PLN Ajukan Model Bisnis Baru Bagi Pembangkit Swasta
Berita

PLN Ajukan Model Bisnis Baru Bagi Pembangkit Swasta

Pengamat ekonomi energi menilai, selama ini pemerintah tidak mendukung pertumbuhan pembangunan infrastruktur listrik oleh swasta.

Yoz
Bacaan 2 Menit
PLN Ajukan Model Bisnis Baru Bagi Pembangkit Swasta
Hukumonline

PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) merekomendasikan pembentukan model bisnis baru bagi pengembangan listrik swasta (Independent Power Producer/IPP). model bisnis baru ini bertujuan mensukseskan pengembangan IPP yang saat ini tingkat keberhasilannya masih rendah, yaitu 15 persen.

 

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Senin (25/1), Direktur Manajemen Bisnis dan Risiko PLN Murtaqi Syamsuddin mengatakan, model bisnis tersebut harus bankable, acceptable dan sustainable. Ketiga persyaratan ini diperlukan mengingat dalam pengembangan IPP diperlukan modal yang ekonomis.

 

Murtaqi mengatakan, ke depan peranan kontraktor listrik swasta sangat dibutuhkan, mengingat dari kapasitas pembangkit yang akan dibangun hingga 2015 sebesar 30.000 Megawatt (MW) sebagiannya akan dibangun oleh swasta. “PLN hanya mampu membangun 15.000 MW dan sisanya diharapkan dibangun oleh IPP,” terangnya.

Selain itu, PLN akan mengkaji ulang kontrak-kontrak dengan pengembang listrik swasta. Hal ini dilakukan lantaran PLN menyadari dengan fluktuasi harga bahan bakar pembangkit dan kondisi perekonomian global, otomatis semua harga-harga akan terkerek naik.

 

Di tempat yang sama, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) A Santosa menuturkan, PLN dengan kondisi perekonomian saat ini harus lebih realistis. “PLN juga harus bisa melihat perkembangan,” ujarnya.

 

Ia menjelaskan,  pihaknya menginginkan PLN merenegosiasi kontrak hingga mencapai keekonomian. Pasalnya, harga jual yang dulu sudah tidak relevan lagi. “Banyak proyek IPP terhenti karena biaya operasi tinggi, tapi kontraknya rendah,” katanya.

 

Sementara itu, pengamat ekonomi energi A Prasetyantoko melalui siaran persnya mengatakan, pemerintah tidak konsisten dalam menerapkan pola Kemitraan Pemerintah-Swasta (public-private partnership/PPP) di sektor infrastruktur, khususnya kelistrikan. “Pelaksanaan PPP tidak berjalan semestinya sampai saat ini. Sebab, ada ketidakonsistenan antara kebijakan PPP dan penerapannya,” ujarnya.

 

Menurut Prasetyantoko, pemerintah tidak mendukung pertumbuhan pembangunan infrastruktur listrik oleh swasta. Padahal, pemerintah berharap swasta berperan dalam proyek infrastruktur kelistrikan.  

 

Dia mencontohkan, ketidaksesuaian antara pekerjaan dan kebijakan (action against policy). Di satu sisi, pemerintah lewat PLN menciptakan kebijakan keterlibatan peran swasta. Di sisi lain, pemerintah (PLN) juga menghalangi swasta berkembang karena ingin mengerjakan sendiri semua proyek yang bisa dikerjakan swasta.

 

Dalam konteks pelibatan swasta, katanya, PLN harus mampu membuat prioritas. PLN harus mengutamakan pengerjaan proyek-proyek yang tidak mungkin dikerjakan swasta, baik karena tidak layak komersial (tapi mutlak harus dibangun) atau pun akibat adanya larangan regulasi seperti umpamanya transmisi, gardu induk, dan pembangkit-pembangkit di wilayah tertentu. Sedangkan proyek-proyek yang lain, diserahkan sepenuhnya kepada swasta untuk mengerjakan.

 

Prasetyantoko berharap peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksana dari UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan harus segera diterbitkan.  Pemerintah dan pelaku usaha tidak bisa hanya berpegang pada UU No. 30/2009, karena Undang-Undang tersebut dinilai "banci". ”Undang-Undang itu di satu sisi memberikan peran kepada swasta untuk terlibat, tapi di sisi lain belum sepenuhnya menghapuskan monopoli PLN,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait