Pilih Karier In House Counsel atau di Law Firm? Cek Dulu 5 Bedanya
Utama

Pilih Karier In House Counsel atau di Law Firm? Cek Dulu 5 Bedanya

Sama-sama menunjang kemajuan dunia bisnis lewat urusan hukum. Beda dalam pelaksanaannya.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Para peserta berforo bersama usai acara. Foto: HOL
Para peserta berforo bersama usai acara. Foto: HOL

Ada pertanyaan yang mungkin sering muncul di benak lulusan sarjana hukum: Mana yang lebih ringan, bekerja di corporate law firm atau menjadi in house counsel? Jawabannya tentu tidak hitam-putih. Ada dua karier yang biasa diincar sarjana hukum di sektor bisnis. Pertama, sebagai in house counsel (penasehat hukum) di perusahaan. Kadang ada yang menyebutnya corporate counsel, legal officer, atau legal staff. Perusahaan lain menyebut dalam bahasa Indonesia seperti staf bagian hukum.

Posisi strukturalnya bisa berjenjang dari tingkat junior, senior, dan pimpinan perusahaan. Misalnya mulai dari staf pelaksana, manajer, hingga direktur atau wakil direktur. Intinya, mereka memastikan perusahaan beroperasi sesuai standar kepatuhan terhadap hukum yang berlaku.

Kedua, berkarier di firma hukum alias law firm yang khusus menangani klien dunia bisnis atau sering disebut corporate law firm. Di sana juga ada jenjang karier yang biasa digunakan. Setidaknya ada posisi associate dan partner berdasarkan kompetensi, dan jangka waktu (lama) berkarier.

(Baca juga: Corporate Lawyer dan In House Counsel, Serupa Namun Tak Sama).

Beberapa law firm membagi lagi kedua posisi itu dengan tambahan sebutan ‘junior’ dan ‘senior’ di depannya. Selain itu ada posisi managing partner selaku penanggung jawab utama pengelolaan law firm. Jasa law firm biasa digunakan untuk urusan tertentu yang tak bisa ditangani sendiri oleh in house counsel. Tentu saja posisinya lebih independen karena tidak berstatus sebagai pegawai perusahaan. “Kalau ada yang bilang in house counsel itu santai, mohon maaf, nggak juga,” kata Seradesy Sumardi, VP Head of Legal Lazada E-Logistics Indonesia.

Ia berbagi pengalamannya di acara ‘Bimbingan Kerja untuk Fresh Graduate Hukum’, yang diselenggarakan hukumonline di Jakarta, Kamis (5/4) lalu. Desy—begitu ia akrab disapa—pernah mencicipi karier di law firm sebelum menjadi in house counsel di berbagai perusahaan multinasional.

(Baca juga: Apa Beda Legal Officer dan In-House Counsel? Ini Penjelasannya).

Nah, sebelum memilih berkarier yang mana, simak dulu perbandingan di bawah ini. Informasi diperoleh langsung dari para in house counsel dan corporate lawyer andal di acara ‘Bimbingan Kerja untuk Fresh Graduate Hukum’ angkatan ke-4.

1.Tugas dan Fungsi

Secara umum, in house counsel mengelola dan mengurangi dampak risiko hukum bagi perusahaan. Tugasnya mulai dari merancang hingga menjalankan berbagai prosedur dan kebijakan perusahaan terkait hukum yang berlaku. Mereka memastikan kepatuhan terhadap segala regulasi yang berkaitan bisnis perusahaan. Termasuk terus mendorong praktik terbaiknya di perusahaan.

“Kita melihat segala sesuatu dari aspek hukum untuk kepentingan perusahaan. Memberikan advis dengan berbagai alternatif solusi,” kata Dian Rizky Amelia Bakara, Senior Legal Manager SOHO Global Health. In house counsel menjadi penentu pertimbangan hukum dalam setiap pengambilan keputusan perusahaan.

Partner firma hukum Lubis Gani Surowidjojo (LGS), Arief T.Surowidjojo, juga mengakui hal tersebut. “Advis law firm biasa dianggap perusahaan sebagai tambahan. Namun in house counsel sebagai orang internal yang diutamakan manajemen untuk pengambilan keputusan,” katanya.

