PN Jakbar ‘Serahkan’ Kasus Kontrak Berbahasa Inggris ke BANI
Berita

PN Jakbar ‘Serahkan’ Kasus Kontrak Berbahasa Inggris ke BANI

Merujuk kepada isi kontrak yang menyatakan apabila di kemudian hari ada sengketa maka diselesaikan di BANI.

HRS
Bacaan 2 Menit
PN Jakbar ‘Serahkan’ Kasus Kontrak Berbahasa Inggris ke BANI
Hukumonline

Upaya PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) membatalkan kontrak berbahasa Inggris untuk kedua kalinya untuk sementara gagal. Setelah sukses membatalkan kontrak berbahasa Inggris tanpa versi Indonesia dengan rekan bisnisnya Nine AM, kini usaha serupa BKPL melawan Sumatra Partners kandas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Majelis Hakim PN Jakarta Barat mengaku tak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa kontrak berbahasa asing antara BKPL dan Sumatra. Pasalnya, di dalam kontrak itu, dua belah pihak telah sepakat menunjuk Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) bila ada sengketa di kemudian hari.

Informasi ini diperoleh hukumonline dari Kuasa Hukum Sumatra Partners, Arkie Tumbelaka. “Iya, majelis menerima eksepsi kompetensi absolut kita saat putusan sela pada 21 November lalu,” tuturnya, Kamis (5/12) pekan lalu.  

Sebagai informasi, kasus ini berawal dari gugatan yang diajukan oleh BKPL ke PN Jakbar. BKPL meminta majelis menyatakan kontrak antara BKPL dan Sumatra Partners batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak lagi mengikat para pihak. Pasalnya, kontrak yang ditandatangani dan tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia ini ternyata dibuat dalam bahasa Inggris. 

Dalam gugatannya, BKPL menilai hal tersebut menyalahi Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Pasal itu mengatur dengan tegas bahasa yang wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah, lembaga swasta, atau perseorangan warga negara Indonesia adalah bahasa Indonesia.

Selain melanggar UU Bahasa, BKPL menilai kontrak tersebut juga bertentangan dengan Perpres Nomor 36 Tahun 2010 jo UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Peraturan ini melarang perusahaan asing untuk menjadi perusahaan sewa menyewa alat berat. BKPL menilai ada indikasi yang dilakukan Sumatra menjadi perusahaan sewa menyewa alat berat.

BKPL juga melihat ada keanehan dari sistem pembayaran bunga. Pembayaran bunga tidak mengikuti prosentasi pinjaman pokok, melainkan berdasarkan lamanya pemakaian peralatan. Perjanjian tidak lagi berbentuk pinjam meminjam uang, melainkan sewa alat berat.

“Perjanjian sewa alat berat dibungkus dengan loan agreement,” tulis kuasa hukum BKPL Jimmy GP Silalahi dalam gugatannya.

Sumatra menggunakan klausul arbitrase di dalam kontrak sebagai senjata andalan. Menurut perusahaan asal Texas ini, Pengadilan Negeri Jakarta Barat tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini karena para pihak telah sepakat menunjuk Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai tempat penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa di kemudian hari terkait dengan perjanjian ini.

Ini tercantum jelas di dalam kontrak tersebut dan sejalan dengan Pasal 3 dan Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase. Sumatra juga mencantumkan beberapa putusan Mahkamah Agung (MA) untuk memperkuat dalil-dalilnya.

Sedangkan BKPL menyatakan klausul arbitrase tersebut tidak dapat digunakan apabila perjanjian pokoknya itu sendiri cacat hukum. Perjanjian arbitrase harus batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPErdata jo Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan.

“Perjanjian ini mengandung causa yang tidak halal sebab bahasa yang digunakan bukan bahasa indonesia,” demikian argumen yang dibangun BKPL.

Namun, Sumatra menggunakan Pasal 10 UU Arbitrase. Pasal tersebut menyatakan batalnya perjanjian pokok tidak menyebabkan klausul arbitrase batal. Akhirnya, pada 21 November 2013 lalu, melalui putusan selanya, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat sepakat untuk menerima eksepsi Sumatra tersebut.

Tags:

Berita Terkait