Plus Minus Kebijakan Larangan Ekspor Minyak Goreng Beserta Bahan Bakunya
Utama

Plus Minus Kebijakan Larangan Ekspor Minyak Goreng Beserta Bahan Bakunya

Beresiko tinggi khususnya terhadap berkurangnya pemasukan keuangan negara dari sektor sawit. Presiden dinilai hanya ingin melihat rakyat tidak lagi ‘miskin dan menderita’ akibat langkanya minyak goreng.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Presiden Jokowi. Foto: RES
Presiden Jokowi. Foto: RES

Presiden Joko Widodo telah memutuskan kebijakan pelarangan ekspor minyak goreng dan bahan baku ke negara lain. Tujuannya agar dapat memastikan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri. Kebijakan tersebut tersebut tentu sudah dipikir matang presiden. Tapi, boleh jadi kebijakan tersebut terdapat kelebihan dan kekurangannya. Lantas apa saja plus minus kebijakan tersebut?

Wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sultan B Najamudin menilai kebijakan total menutup kran ekspor Coconut Palm oil (CPO) beserta produk minyak goreng dalam upaya menjaga stabilitas harga dan ketersediaan minyak goreng di pasaran amat disayangkan. Bila kebijakan diambil pemerintah dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang tidak fair dan berlebihan malah bakal menimbulkan masalah baru lainnya.

“Seperti di level petani dan daerah,” ujarnya melalui keterangannya, Senin (25/4/2022).

Bagi Sultan, kebijakan pelarangan secara total boleh jadi bakal berbahaya bagi reputasi dagang Indonesia di pasar global, khususnya bagi para eksportir. Menurutnya, pemerintah sebaiknya mengutamakan menjaga keseimbangan kebutuhan domestik serta memenuhi permintaan pasar ekspor yang bakal berdampak langsung terhadap posisi neraca perdagangan dalam negeri.

Dia paham betul kebijakan yang ditempuh pemerintah bertujuan positif bagi masyarakat luas.  Apalagi telah terdapat tersangka mafia minyak goreng dari pihak Kementerian Perdagangan (Kemendag) serta sejumlah pengusaha. Tapi lagi-lagi, Sultan mengingatkan kebijakan yang ditempuh pemerintah tak akan bergerak signifikan berpengaruh terhadap nilai tukar petani dan gejolak ekonomi di daerah penghasil sawit.

Senator asal Bengkulu itu menyoroti dari aspek kekurangan dari kebijakan tersebut. Menurutnya, kebijakan pelarangan ekspor tersebut bakal berpotensi merugikan neraca dagang Indonesia di tengah meningkatkan permintaan dan harga CPO di pasar global. Sementara masyarakat hanya meminta agar harga minyak goreng kemasan maupun curah dapat kembali normal seperti sebelum terjadinya penghapusan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Price Domestik Obligation (DPO) serta harga eceran tertinggi (HET).

“Jika kebijakan ini dipaksakan, maka yang rugi tentu jutaan petani serta karyawan perkebunan sawit dan tentunya pertumbuhan ekonomi daerah penghasil sawit pun akan bergejolak,” ujarnya.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita berpandangan ada dampak dari larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya terhadap industri. Tapi, itu bakal berdampak minimal. Berdasarkan data kementerian yang dipimpinnya, dampaknya tak akan besar. Menurutnya kebijakan larangan ekspor tersebut, porsi ketersediaan minyak goreng yang semula diperuntukan ekspor bakal dialokasikan bagi kebutuhan dalam negeri.

Terpisah, Guru Besar Emeritus Hukum Pidana Internasional Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Romli Atmasasmita berpandangan Instruksi Presiden Joko Widodo terkait larangan pemberian izin ekspor minyak sawit beserta bahan bakunya menjadi taruhan yang beresiko tinggi. Khususnya terhadap berkurangnya pemasukan keuangan negara dari sektor sawit karena hanya presiden ingin melihat rakyat tidak lagi ‘miskin dan menderita’ akibat langkanya minyak goreng.

“Pengorbanan dan taruhan pemerintah ini merupakan tantangan terhadap Kejaksaan Agung untuk segera menuntaskan kasus ini baik dari tindak pidana perdagangan, maupun dari tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang,” katanya.

Berbeda, anggota Komisi VI DPR Mufti Aimah Nurul Anam menilai kebijakan Presiden Joko Widodo tersebut dinilai tepat. Sebab, dengan pelarangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya menunjukan kehadiran negara dalam menjaga kebutuhan masyarakat. Setidaknya negara hadir dalam melawan kepentingan pengusaha CPO dan oligarki sawit yang berburu rente di kala lonjakan harga di pasar global.

Sedari awal Mufti kerap menyarakan agar pemerintah membanjiri minyak goreng di pasar terlebih dulu hingga situasi normal. Kemudian harga baru yang terjangkau akan terbentuk. Setelah itu, pemerintah dapat kembali membuka kembali kran ekspor. Menurutnya, kebijakan pemerintah dapat menegakkan kedaulatan Indonesia sebagai pemasok sawit terbesar di dunia


Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengakui kebijakan yang diambil pemerintah menjadi tantangan tersendiri ketika harga di luar negeri menggiurkan. Bila tanpa adanya kebijakan pelarangan, bisa jadi para pengusaha CPO bakal berbondong-bondong mengekspor bahan baku beserta minyak goreng ke luar negeri. Ujungnya, lagi-lagi kelangkaan dan harga minyak goreng tak teratasi.


“Nah, sekarang pemerintah sudah betul dengan memastikan suplai dalam negeri terpenuhi dulu lewat pelarangan ekspor,” katanya.

Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo menyampaikan bahwa pemerintah telah memutuskan kebijakan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng untuk memastikan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri. Presiden pun bakal memastikan pemerintah terus mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan tersebut. Serta menjamin ketersediaan minyak goreng dengan harga terjangkau di tanah air.

“Hari ini saya telah memimpin rapat tentang pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, utamanya yang berkaitan dengan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri. Dalam rapat tersebut, telah saya putuskan pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng, mulai Kamis, 28 April 2022 sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian,” ujar Presiden dalam keterangan pers, Jumat (22/4/2022) secara virtual.

Tags:

Berita Terkait