Pilkada Langsung dan Demokrasi Lokal
Fokus

Pilkada Langsung dan Demokrasi Lokal

Berbagai masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan bukan alasan untuk mengembalikan rezim pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

KAR
Bacaan 2 Menit
Suasana pemungutan suara Pilkada. Foto: SGP (Ilustrasi)
Suasana pemungutan suara Pilkada. Foto: SGP (Ilustrasi)

Beberapa waktu lalu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok membuat keputusan yang mengejutkan banyak pihak. Ahok mengundurkan diri dari Partai Gerindra, partai yang mengusungnya menjadi pemimpin Ibukota bersama Joko Widodo. Langkah berani itu diambil Ahok setelah dia merasa berbeda pandangan dengan partainya terkait pembahasan RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Gerindra mendukung pilkada dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sedangkan Ahok berpendapat pilkada harus tetap dilakukan langsung oleh rakyat. Pro kontra seputar pilkada langsung atau tidak langsung memang sedang ramai. Sejumlah pihak khawatir pengesahan RUU itu akan menghidupkan kembali rezim pilkada oleh DPRD. Jika hal itu terjadi, tentu berdampak pada kemunduran demokrasi di Negeri ini.

Seorang juru bicara Senat Amerika Serikat yang duduk di parlemen selama 34 tahun, Tip O’Neill, menegaskan, “all politics is local”. Sebab, demokrasi di tingkat lokal menjadi syarat mutlak keberlangsungan demokrasi di tingkat nasional. Hal ini senada dengan teori B. C. Smith bahwa desentralisasi juga harus membawa faedah bagi masyarakat di daerah. Oleh karena itu, demorasi sistem pemerintahan di daerah harus dibangun secara kokoh.

Robert Alan Dahl dalam bukunya Democracy and Its Critics mengisyaratkan bahwa pemilihan umum yang dilakukan langsung oleh rakyat merupakan keharusan agar pemerintah daerah senantiasa menjunjung akuntabilitas dan tanggung jawabnya. Tentu, sebagai rakyat kita memahami bahwa akuntabilitas dan tanggung jawab pemerintah daerah sangat bernilai. Dua hal itulah santapan bagi nurani pemangku kekuasaan di daerah untuk memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan publik yang benar-benar sesuai dengan kepentingan rakyat di daerah.

Berangkat dari hal itu, pilkada langsung menjadi sebuah bentuk partisipasi politik masyarakat dalam merencanakan dan mengambil keputusan politik. Tak berlebihan jika isu penghapusan pilkada langsung dalam RUU Pilkada menuai penolakan masyarakat seperti tercermin dalam sikap Ahok.

Penolakan terhadap pelaksanaan pilkada oleh DPRD bukan tanpa alasan. Pengalaman saat berlakunya  UU No. 22 Tahun 1999, menunjukkan adanya gejala hubungan kemitraan yang tak seimbang sehingga menimbulkan ‘legislative heavy’. Kedudukan DPRD terkesan lebih tinggi dibanding kepala daerah. Akibatnya, banyak kasus pemakzulan kepala daerah terjadi hanya karena alasan-alasan politis.

Fenomena itulah salah satu alasan UU No. 22 Tahun 1999 diubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Penggantian ini memperlihatkan semangat perwujudan keseimbangan dari ’legislative heavy’ dan ’excecutive heavy’. Strategi itu terlihat dari banyaknya pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur soal pilkada langsung. Hampir sepertiga isi undang-undang itu tentang pilkada secara langsung. Ruh penyeimbangan kekuasaan legislatif dan eksekutif di daerah pun tetap ada ketika UU No. 32 Tahun 2004 itu diperbarui menjadi UU No. 12 Tahun 2013.

Selamatkan Pilkada Langsung
Pilkada langsung memang masih menyisakan sederet kekurangan yang harus dikritisi. Sejak dilaksanakan pada bulan Juni tujuh tahun silam, kisruh daftar pemilih masih terus mewarnai pilkada langsung. Masalah akurasi data ini sering dijadikan oleh para pasangan calon yang kalah untuk melakukan gugatan.

