Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia
Kolom

Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia

Tulisan ini akan memaparkan pokok-pokok permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia.

Bacaan 2 Menit

 

a.   para pihak dalam perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian yang bersangkutan, mempunyai kedudukan bisnis di negara yang berbeda;

 

b.   tempat berarbitrase, tempat pelaksanaan kontrak atau tempat objek yang dipersengketakan terletak di negara yang berbeda dari tempat kedudukan bisnis para pihak yang bersengketa atau apabila para pihak secara tegas bersepakat bahwa hal yang terkait dengan perjanjian arbitrase yang bersangkutan menyangkut lebih dari suatu negara.

 

Dengan kata lain pada arbitrase dalam praktek di Indonesia pun (antara lain di Badan Arbitrase Nasional Indonesia/BANI) diselenggarakan arbitrase yang menyangkut unsur–unsur asing (para pihak berbeda  kebangsaan/negara), dimana persidangan putusan arbitrase yang bersangkutan dijatuhkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku bagi penyelenggaraan arbitrase di Indonesia (pasal 59 dan pasal  4 dan pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999). Namun apabila dilihat dari kacamata Konvensi New York, putusan tersebut dapat dianggap sebagai putusan arbitrase internasional, sehingga dapat dilaksanakan eksekusinya di negara-negara lain yang merupakan anngota Konvensi New York.

 

Kenyataan lain yang juga terjadi dan dapat menimbulkan masalah adalah apabila suatu lembaga arbitrase asing (internasional), misalnya I.C.C menyelenggarakan sidang juga dan atau menjatuhkan putusannya di Indonesia. Pertanyaan dapat timbul apakah putusan arbitrase lembaga tersebut oleh pengadilan Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase domestik dengan segala akibat-akibatnya yang menyangkut prosedur pelaksanaan.

 

Kasus seperti ini terjadi belum selang berapa lama ini, yang sampai sekarang menimbulkan masalah yang berlarut-larut.

 

Masalah seperti dikemukakan di atas terjadi karena berbeda dengan negara- negara lain pada umumnya (antara lain Singapura), peraturan perundang-undangan Indonesia yang menyangkut arbitrase asing (internasional) tidak mengantisipasi ketentuan UNCITRAL Model Law. Sehingga peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesian dianggap terlalu bersifat nasional, yang tercermin antara lain dalam ketentuan-ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang dan putusan yang harus mencantumkan irah-irah ‘Demi Keadilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Ini sulit untuk dipahami oleh pihak luar.

 

Untuk menyesuaikan dengan sifat internasional dan universal dari arbitrase sebagai suatu konsep penyelesaian sengketa dan dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan Indonesia dengan negara-negara lain yang ternyata memiliki kondisi lebih kondusif bagi penyelesaian sengketa-sengketa hukum internasional, seyogianya peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesia, dalam hal ini UU No. 30 Tahun 1999, dikaji kembali untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di dunia internasional, termasuk UNCITRAL Model Law

Tags: