Plus-Minus Omnibus Law Cipta Kerja di Mata Advokat
Utama

Plus-Minus Omnibus Law Cipta Kerja di Mata Advokat

Adanya perbedaan pandangan merupakan hal yang normal. Tentu saja, saluran bagi aspirasi dan masukan harus dibuka oleh pemerintah dan DPR.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Acara AHP Business Law Forum 2020 dengan tema “Omnibus Law: Terobosan Pemerintah bagi Pertumbuhan Ekonomi”, Rabu (5/3). Foto: RES
Acara AHP Business Law Forum 2020 dengan tema “Omnibus Law: Terobosan Pemerintah bagi Pertumbuhan Ekonomi”, Rabu (5/3). Foto: RES

Penyusunan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja terus menjadi perhatian berbagai pihak saat ini. Publik saat ini sedang menunggu pembahasannya antara pemerintah dengan DPR RI yang sedang reses hingga 23 Maret.

 

Lontaran kritik terhadap muatan isi rancangan aturan tersebut terus disampaikan, khususnya dari pihak buruh hingga aktivis lingkungan yang menganggap muatan RUU itu hanya menguntungkan pelaku usaha semata. Namun, di sisi lain terdapat juga pihak yang menagnggap RUU itu dapat memperlancar investasi dan mengatasi berbagai persoalan tumpang tindih peratuan daerah dan pusat.

 

Melalui Omnibus Law Cipta Kerja ini, pemerintah menginginkan terjadi pertumbuhan ekonomi lebih dari 5 persen agar bisa terbebas dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap). Sehingga untuk mencapainya, pertumbuhan investasi harus di atas 10%. Persoalannya, terlalu banyak peraturan perundang-undangan termasuk di bidang perizinan usaha selama ini justru menjadi penghambat investasi.

 

Senior Partner Assegaf Hamzah and Partners Law Firm (AHP), Ahmad Fikri Assegaf, mengatakan perizinan yang berbelit dan terlampau banyak merupakan penghalang investasi di Indonesia. Mengutip survei Ease of Doing Business (EODB), kemudahan berusaha di Indonesia berada di peringkat 73 dari 190 negara. Namun, untuk indikator memulai bisnis, Indonesia berada di peringkat 140.

 

“Semakin baik sistem perizinan di suatu negaraquality control oleh pemerintah menjadi semakin baik. Namun, perizinan yang terlampau banyak justru menjadi barrier to entry yang membuat appetite for investing bagi investor di suatu negara menjadi rendah,” ujarnya di sela acara AHP Business Law Forum 2020 dengan tema “Omnibus Law: Terobosan Pemerintah bagi Pertumbuhan Ekonomi”.

 

(Baca: RUU Cipta Kerja Tiga Sektor Ini Potensial Langgar HAM)

 

Menurut Fikri, untuk mengatasi masalah perizinan, pada 2018 pemerintah memberlakukan kebijakan Online Single Submission (OSS) dengan dasar hukum PP 24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik. Namun, kebijakan tersebut ternyata belum cukup menyelesaikan persoalan yang ada. Pemerintah kemudian bermaksud menyederhanakan peraturan melalui Omnibus Law, yang akan mengubah puluhan undang-undang.

 

Salah satu langkah besar yang dilakukan pemerintah adalah membenahi peraturan perundang-undangan yang dirasa over-regulated dan menghambat investasi melalui pembentukan Omnibus Law,” kata Fikri.

 

(Baca: Akademisi Ini Kritik Cara Penyusunan RUU Cipta Kerja)

 

Fikri menjabarkan, dari data yang disampaikan Pemerintah saat ini terdapat 8.486 peraturan pusat, 14.815 peraturan menteri, 4.337 peraturan lembaga, dan 15.966 peraturan daerah, dengan total keseluruhan berjumlah 43.604 peraturan. “Jumlah tersebut rasanya cukup menggambarkan bagaimana kerumitan regulasi di Indonesia,” tegas Fikri.

