Plea Bargaining dan DPA 'Jalur Khusus' Selamatkan Aset Negara
Utama

Plea Bargaining dan DPA 'Jalur Khusus' Selamatkan Aset Negara

Terdapat batasan penggunaan plea bargaining. Pentingnya mengubah prosedur beracara atau pembuktian seiring dengan konsep plea bargain dan DPA yang ingin dipilih. Serta penguatan peran advokat di setiap tahapan peradilan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Seminar nasional, sarasehan dan temu alumni FH Universitas Brawijaya dengan sejumlah narasumber di Jakarta, Minggu (28/7/2024). Foto: JAN
Seminar nasional, sarasehan dan temu alumni FH Universitas Brawijaya dengan sejumlah narasumber di Jakarta, Minggu (28/7/2024). Foto: JAN

Penerapan plea bargaining atau perundingan antara penuntut umum dan terdakwa dalam penyelesaian perkara menjadi tren pada berbagai negara common law. Secara umum, perjanjian yang dibuat antara penggugat dan tergugat untuk mengambil keputusan mengenai suatu perkara, tanpa pernah membawanya ke pengadilan.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Febby Mutiara Nelson menjelaskan plea bargaining adalah perjanjian negosiasi antara pihak penuntut umum dan terdakwa atau pengacara terdakwa yang dilakukan pada saat preliminary hearing pada negara sistem common law.

Plea bargaining merupakan pertukaran hak yang ditawarkan penegak hukum ditukar dengan pengakuan bersalah terdakwa,” ujarnya dalam seminar nasional yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya di Jakarta, Minggu (29/7/2024).

Dia menerangkan terdapat empat bentuk plea. Pertama, plea of not guilty. Yakni, terdakwa tidak mengakui atau menolak seluruh dakwaan terhadap dirinya. Kedua, plea of guilty. Yakni, terdakwa mengakui dakwaan terhadap dirinya. Ketiga, nolo contendere atau pernyataan untuk tidak menentang surat dakwaan. Keempat, standing mute. Yakni, sikap diam oleh terdakwa pada saat pembacaan dakwaan.

Baca juga:

Terdapat batasan penggunaan plea bargaining, antara lain digunakan dalam tindak pidana tertentu pada sebagian negara yang menerapkan. Kemudian, diterapkan pada perkara dengan bukti yang tidak cukup kuat, dan untuk melaksanakan prinsip speedy trial. Dan, dilakukan berdasarkan kemauan terdakwa untuk bersikap kooperatif.

Febby menjelaskan plea bargaining memiliki aspek positif seperti mengurangi beban perkara pengadilan, memberikan apresiasi bagi terdakwa yang mengakui kesalahan. Sedangkan bagi korban juga segera mendapatkan kepastian hukum terkait kasusnya. Di sisi lain, plea bargaining memiliki dampak negatif yang harus diperhatikan.

Seperti pengadilan dianggap akan terlalu berpihak kepada terdakwa. Kemudian, tidak dimungkinkan upaya hukum bagi terdakwa yang menyetujui plea guilty. Dia menjelaskan Deferred Prosecution Agreement (DPA) atau perjanjian penangguhan penuntutan yang merupakan negosiasi yang dilakukan jaksa dengan terdakwa atau pengacaranya, di mana terdakwa adalah korporasi.

Sebagai bentuk pengalihan penuntutan dari proses peradilan atau untuk menangani kesalahan korporasi melalui prosedur pemulihan administratif atau sipil. Kewajiban hukum bagi korporasi dalam DPA antara lain pengakuan atas pelanggaran yang dilakukan, pembayaran denda dan kompensasi, jangka waktu pembayaran denda kompensasi. Kemudian pelaksanaan program kepatuhan korporasi dan penertiban/pemecatan  pegawai tertentu.

Dia menjelaskan dasar pemikiran dari DPA adalah penyelesaian tindak pidana korporasi melalui alternatif lain di luar pengadilan, karena kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang penyelesaiannya memakan tenaga, waktu dan biaya yang tinggi akibat pembuktian yang sulit.

“Agar korporasi dapat tetap berjalan dengan baik dan menghindari terjadinya penutupan korporasi akibat tindak pidana yang dilakukan, maka diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa yang berbeda pula,” papar Febby.

Tantangan penerapan plea bargaining

Sementara, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi menjelaskan terdapat berbagai tantangan penerapan plea bargaining dan DPA di sistem peradilan Indonesia.  Dia menyampaikan lembaga penegak hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia pasca-orde baru masih memiliki masalah akuntabilitas dan transparansi yang rendah.

Kemudian, terdapat mekanisme kontrol yang lemah dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap diskresi dan upaya paksa yang dimiliki oleh aparat. Tantangan lainnya soal lemahnya pengaturan terhadap akses kepada bantuan hukum kepada tersangka dan terdakwa akibat kualitas dan kuantitas advokat yang belum merata di Indonesia.

“Jaminan terhadap hak korban yang masih lemah dan ego sektoral antar aparat penegak hukum akibat tidak adanya Lembaga yang benar-benar menjadi dominus litis di tahapan penyidikan dan penuntutan,” ujarnya.

Dia menyampaikan penting mengubah prosedur beracara atau pembuktian harus diubah seiring dengan konsep plea bargain dan DPA yang ingin dipilih. Kemudian, perlunya penguatan peran advokat di setiap tahapan peradilan dan mengembalikan eksklusivitas kewenangan kepada jaksa.

Selanjutnya, advokat  harus terlibat pada setiap proses pemeriksaan dan dapat memberi komentar terhadap berkas yang dibuat penyidik. Hakim juga wajib untuk memberi tahu hak yang dilepaskan, lamanya pidana yang mungkin dikenakan, menanyakan pengakuan diberikan secara sukarela.

“Dan kewenangan (hakim) untuk menolak pengakuan apabila ada keraguan terhadap kebenaran pengakuan terdakwa,” papar Fachrizal.

Kepala Kejaksaan Tinggi Banten, Didik Farkhan Alisyahdi menyampaikan banyaknya permasalahan terkait aset negara/daerah telah menjadi pekerjaan rumah yang mendesak untuk diselesaikan. Karenanya diperlukan sejumlah langkah dalam penyelesaian yang bersifat out of the box.

Dengan begitu penyelamatan aset negara atau daerah dapat lebih optimal. Dia menjelaskan konsep plea guilty dan DPA patut dikaji sebagai bagian dari strategi penyelamatan aset negara melalui penegakan hukum tindak pidana korupsi.

“Persoalan terkait aset negara tersebut dapat diselesaikan secara hukum dengan cepat, tepat dan dengan mengedepankan prinsip keadilan, kebermanfaatan dan kepentingan umum,” jelasnya.

Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu menyampaikan perkembangannya. Menurutnya, mekanisme serupa dengan konsep plea guilty dan DPA telah dianut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2023 tentang Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Cukai untuk kepentingan Penerimaan Negara. Implementasinya dapat dilakukan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara dengan ketentuan pelaku membayar sanksi administratif berupa denda sebesar empat kali nilai cukai yang seharusnya.

Tags:

Berita Terkait