Pilunya Menjadi Penasihat Hukum Terpidana Mati
Feature

Pilunya Menjadi Penasihat Hukum Terpidana Mati

Pasti tak mudah bagi seorang advokat saat dihadapkan pada klien yang terancam pidana mati. Selain mendapatkan stigma negatif dari publik, para kuasa hukum ini juga mengalami tekanan secara psikis, terutama saat menemani detik-detik terakhir terpidana mati. Tak sampai disitu, beberapa dari mereka juga mengalami kerugian secara materi dan juga fisik.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 9 Menit

Tak hanya menyoal vonis, tersangka narkotika atau pembunuhan kerap mendapatkan diskriminasi dan pelanggaran HAM selama proses pemeriksaan hingga setelah vonis. Bahkan berdasarkan pengalaman mendampingi terpidana mati, Afif melihat banyak sekali perlakuan semena-mena yang diterima oleh terpidana mati. Misalnya saja dalam kasus terpidana mati Humprey Jefferson. Warga Negara Nigeria ini di eksekusi saat sedang mengajukan grasi. Kemudian secara prosedur, eksekusi Humprey juga dinilai melanggar Undang-undang Nomor 2 PNPS Tahun 1965 tentang Cara Pelaksanaan Hukuman Mati, di mana seharusnya eksekusi dapat dilakukan setelah 72 jam setelah pemberitahuan, namun hal ini tidak dilaksanakan.

Ketidakadilan yang dialami Humprey hanyalah segelintir kasus pelanggaran HAM yang dialami terpidana mati. Belum lagi stigma negatif dari publik yang juga diderita oleh terpidana dan juga keluarga. Dalam beberapa kasus, lanjut Afif, seorang tersangka kasus narkotika divonis hukuman mati dengan alat bukti yang minim, bahkan dia pernah mendampingi klien kasus narkotika yang divonis dengan hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan menggunakan pertimbangan yang sangat rasis, yaitu karena tersangka adalah kulit hitam dan warga negara Afrika.

Namun sayangnya, kerasnya penerapan hukum mati di Indonesia, menurut Afif, tidak mencapai tujuan dari penerapan hukuman mati tersebut, yakni adanya efek jera. Hal itu dibuktikan dengan jumlah kasus narkotika yang tidak kunjung surut.

“Tapi ternyata kasusnya itu tidak pernah surut sekalipun ada eksekusi di tahun 2015-2016,  tetap tidak pernah surut. Jadi apa, secara teoritik argumentasi bawa vonis pidana mati atau eksekusi mati sebagai efek Jera itu ternyata tidak terbukti berhasil,” papar Afif.

Fakta terjadinya pelanggaran HAM yang dialami oleh terpidana mati rupanya diamini oleh Petrus. Pada saat dirinya menjadi kuasa hukum seorang tersangka pembunuhan pada tahun 1993 silam, kliennya mengalami penyiksaan berat di Polres Bekasi, yang membuat si tersangka tidak bisa berjalan dan alat kelamin mengalami pembengkakan. Bagi Petrus, hal ini seharusnya tidak boleh terjadi, terlepas tersangka benar bersalah atau tidak.

“Saat itu Komnas HAM baru terbentuk, saya laporkan ke Komnas HAM. Terlepas dia bersalah atau tidak, tidak boleh diperlakukan seperti itu,” kata Petrus.

Terkait adanya aturan hukuman mati dalam KUHP terbaru yang dinyatakan berlaku pada 2026 mendatang, Petrus melihat hal itu sebagai suatu hal yang positif. Menurut Petrus, setiap orang bisa berubah. Apalagi untuk terpidana mati yang tak kunjung dieksekusi setelah bertahun-tahun di penjara, mereka sudah mendapatkan penderitaan dan berhak mendapatkan kesempatan vonisnya untuk ditinjau kembali. Petrus menilai negara melihat nurani dalam aturan baru hukuman mati tersebut. Karena hingga saat ini, masih banyak terpidana mati yang tidak kunjung dieksekusi oleh kejaksaan, yang mungkin salah satu alasannya adalah adanya pergolakan batin.

Sementara itu, Afif melihat aturan tersebut justru menunjukkan kegamangan pemerintah dalam merespon dorongan penghapusan hukuman mati seperti yang banyak dilakukan negara lain. Meski aturan ini merupakan langkah maju untuk mencapai penghapusan hukuman mati, namun persetujuan keringanan hukuman tetap digantungkan kepada putusan presiden.

Menurut Afif, aturan ini tidak menjawab persoalan hukuman mati yang selama ini terjadi di Indonesia. Pasalnya, jika presiden menolak persetujuan keringanan hukuman mati, lalu terpidana tidak segera di eksekusi, dan grasi yang diajukan juga tidak segera diputuskan presiden, terpidana yang sudah menjalani hukuman penjara selama 10 tahun harusnya bisa dikomutasi menjadi hukuman non pidana mati.

“Tapi kan ini memiliki persoalan, kenapa harus digantungkan kepada presiden yang lagi-lagi tidak secara otomatis. Artinya itu juga menyimpan persoalan-persoalannya hari ini tidak diselesaikan. Apa persoalannya? Mengenai tidak adanya jaminan perlindungan hukum terhadap si terpidana mati,” tegas Afif.

Meski Afif dan juta Petrus tidak mendukung hukuman mati, namun keduanya mendukung hukuman berat atas tindak kejahatan berat yang dilakukan oleh seseorang.

Setelah mendapatkan secuil cerita, pengalaman, dan pandangan dari para penasihat hukum para terpidana mati, bagaimana publik menyikapi vonis hukuman mati ini?

Tags:

Berita Terkait