Corporate lawyer biasanya membantu perusahaan dalam hal tertentu. Erlangga Gaffar, Senior Legal Counsel PT.Vale Indonesia Tbk. menjelaskan tiga alasan perusahaan menggunakan jasa law firm. Kami memang tidak bisa tangani, kami bisa tangani tapi tidak sempat, atau karena memang diwajibkan aturan tertentu harus pakai jasa law firm,” kata Erlangga. Ia mengakui tetap ada urusan hukum yang tidak bisa ditangani in house counsel. Terutama berkaitan dengan pengalaman menangani transaksi tertentu.

2.Cakupan Kerja

Baik in house counsel maupun corporate lawyer di law firm berurusan dengan banyak dokumen hukum dan transaksi. Kedua profesi ini sama-sama melakukan riset tentang regulasi, uji tuntas kepatuhan hukum, merancang kontrak, memberikan pendapat hukum, hingga mewakili tindakan hukum seperti negosiasi atau litigasi ke pengadilan.

Cuma, in house counsel memiliki fokus spesifik pada industri perusahaan tempatnya bekerja. In house counsel adalah strategic supporting system dari bisnis perusahaan,” kata Irma Yunita, Corporate Secretary&VP Legal Telkomtelstra. Mereka, in house counsel, dituntut memahami bisnis perusahaannya dari hulu hingga hilir.

Hal ini berbeda dengan law firm yang berhadapan dengan beragam jenis klien. Mereka bisa saja menangani urusan beragam jenis industri secara bersamaan. Kami terus melakukan riset setiap waktu untuk menjawab pertanyaan klien. Belum tentu Partner pun sudah lebih tahu,” kata Imanuel Rumondor, associate firma hukum Assegaf Hamzah & Partners (AHP).

Hukumonline.com

Foto: Suasana diskusi dipandu in house counsel. (Tim HOL)

Law firm tetap harus mengenal bisnis perusahaan kliennya. Hanya saja tidak harus sedalam yang dilakukan in house counsel. Kondisi ini membuat law firm berpeluang terus menambah area praktik yang ditawarkan seiring makin beragamnya klien. Biasanya law firm akan memilih spesialisasi bidang tertentu. Namun cakupan bidang industri yang bisa ditangani lawyer mereka lebih banyak dibandingkan in house counsel.

3.Mitra Kerja

Secara sederhana, mitra kerja para lawyer di law firm adalah tim internal mereka  dan klien. Para partner dan associate yang bertanggung jawab saling bekerja sama memenuhi permintaan klien.  “Kita bekerja dalam satu transaksi bersama dengan tim. Maka kemampuan bekerja sama harus dimiliki sejak awal,” kata Renaldi, partner AHP.

Law firm besar dengan banyak personel biasanya membagi tugas dalam practice group. Masing-masing terdiri dari partner dan associate spesialis bidang tertentu. Mereka yang akan berkomunikasi dengan klien sebagai representasi law firm.

Sering terjadi klien perusahaan akan diwakili in house counsel mereka. Hal ini akan lebih mudah karena sama-sama memahami urusan hukum. Namun bisa terjadi klien perusahaan tak memiliki in house counsel. Personel law firm dituntut bisa berkomunikasi secara mudah dan efektif kepada perwakilan klien yang tidak berlatar belakang hukum.

Bagaimana dengan in house counsel? Mitra kerja utama mereka justru personel perusahaan yang tidak memahami hukum. Pertama, biasanya hanya ada sedikit bahkan satu orang in house counsel dalam perusahaan. Hanya beberapa industri tertentu seperti perbankan yang membentuk tim in house counsel. Kedua, mereka harus menangani segala kebutuhan perusahaan terkait urusan hukum.

“Anda berkomunikasi dengan banyak orang yang tidak berlatar belakang hukum dan tidak memahami risiko dari apa yang akan dijalankan,” kata Ingkan Simanjuntak, Associate General Counsel Facebook Indonesia.

Ingkan mengingatkan besarnya kebutuhan berkomunikasi efektif dengan berbagai divisi di perusahaan. Kesalahan berkomunikasi in house counsel mungkin menimbulkan masalah besar. Divisi lain mungkin justru melihat in house counsel penghambat kerja mereka. Padahal in house counsel menjadi tumpuan untuk mengamankan segala urusan hukum hulu hingga hilir.

Penting untuk memahami budaya perusahaan agar bisa mengatur strategi kerja sama dan komunikasi. “Harus tahu company culture. Misalnya mungkin harus buat janji lewat sekretarisnya dulu untuk bicara dengan rekan divisi lain,” Ingkan menambahkan.

