kewajiban pemilik platform menyerahkan laporan rekapitulasi transaksi pedagang sebetulnya juga dapat menambah beban administrasi. Sehingga jika biaya administrasi tinggi, sebaiknya ada kompensasi atau fasilitas yang memudahkan pelaporan tersebut. Pekerjaan rumah berikutnya, kata Yustinus, terkait pengaturan pengguna digital seperti selebgram/youtubers yang sifatnya self-entrepreneurship dan kewajibannya dilaksanakan secara self assessment.

 

“Sosialisasi dan edukasi harus dioptimalkan sejak sekarang sampai April, agar diperoleh pemahaman yang baik, tidak menimbulkan gejolak, tidak kontradiktif karena distorsi informasi. Sekaligus penyiapan perangkat administrasi untuk registrasi dan pelaporan,” jelas Yustinus kepada hukumonline.

 

Untuk diketahui, aturan perlakuan perpajakan e-commerce telah lama dinantikan pengusaha. Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) sebelumnya mengharapkan perlakuan perpajakan yang adil dalam sektor e-commerce.

 

Ketua Dewan Pembina idea, Daniel Tumiwa, menjelaskan sejatinya aturan-aturan yang tengah digodok pemerintah harus juga berlaku bagi pemain asing yang beroperasi di Indonesia, bukan hanya terhadap pemain e-commerce lokal.

 

"Yang harus diatur yang asing dulu karena yang lokal ini sudah jadi pahlawan dan membangun Indonesia, membuka kesempatan bekerja dan secara teratur melakukan pelaporan pajak mereka masing-masing," katanya pada 24 Agustus 2018 lalu.

 

Daniel menyebut hal-hal yang ia sebutkan justru banyak tidak dilakukan oleh pemain asing yang beroperasi di Indonesia. Padahal, pemain asing seperti Facebook dan Instagram telah banyak dimanfaatkan penjual online untuk beriklan dan berpromosi sekaligus berjualan.

 

"Kalau Ditjen Pajak cuma mengatur yang lokal, penjual akan pindah dari Tokopedia, Bukalapak, ke asing seperti ke Facebook atau Instagram. Yang untung ya mereka, dan Ditjen Pajak akan semakin sulit lagi mengejar pajaknya," katanya.

 

Di sisi lain, Daniel juga mendorong pelaku usaha yang berjualan online untuk bisa taat memenuhi kewajiban membayar pajak penghasilan. E-commerce lokal sendiri, lanjut Daniel, berisi banyak penjual dari penjuru Indonesia yang sudah seharusnya juga membayar pajak atas penghasilan yang mereka dapat dari berjualan online.

 

Tags:

Berita Terkait