 

Pembentukan Omnibus Law sendiri nantinya diharapkan dapat menarik investasi yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hingga saat ini, setidaknya terdapat dua Omnibus Law yang sedang dirancang pemerintah, yaitu: RUU tentang Cipta Kerjadan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.

 

RUU Cipta Kerja yang disusun pemerintah dengan metode Omnibus Law misalnya, dimaksudkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dengan cara yang tidak biasa.

 

Terkait dengan kekhawatiran dari sejumlah aktivis lingkungan, Fikri menilai bahwa kerja keras pemerintah untuk kemudahan berusaha bukan berarti tidak memerhatikan dampak atau perlindungan terhadap lingkungan. “Keberpihakan terhadap lingkungan harus tetap dipertahankan, namun orientasinya diarahkan pada penguatan pengawasan, bukan lagi formalitas yang tidak substantif,” ujarnya.

 

Meski demikian, Fikri menyatakan bahwa penghapusan ancaman pidana sehubungan dengan kesalahan dalam pengelolaan Bahan Beracun dan Berbahaya (B3), serta penghapusan ancaman pidana terhadap beberapa tindakan pelanggaran lingkungan, perlu ditinjau kembali nanti di DPR.

 

Fikri mengapresiasi langkah pengelolaan perizinan melalui OSS dan rencana penguatannya. OSS akan menciptakan transparansi, keseragaman dan kepastian hukum bagi masyarakat yang akan menjalankan usaha. Karena itu, terobosan penerbitan izin melalui sistem OSS perlu didukung oleh reformasi kerangka hukum di tingkat undang-undang.

 

Senior Partner AHP lainnya, Chandra M. Hamzah, menyorot poin menarik lainnya dalam materi muatan Omnibus Law, yaitu mengenai pengenaan sanksi. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa iklim usaha sangat dipengaruhi oleh praktik kriminalisasi terhadap sektor privat, baik kriminalisasi oleh peraturan maupun kriminalisasi oleh aparat penegak hukum.

 

Masih banyak peraturan perundang-undangan yang mengkategorikan perbuatan yang sebenarnya masuk dalam hukum administratif sebagai tindak pidana. Penegak hukum pun cukup aktif menggunakan peraturan pidana untuk peristiwa yang sesungguhnya adalah masalah perdata. Untuk itulah, pemerintah menjadikan sanksi pidana yang banyak menjadi momok kegiatan usaha, sebagai salah satu target yang akan diubah Omnibus Law,” paparnya.

 

Chandra memahami adanya reaksi beragam terhadap rencana pengundangan Omnibus Law. Sejumlah pihak yang menentang beranggapan bahwa Omnibus Law lebih memberikan kemudahan kepada pelaku usaha besar dan investor asing, namun mengancam UMKM. Menurut Chandra, tidak ada RUU yang sempurna, apalagi RUU semacam RUU Cipta Kerja yang memuat perubahan atas sekitar 1.200 Pasal di 79 UU.

 

“Adanya perbedaan pandangan merupakan hal yang normal. Tentu saja, saluran bagi aspirasi dan masukan harus dibuka oleh pemerintah dan DPR. Berdasarkan hitungan kami, paling lambat 10 April 2020, RUU Cipta Kerja sudah harus dibahas pemerintah bersama DPR. Ruang untuk perbaikan harus dibuka dalam pembahasan tersebut. Masyarakat harus dapat memberi masukan sebelum RUU disahkan menjadi undang-undang, antara lain melalui forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), konsultasi, atau lainnya,” jelas Chandra.

 

Chandra mengakui masih ada beberapa ketentuan yang harus ditinjau ulang dan diperbaiki. Misalnya, Pasal 170 RUU Cipta Kerja. Pasal ini telah mengaburkan tata urutan perundang-undangan karena memberi kewenangan kepada pemerintah untuk mengubah berbagai materi UU melalui Peraturan Pemerintah (PP).

 

Tags:

Berita Terkait