4.Jam Kerja

Sudah menjadi rahasia umum bahwa bekerja di law firm kerap kali tak mengenal batas waktu. Sebagai bisnis jasa, memberikan layanan terbaik adalah daya tawar law firm. Itu sebabnya sering pekerjaan mereka dituntaskan hingga hari berganti. Tak bisa dipastikan soal batas jam kerja mereka.

“Managing Partner kami di AHP sering mengingatkan jangan-jangan yang begitu tanda cara kerja tidak efisien. Namun ada kondisi memang harus begitu,” kata Renaldi yang sudah 15 tahun berkarier di AHP. Sering klien menghubungi dalam kondisi mendesak dan harus ditangani seketika tanpa peduli waktu. Belum lagi klien dari negara lain yang memang di zona waktu berbeda hingga 12 jam.

Irma dan Dian yang pernah lama berkarier di law firm mengakui pertimbangan jam kerja sebagai alasan mereka beralih karier. “Pemicu saya karena work-life balance. Saya mau menjadi Ibu yang berkarier,” Irma berbagi ceritanya. Jam kerja yang lebih terukur sebagai in house counsel menjadi pilihannya.

“Dua hari jelang kelahiran operasi sesar anak pertama, saya masih drafting dokumen dan due diligence di pukul 3 pagi. Tidak lama saya keluar kantor ternyata matahari sudah terbit,” ungkapnya mengenang.

(Baca juga: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e1edb1758952/inilah-besaran-gaji-iin-house-counsel-i-indonesia-tahun-2019-dan-proyeksi-2020).

Hal serupa dialami Dian. “Dengan dilema Ibu yang ingin menyusui anak secara eksklusif dan sulit bertemu anak, akhirnya saya memutuskan beralih ke in house counsel,” katanya sembari tertawa.

5.Insentif

Insentif yang harus disebut pertama kali adalah work-life balance yang lebih banyak dimiliki in house counsel. Seperti yang dituturkan Dian dan Irma sebelumnya, ada kejelasan batas jam kerja sebagai pegawai perusahaan dibandingkan law firm.

Nah, mengenai besaran uang yang diperoleh bisa sangat relatif. Penelusuran hukumonline menunjukkan ada rentang gaji yang berbeda tergantung industri perusahaan atau seberapa besar ukuran law firm. Level kompetensi berdasarkan lama berkarier juga berpengaruh.

(Baca juga: Besaran Gaji Corporate Lawyer Indonesia Tahun 2019 dan Proyeksi 2020).

Bonus Mentoring Kilat

Erlangga, Dian, Ingkan, Irma, dan Desy hadir sebagai tim Indonesian Corporate Counsel Association (ICCA). Secara khusus mereka berbagi kepada peserta acara ‘Bimbingan Kerja untuk Fresh Graduate Hukum’ angkatan 4 oleh Hukumonline.

Tidak hanya berceramah, tim ICCA memberikan soal simulasi kerja untuk dituntaskan peserta secara berkelompok. Tiap kelompok didampingi oleh tiap in house counsel tersebut sebagai mentor. Meski berlangsung kilat, diskusi dan kerja sama peserta mendapat bimbingan langsung para profesional ini.

Corporate lawyer dari jajaran firma hukum besar Indonesia diwakili antara lain managing partner firma hukum AKSET Law-Mohamad Kadri, partner firma hukum LGS-Arief T.Surowidjojo, dan partner firma hukum AHP-Mohammad Renaldi Zulkarnain.

Jumar, fresh graduate dari Universitas Hasanudin mengaku sangat terbantu dengan bimbingan kerja ini. “Luar biasa. Setelah mengikuti ini pikiran saya jadi lebih terbuka. Informasi tentang profesi dan dunia hukum bisnis kurang saya dapatkan di kampus,” katanya.

Pascaline, fresh graduate lainnya dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta menjelaskan acara ini sangat sesuai harapannya. Ia mengaku datang karena tertarik dengan nama besar para narasumber.  “Bagi yang ingin jadi corporate lawyer seperti saya jelas sangat terbantu dengan informasi berdasarkan pengalaman nyata para pembicara,” ujarnya.

Peserta angkatan ke-4 tahun ini antara lain berasal dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Padjadjaran Bandung, Universitas Katholik Parahyangan Bandung, Universitas Atma Jaya Jakarta, Universitas Islam Riau, Institut Agama Islam Tazkia, Universitas Brawijaya, Malang; Universitas Prasetya Mulya, Universitas Hasanuddin Makassar, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, dan Universitas Indonesia.

Tags:

Berita Terkait