Optimisme itu, menurut Sofyan bisa dibuktikan segera. Ia yakin bahwa proyek 11 ribu MW pembangkit listrik bisa diteken akhir tahun ini. Namun, sebagian besar, yaitu sekitar 7 ribu MW, yang sudah siap merupakan kelanjutan sisa program pemerintah sebelumnya. ”PLN tidak bisa menjanjikan lebih,” ujar Sofyan di Jakarta, Jumat (26/6).
Ia menjelaskan, target tahun ini, hampir 20 persen sudah mulai dikonstruksi. Kurang dari 20 persen lainnya, merupakan garapan Independent Power Producer (IPP) dan 1 persen PLN. Tahun ini sudah ada commercial operasional date (COD) sebanyak hampir 3.500 MW.
Sofyan mengakui pihaknya tidak bisa juga mengobral janji. Pasalnya, untuk mewujudkan ambisi itu banyak kendala yang harus diatasi. Dirinya menyebut, saat ini kendala utama yang dihadapi pihaknya bukanlah masalah teknis. Sofyan mengatakan, masalah kepastian hukum merupakan kendala yang harus segera dituntaskan.
”Sekarang ini kendalanya bukan masalah teknis, tapi lebih pada masalah hukum,” katanya.
Lebih lanjut, Sofyan menyatakan bahwa kebutuhan yang harus diprioritaskan pemerintah saat ini adalah perlindungan hukum bagi PLN. Ia menuturkan, pihaknya membutuhkan paying hukum yang memberikan wewenang kepada PLN untuk membuat sejumlah terobosan. Khususnya ketika menghadapi kerumitan-kerumitan dalam proses realisasi di lapangan. Dengan demikian, pihak PLN tak akan takut diperkarakan ketika mengambil langkah inovatif di lapangan.
Sofyan memaparkan, langkah inovatif dibutuhkan untuk mengatasi kendala yang dihadapi dalam upaya merealisasikan program pengadaan pembangkit listrik 35 ribu MW. Kendala itu, menurutnya, antara lain terkait dengan persoalan pembebasan lahan. Ia berharap, dengan adanya payung hukum yang jelas, maka kendala ini bisa diselesaikan dengan segera.
Dia menuturkan, pemerintah sudah menginformasikan akan segera membuat payung hukum yang mengakselerasi pelaksanaan mega proyek 35 ribu MW. Menurutnya, Presiden telah memberi sinyal positif akan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres). Perpres ini nantinya akan memberikan wewenang lebih banyak kepada PLN untuk membuat langkah-langkah khusus sebagai pelaksana proyek.
Selain Perpres, rencananya Presiden juga akan mengeluarkan instruksi presiden (Inpres) yang menyertai perpres. Inpres itu ditujukan kepada para aparat dan pejabat negara seperti Kapolri dan jaksa agung untuk turut memberikan pendampingan dan bantuan hukum. Dengan demikian, Inpres tersebut juga akan membuka kesempatan PLN untuk mengambil langkah inovatif dalam menghadapi kendala di lapangan.
“Kami berharap, Inpres itu bisa melindungi agar PLN jauh lebih berani dalam mengambil inisiatif-inisiatif,” katanya.
Menurut Sofyan, semua masalah di lapangan itu, memang tidak cukup diselesaikan melalui UU. Sebab, meskipun ada UU, implementasinya perlu koordinasi yang kuat antara pusat dan daerah. Oleh karena itu, peraturan yang lebih teknis diperlukan untuk memberi kepastian hukum yang lebih jelas.
Pengamat kelistrikan Fabby Tumiwa mengamini bahwa ada beberapa kendala yang kerap menghantui sektor ketenagalistrikan nasional. Ia menyebut, kendala itu juga sering menghambat realisasi pembangunan pembangkit listrik. Kendala-kendala itu, menurutnya punya benang merah yang bersinggungan dengan isu hukum.
Kendala-kendala itu, menurut Fabby utamanya adalah masalah tumpang tindih perizinan dan penyediaan lahan. Fabby mengatakan, perizinan yang berbelit sering membuat proses persiapan pembangunan berlangsung lama. Bahkan, ia mencatat, ada beberapa proyek yang menghabiskan waktu dua tahun hanya untuk mengurus perizinan.
“Pembebasan lahan menjadi kendala terberat di sektor ketenagalistrikan, karena tidak jarang sewaktu proses pembebasan masyarakat menaikkan harga tanahnya hingga berkali-kali lipat,” pungkasnya.