PNS Uji Aturan Pengunduran Diri untuk Pemilu
Berita

PNS Uji Aturan Pengunduran Diri untuk Pemilu

Pemohon diminta untuk memikirkan ulang permohonanya.

ASH
Bacaan 2 Menit
PNS Uji Aturan Pengunduran Diri untuk Pemilu
Hukumonline

Enggan mundur sebagai PNS lantaran ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPD, dua PNS dari Kementerian Agama mempersoalkan sejumlah pasal UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (Pemilu legislatif). Dua PNS itu, Noorwahidah dan Zainal Ilmi memohon pengujian Pasal 12 huruf k dan Pasal 68 ayat (2) huruf h UU Pemilu Legislatif, khususnya terkait pengunduran diri sebagai PNS.

Mereka merasa dirugikan jika harus melepaskan status PNS-nya dengan cara mengajukan surat pengunduran diri yang tidak bisa ditarik kembali, sebelum benar-benar terpilih menjadi anggota DPD.

“Frasa ‘pegawai negeri sipil’ dan anak kalimat dalam Pasal 12 huruf k dan Pasal 68 ayat (2) UU Pemilu Legislatif merampas hak konstitusional pemohon sebagai PNS untuk menjadi peserta pemilu anggota DPD,” ujar kuasa hukum pemohon, Saleh dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di ruang sidang MK, Jumat (1/2).

Misalnya, Pasal 12 menyebutkan persyaratan peserta pemilu anggota DPD harus memenuhi syarat: (k) mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, PNS, anggota TNI, anggota Polri, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada BUMN/BUMD atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.   

Saleh menjelaskan ketentuan itu mensyaratkan jika seorang PNS akan mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD harus mengundurkan diri secara permanen sebagai PNS. Padahal, PNS itu baru sebatas sebagai calon yang belum tentu terpilih sebagai anggota DPD. Jika ternyata yang bersangkutan tidak terpilih menjadi anggota DPD, ia tidak bisa kembali ke instansinya untuk menjadi PNS lagi. 

“Perlakuan seperti itu tidak bijak dan tidak adil yang membuat PNS tidak berkesempatan berkiprah di lembaga perwakilan. PNS yang bersangkutan mengalami kerugian sangat besar karena kehilangan hak-haknya sebagai PNS,”  jelas Saleh.

Dia menilai kedua pasal itu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Sebagai warga negara Indonesia, seharusnya PNS mempunyai hak yang sama untuk bisa menjadi peserta Pemilu seperti dijamin Pasal 27 ayat (1) dan dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” kata dia.

Menurut dia kedua pasal itu juga tidak sejalan dengan Pasal 11 ayat (2) UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian. Pasal itu menyebutkan pegawai negeri yang diangkat menjadi pejabat negara diberhentikan dari jabatan organiknya selama menjadi pejabat negara tanpa kehilangan statusnya sebagai pegawai negeri.

“Anggota DPD termasuk pejabat negara karena yang bersangkutan anggota MPR. Karena itu, ketentuan itu berlaku juga bagi anggota DPD,” jelasnya.   

Untuk itu, lanjut Saleh, para pemohon meminta MK menghapus frasa “pegawai negeri sipil” dalam Pasal 12 huruf k dan Pasal 68 ayat (2) UU Pemilu Legislatif. “Kedua pasal bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” pintanya.

Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Panel, M Akil Mochtar menjelaskan keberadaan dua pasal itu dimaksudkan untuk menghilangkan sifat keserakahan dalam jabatan. “Pasal itu untuk menghindari keserahahan jabatan. Pasal itu juga tengah diuji oleh pemohon lain yang kemarin baru kita buka sidangnya, bedanya pemohonnya kepala daerah,” ujar Akil.

Dia mengingatkan ketentuan itu sebenarnya sudah pernah diuji MK melalui pengujian UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda.

“Pertimbangan putusan itu seharusnya Saudara lihat sebagai acuan apa yang menjadi kriteria jabatan negeri dan jabatan politik. Dari pertimbangan itu permohonan Saudara bisa terjawab mengapa pegawai negeri tidak boleh merangkap jabatan politik?” saran Akil.     

Selain itu, ketentuan itu sudah pernah diputus dalam perkara No. 45/PUU-VIII/2010 dan permohonannya ditolak. “Pasal dan frasa yang sama, tetapi undang-undangnya beda yakni UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, tetapi normanya sama,” kata Akil mengingatkan.      

Karena itu, Akil menyarankan agar pemohon memikirkan ulang untuk mengajukan permohonan ini. “Tetapi, itu hak Saudara, kita hanya mengingatkan,” katanya.

Tags: