PN Jakarta Selatan Kabulkan Gugatan Penyandang Disabilitas
Berita

PN Jakarta Selatan Kabulkan Gugatan Penyandang Disabilitas

Tergugat masih mendiskusikan langkah hukum selanjutnya.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pesawat lepas landas di bandara Soekarno Hatta. Foto: MYS
Ilustrasi pesawat lepas landas di bandara Soekarno Hatta. Foto: MYS

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberikan ‘kado’ sehari setelah peringatan Hari Disabilitas Internasional 3 Desember 2017. Majelis hakim di pengadilan ini telah mengabulkan sebagian gugatan Dwi Aryani, seorang penyandang disabilitas, terhadap maskapai penerbangan Etihad. Turut juga digugat Angkasa Pura dan Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.

 

Gugatan Dwi dikabulkan sebagian. Majelis hakim dipimpin Ferry Agustina Budi berpendapat tergugat telah terbukti melakukan diskriminasi terhadap penggugat karena tidak memberikan fasilitas kepada penyandang difabel. Menurut majelis, tindakan diskriminasi itu termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum.

 

Oleh karena tergugat dinyatakan bersalah, majelis mengukum tergugat untuk membayar ganti rugi materiil Rp37 juta, dan immaterial sebesar Rp500 juta. Pihak maskapai juga harus menyampaikan permohonan maaf melalui media cetak nasional karena tidak memberi pelayanan dengan baik kepada penyandang difabel dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.

 

(Baca juga: Menunggu Putusan Hakim dalam Kasus Penumpang Gugat Maskapai).

 

Majelis berpendapat bahwa penggugat, Dwi Aryani, merupakan aktivis yang mendapat undangan dari PBB untuk menghadiri sosialisasi tentang penyandang difabel. Artinya, keberangkatan penggugat adalah memenuhi undangan resmi untuk hadir di forum internasional. Perbuatan tergugat menurunkan penggugat dari pesawat dinilai majelis tidak beralasan hukum, apatah lagi penggugat telah melewati berbagai prosedur dari check in, hingga boarding ke dalam pesawat. Selama proses itu, tidak ada masalah.

 

"Dalam perkara ini penggugat bukanlah pembawa bom sebagaimana ada di bukti surat. Penggugat adalah aktivis penyandang disabilitas yang akan berbicara di International Disability Alliance (IDA), sehingga menurut majelis tindakan penggugat di pesawat tidak membahayakan, menimbang penumpang diturunkan jika membahayakan selama penerbangan," terang hakim Ferry dalam sidang Senin (04/12).

 

Putusan PN Jakarta Selatan ini belum berkekuatan hukum tetap. Masih ada upaya hukum banding bagi tergugat jika tak setuju putusan majelis. Kuasa hukum Tergugat Fredrik J Pinakunary belum bisa memberikan komentar atas putusan ini, termasuk apakah pihaknya akan mengajukan banding atas putusan tersebut. "Untuk sementara kami masih berkoordinasi dengan klien dan belum bisa memberikan tanggapan," ujar Fredrik kepada hukumonline, Selasa (05/12).

 

(Baca juga: Kenali 5 Announcement di Pesawat Udara yang Berkaitan dengan Hukum).

 

Sebaliknya, kuasa hukum Dwi Aryani, Heppy Sebayang mengapresiasi putusan ini. Meskipun menurut Heppy sepatutnya majelis mengabulkan seluruh gugatan yang diajukan kliennya karena telah didukung segala fakta hukum serta bukti yang ada. "Tentu kami tidak merasa puas karena permohonan hanya dikabulkan sebagian," terang Heppy kepada hukumonline.

 

Namun saat ditanya apakah pihaknya akan menempuh jalur banding atas putusan ini, ia mengatakan harus berkoordinasi lebih dulu. "Kita masih akan mendiskusikan dengan penggugat prinsipal beberapa hari ini," tutupnya.

 

Faktanya, tidak seluruh gugatan Dwi Aryani dikabulkan majelis hakim beranggotakan Ferry Agustina Budi, Agus Widodo dan Sudjarwanto. Petitum yang ditolak antara lain besaran ganti rugi materiil dan immateril Rp678 juta. Nilai yang dikabulkan sedikit lebih rendah yaitu Rp537 juta. Selain itu, menurut majelis, biaya menanggung jasa pengacara seperti yang diminta dalam gugatan sebelumnya tidak dapat dikabulkan. Alasannya dalam mengajukan gugatan tidak diharuskan menggunakan jasa pengacara oleh karenanya biaya yang timbul atas pendampingan hukum tersebut harus ditanggung sendiri.

 

Kemudian, mengenai keikutsertaan Angkata Pura dan Ditjen Perhubungan Udara sebagai Tergugat II dan Tergugat III yang menurut Penggugat dianggap tidak memberikan solusi bagi kedua belah pihak. Laporan Penggugat ke Ombudsman dan Komnas HAM tak juga mendorong ada penyelesaian yang difasilitasi Angkasa Pura dan Ditjen Perhubungan Udara. Majelis tidak sependapat dengan hal tersebut. Karena Angkasa Pura atau PT Jasa Angkasa Semesta (JAS) dan Ditjen Perhubungan Udara tidak memiliki kewenangan menurunkan atau menaikkan penumpang dan tunduk pada aturan yang ada pada maskapai.

 

(Baca juga: Mengenal Hak Penumpang Difabel dalam Penerbangan Komersial).

 

Dalam gugatan, pihak Dwi meminta majelis hakim mengabulkan seluruh gugatan, menyatakan para tergugat melakukan perbuatan melawan hukum; memerintahkan tergugat meminta maaf kepada penggugat, organisasi penyandang disabilitas di media massa; dan menghukum para tergugat secara tanggung renteng membayar ganti rugi materiil dan immaterial dengan total Rp678 juta.

Tags:

Berita Terkait