Pilihan Proses Eksekusi Jaminan Hipotek, Hak Tanggungan, Hingga Fidusia
Utama

Pilihan Proses Eksekusi Jaminan Hipotek, Hak Tanggungan, Hingga Fidusia

Mulai dengan cara litigasi, permintaan eksekusi ke pengadilan, penjualan objek jaminan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, hingga melalui bawah tangan atas dasar kesepakatan untuk mendapatkan harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Narasumber dalam Webinar Hukumonline bertajuk 'Seluk-Beluk Jaminan dalam Perjanjian Kredit dan Mitigasi Risikonya', Selasa (29/9). Foto: RES
Narasumber dalam Webinar Hukumonline bertajuk 'Seluk-Beluk Jaminan dalam Perjanjian Kredit dan Mitigasi Risikonya', Selasa (29/9). Foto: RES

Hukum kebendaan dan pelaksanaan eksekusi atas objek hak jaminan kebendaan tak bisa dipisahkan. Dalam praktik eksekusi atas objek jaminan kebendaan kerap menemui kendala/hambatan terutama dalam hal hutang-piutang dengan jaminan kebendaan. Lantas, seperti apa idealnya eksekusi terhadap jaminan khusus kebendaan ini, seperti eksekusi jaminan hipotek, eksekusi hak tanggungan, dan eksekusi jaminan fidusia?

Founder Ivan Almaida Baely & Firmansyah (IABF) Law Firm, Almaida Askandar menerangkan jaminan kebendaan dapat diberikan oleh debitur atau pihak ketiga berupa jaminan fidusia, hak tanggungan, dan hipotek kapal. Jaminan hipotek merupakan suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak berupa kapal yang dijadikan jaminan dalam pelunasan suatu perikatan.

Debitur kerap mengalami kesulitan dalam hal pembayaran utang. Biasanya objek barang/kebendaan menjadi jaminan secara hukum mesti dalam penguasaan kreditur setelah debitur tak sanggup memenuhi pembayaran utangnya. Praktiknya, tidak semudah yang dibayangkan terutama dalam proses eksekusi jaminan hipotek kapal.

Menurutnya, pemegang hipotek bila menghendaki eksekusi dapat menempuh upaya penemuhan pembayaran utang melalui proses litigasi dengan sejumlah cara. Misalnya, mengajukan gugatan perdata ke pengadilan negeri (PN) sesuai kompetensi relatif. “Dengan cara menarik debitur sebagai tergugat,” ujar Almaida Askandar dalam Webinar Hukumonline bertajuk “Seluk-Beluk Jaminan dalam Perjanjian Kredit dan Mitigasi Risikonya”, Selasa (29/9/2020).

Melalui gugatan ke PN ini, tentu bakal ada proses pemeriksaan yang cukup panjang yang membutuhkan waktu dan energi. Mulai tahap pembacaan gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian (saksi dan surat-surat), kesimpulan sampai putusan. Namun terhadap putusan PN, terbuka peluang upaya hukum banding, kasasi, hingga peninjauan kembali.

“Bisa tahunan untuk sampai mendapat putusan berkekuatan hukum tetap. Sangat tidak efektif dan efisien jika pemegang hipotek (kreditur, red) menempuh cara penyelesaian litigasi ini. Upaya ini bukan pilihan yang tepat,” kata dia. (Baca Juga: Apakah Semua Benda Dapat Jadi Jaminan Utang)

Cara lain, kata Melda begitu biasa disapa, dengan mengajukan permintaan/permohonan eksekusi ke pengadilan. Sebab, sertifikat hipotek kapal memiliki titel eksekutorial (irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, red). Bila debitur cedera janji, maka pemegang hipotek dapat langsung meminta fiat eksekusi kepada Ketua PN setempat melalui empat tahapan. Pertama, atas permohonan ini pengadilan mengeluarkan aanmaning (surat peringatan). Kedua, penetapan sita eksekusi. Ketiga, penetapan lelang.

Penjualan lelang dapat dilakukan berdasarkan atas kekuasaan sendiri. Hal ini dapat dilakukan apabila dalam akta hipotek terdapat kuasa menjual sendiri benda hipotek tanpa campur tangan pengadilan negeri dengan syarat apabila debitur cidera janji. Keempat, penjualan di bawah tangan. Cara ini dilakukan berdasarkan adanya kesepakatan antara kreditur dan debitur untuk mencari pembeli dengan harga tertinggi.