Pangkal permasalahan data yang tak akurat ini karena proses pengumpulan datanya dilakukan tanpa melibatkan pihak yang paling mengetahui penduduk di daerah. UU No. 22 Tahun 2007 hanya memerintahkan Panitia Pemungutan Suara (PPS) untuk bertanggung jawab terhadap pemutakhiran data pemilih. Jika saja dalam pemutakhiran data pemilih melibatkan RT/RW, masalah data pemilih yang tidak akurat akan dapat diminimalisasi, karena RT/RW adalah lembaga yang paling mengetahui penduduknya.

Ada pula masalah terkait akuntabilitas penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara. Selama ini, pengawasan proses penghitungan dan rekapitulasi sangat rawan kecurangan. Terlebih lagi, rupanya masih ada celah manipulasi yang terbuka dari  UU No. 32 Tahun 2004. Pasalnya, beleid itu tak mampu menutup keterbatasan jangkauan para saksi peserta pilkada dan Panwaslu untuk mengawasi penghitungan suara di setiap TPS.

Masalah lain yang tak kalah peliknya menyangkut biaya penyelenggaraan pilkada yang menyedot anggaran cukup besar. Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mencatat, biaya pilkada untuk satu kabupaten/kota sebesar Rp 25 miliar. Sementara itu, untuk menyelenggarakan pilkada di tingkat provinsi dibutuhkan Rp 100 miliar. Dengan demikian, untuk menggelar pilkada di seluruh Indonesia harus disiapkan anggaran sebesar Rp 17 triliun.

Lantas, apakah biaya besar harus menjadi alasan pilkada dikembalikan oleh DPRD? Untungnya, sistem presidensial seperti yang dianut Indonesia ini mengenal rezim penyelenggaraan pilkada serentak. Lebih dari itu, Brazil membuktikan pilkada langsung bahkan bisa menstabilkan dan mengefektifkan pemerintahan. Tak heran, dalam kurun 15 tahun sejak menerapkan pilkada langsung, Brasil bisa menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Bukan tak mungkin Indonesia bisa menyusul Brazil sebagai bagian dari kekuatan ekonomi dunia jika penyelenggaraan pilkada dilaksanakan serentak.

Luas wilayah dan jumlah pemilih yang besar membuat pelaksanaan pilkada serentak efektif dilakukan  jika jadwalnya dipisahkan dengan pelaksanaan pemilihan presiden dan anggota DPR maupun DPD. Rumusannya adalah, pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota serta pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dilakukan secara bersamaan di seluruh Indonesia. Pelaksanaan pilkada serentak itu menurut perhitungan FITRA hanya membutuhkan biaya sebesar Rp 10 triliun. Di sisi lain, pemilu serentak dengan pemisahan jadwal antara pemilu di tingkat nasional dan daerah diharapkan dapat menciptakan pemerintahan yang kongruen.

Pemilihan presiden tentunya akan mempengaruhi hasil pemilihan legislatif sehingga kecenderungan yang akan terjadi adalah presiden terpilih didukung pula penguasaan kursi legislatif.  Efek lanjutan dari pemilu nasional ini diperkirakan akan mempengaruhi pemilu di level daerah. Pemilu nasional dan pemilu daerah juga mendorong partai politik untuk terus meningkatkan kinerjanya karena partai politik harus menghadapi ujian pemili dua kali dalam lima tahun.

Dalam rentang waktu sebelum palu diketuk mengesahkan RUU Pilkada, semoga para wakil rakyat di Senayan dapat kembali melihat secara jernih persoalan pilkada langsung. Serentetan masalah yang menggelayuti pelaksanaan pilkada langsung bukan persoalan tanpa solusi. Pastinya, ada banyak solusi yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan pilkada langsung terlaksana secara lebih efektif; tanpa perlu membinasakannya dari penjelmaan demokrasi di Indonesia.

Bagaimanapun, kemenangan figur Joko Widodo dalam kontestasi pemilihan presiden yang lalu menjadi bukti bahwa pilkada langsung juga menjadi kancah audisi kepemimpinan bagi elit-elit lokal untuk mengembangkan kecakapannya. Di sisi lain, rakyat di daerah mengenyam pendidikan politik untuk memilih dan menentukan pemimpinnya sendiri tanpa adanya intervensi dari siapapun, termasuk pemerintah pusat.

Tags:

Berita Terkait