Pilih Jurusan Hukum untuk Hindari Matkul Hitungan, Begini Pandangan Dekan FH UB dan FH UPH
Utama

Pilih Jurusan Hukum untuk Hindari Matkul Hitungan, Begini Pandangan Dekan FH UB dan FH UPH

Selain ada sejumlah mata kuliah yang mengharuskan mahasiswa hukum untuk tetap berhitung, logika dan nalar yang diasah dalam pelajaran matematika menjadi aspek penting selama mengenyam pendidikan tinggi hukum.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Dekan FH UB Aan Eko Widiarto dan Dekan UPH Velliana Tanaya. Foto Kolase: Istimewa
Dekan FH UB Aan Eko Widiarto dan Dekan UPH Velliana Tanaya. Foto Kolase: Istimewa

Bukan rahasia lagi, alasan sebagian orang memantapkan hati memilih jurusan ilmu hukum disebabkan untuk menghindari mata kuliah perhitungan atau berkaitan dengan matematika. Menjawab hal klasik yang masih sering didengar sampai sekarang itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (FH UPH) berbagi pandangannya.

“Dalam kurikulum Fakultas Hukum memang tidak ada ‘mata kuliah matematika’, tetapi sebenarnya masuk hukum bukan karena menghindari matematika. Dalam inti hukum menurut saya justru sama seperti intinya matematika yaitu logika,” ujar Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), Dr. Aan Eko Widiarto, melalui sambungan telepon dengan Hukumonline, Kamis (27/4/2023).

Baca Juga:

Sama halnya, kata dia, dengan perspektif beberapa orang untuk menjadi mahasiswa hukum yang terpenting bisa menghafal Undang-Undang juga adalah salah besar. Justru dalam hukum kental dengan logika, sehingga tidak melulu mengharuskan mahasiswa untuk menghafal segala aturan. Terlebih mengingat sifat hukum yang amat dinamis.

Karena itu, logika yang seringkali diasah melalui mata pelajaran matematika menjadi penting. Di samping itu, penggunaan hitung-hitungan juga dapat terpakai ketika mahasiswa melakukan penelitian hukum dengan metode kuantitatif. Di mana mahasiswa hukum tingkat akhir yang memilih metode ini bakal berhadapan dengan ilmu statistik.

Aan juga menyebutkan adanya sejumlah mata kuliah yang perlu diambil pada Fakultas Hukum dan mengharuskan mahasiswa untuk berhitung. “Contoh hukum waris ya, Barat atau Islam. Itu basisnya juga matematika untuk hitung-hitungan pembagian waris. Bukan menakut-nakuti tidak, tapi perlu untuk meluruskan. Inti dari matematika yaitu logika itu sama dengan inti belajar di Fakultas Hukum,” kata dia.

Untuk itu, pemahaman mahasiswa hukum dalam bidang matematis juga menjadi penting. Pasalnya, dengan mengetahui perhitungan akan bisa menjadi dasar strategi dalam penerapan maupun pembentukan hukum. Meski jelas berbeda perhitungan dimaksud dengan yang dilakukan di Fakultas MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam), matematika yang dipergunakan mahasiswa hukum lebih pada aplikasi.

“Sebenarnya ilmu hukum sebagai ilmu humaniora menyeimbangkan antara daya nalar sehat yang basisnya dari logika matematik dengan rasa. Olah rasa yang di situ ada nilai-nilai keadilan. Ini digabungkan, memang perpaduan. Jadi jangan meninggalkan salah satu untuk kemudian mengambil satu saja. ‘Oh aku ga mau matematika, masuk hukum saja’ itu salah besar. Kalau tidak dilengkapi dua ini antara nalar dan rasa, hilang nanti hukumnya.”

Oleh karena itu, dirinya berpesan kepada seluruh calon mahasiswa hukum untuk memahami bahwa dalam hukum itu harus dipelihara nalar yang sehat. Nalar sehat ini bisa timbul karena 2 hal. Pertama, kemampuan berhitung secara matematis agar nanti bisa diaplikasikan dengan statistik dalam metode penelitian hukum (kuantitatif). Kedua, memperdalam aspek budi atau etika yang berasal dari rasa. Ilmu keduanya penting karena dipergunakan dan bukan dinegasikan.

“Paradigma itu (memilih ilmu hukum demi menghindari hitung-hitungan) kayaknya dari zaman saya kuliah (sudah ada). Dulu orang bilang masuk hukum karena tidak suka hitung-hitungan. Saya juga kayak gitu sih pikiran pertamanya,” ungkap Dekan Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (FH UPH) Velliana Tanaya ketika mengenang masa-masa awal memilih jurusan ilmu hukum.

Sebagai seorang yang mulanya berasal dari jurusan IPS semasa SMA, ia mengakui tidak begitu menyukai matematika yang kompleks dalam ilmu fisika maupun semacamnya. Tetapi, ketika sudah menjadi bagian dari FH, disadari bahwa bukan hanya hitung-hitungannya yang berperan dalam ilmu hukum, melainkan juga cara berpikir atau nalar seseorang bagaimana cara untuk mencapai jawaban secara sistematis.

Pemikiran ‘how to get there’ ini jelas dari perspektifnya adalah sama sewaktu mempelajari ilmu hukum. “Cara bagaimana kita bisa dikasih suatu kondisi dan bagaimana kita bisa sampai pada suatu jawaban itu yang dilatih dalam pelajaran matematika. Jangan takut hitung-hitungannya,” ujarnya.

Selaras dengan Aan, Velliana juga mengingatkan adanya mata kuliah di jurusan ilmu hukum yang mengharuskan mahasiswa menghitung. Sebut saja diantaranya seperti hukum pajak, hukum waris, dan sebagainya. Menurutnya, sampai kapanpun perihal hitung-hitungan itu pasti akan tetap ada. Lebih lanjut, khusus di FH UPH, salah satu komponen yang dilihat yang ada ialah matematika.

Pasalnya, logika seseorang akan dibangun melalui pemahamannya dalam pelajaran matematika. Apalagi di tengah era modern saat ini, jika tidak dapat menghitung jelas akan sulit untuk survive. Mau tidak mau, suka tidak suka, menghitung menjadi hal yang tidak terelakkan bahkan di kehidupan sehari-hari. Sebut saja contoh mudahnya seperti ketika menghitung uang.

“Kita belajar peraturan, teori-teori hukum, untuk bisa menjawab masalah-masalah atau fenomena di masyarakat. Jadi jangan khawatir untuk menghitung, tapi yang dibangun (melalui matematika) itu adalah proses berpikirnya. Itu yang perlu ditanamkan di setiap calon mahasiswa yang mau memilih jurusan ilmu hukum. Jadi jangan musuhin hitung-hitungan. Hitung-hitungan pasti ada. Mata kuliah yang memerlukan hitung-hitungan ada, apalagi yang cita-citanya jadi notaris.”

Tags:

Berita Terkait