Lantas bagaimana dengan eksekusi hak tanggungan (benda tidak bergerak berupa tanah dan benda-benda diatasnya)? Melda melanjutkan pemegang hak tanggungan pertama dapat menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan secara lelang. Sebab, titel eksekutorial terdapat dalam sertifikat hak tanggungan yang tata caranya ditentukan peraturan perundang-undangan. “(Pemegang hak pertama, red) mendahului para kreditur lain." 

Selain itu, eksekusi hak tanggungan bisa atas dasar kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan, penjualan obyek hak tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan. Dengan catatan, dengan cara tersebut dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Menurutnya, pelaksanaan penjualan di bawah tangan atas kesepakatan dapat dilakukan setelah melewati tenggat waktu 1 bulan sejak pemberitahuan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak yang berkepentingan.

“Diumumkan sedikit-dikitnya di dua surat kabar/media massa di daerah yang bersangkutan, dan tidak ada pihak yang menyatakan keberatan,” imbuhnya.

Dalam kesempatan yang sama, Partner IABF Law Firm, Ivan F. Baely menyoroti soal eksekusi jaminan fidusia (benda bergerak). Menurutnya, bila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, maka eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama, pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia. Kedua, penjualan benda yang menjadi objek jaminan atas kekuasaan penerima fidusia melalui pelelangan umum. Selanjutnya, mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu.

Namun dalam perkembangannya, terdapat putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019. Dalam putusan MK itu menyebutkan, “Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia berikut penjelasannya sepanjang frasa ‘kekuatan eksekutorial’ dan frasa ‘sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap’ inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.”

Sebagai catatan, putusan MK itu memberi tafsir atas Pasal 15 ayat (1-3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terkait cidera janji (wanprestasi) dalam eksekusi jaminan fidusia. Awalnya, pasal itu ditafsirkan jika debitur (konsumen) cidera/ingkar janji, penerima fidusia (perusahaan leasing) punya hak menjual objek jaminan dengan kekuasaannya sendiri (lelang) seperti halnya putusan pengadilan yang inkracht

MK memberi tafsir berbeda dengan pasal sebelumnya. Kini, sertifikat jaminan fidusia, yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, tidak lagi otomatis memiliki kekuatan eksekutorial. Dalam putusan itu, cidera janji dalam eksekusi perjanjian fidusia harus didasarkan kesepakatan kedua pihak antara debitur dan kreditur. Jika tidak terjadi kesepakatan, salah satu pihak dapat menempuh upaya hukum melalui gugatan ke pengadilan untuk menentukan/memutuskan telah terjadinya cidera janji tersebut.    

Cara ketiga, kata Ivan, penjualan di bawah tangan yang dilakukan atas dasar kesepakatan pemberi dan penerima fidusia. Ivan melanjutkan cara tersebut diharapkan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Namun demikian, penjualan di bawah tangan dilakukan setelah melewati tenggat waktu 1 bulan sejak pemberitahuan secara tertulis oleh pemberi dan/atau penerima fidusia kepada para pihak berkepentingan. Serta diumumkan sedikitnya dalam dua surat kabar yang beredar di daerah bersangkutan.

“Kendati demikian, tetap memperhatikan putusan MK 18/PUU-XVII/2019 yang menyebutkan, adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur, melainkan atas dasar kesepakatan atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji.”

Sementara mekanisme eksekusi jaminan fidusia terdapat tiga tahap. Pertama, pemberi fidusia wajib menyerahkan benda objek jaminan dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Kedua, dalam hal benda yang menjadi objek jaminan terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau bursa, penjualannya dapat dilakukan di tempat tertentu sesuai dengan peraturan yang mengaturnya.

Ketiga, dalam eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut ke pemberi fidusia. “Namun, bila ternyata hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar (kekurangannya, red),” ujar pria yang sejak 2019 masuk daftar A-List of Indonesia Top 100 Lawyers Journal dari Asian Business Law Journal itu.  

Tags:

Berita Terkait