Pihak-Pihak yang Akan Terdampak Moratorium Kepailitan dan PKPU
Kolom

Pihak-Pihak yang Akan Terdampak Moratorium Kepailitan dan PKPU

Perlu siapkan strategi untuk menghadapi efek yang dapat timbul dari penerapan moratorium.

Bacaan 6 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Terhitung artikel saya berjudul Meluruskan Logika Pemerintah Soal Usulan Moratorium PKPU dan Pailit terbit pada 25 Agustus 2021 di kolom hukumonline, bermunculan respon terhadap terhadap tulisan tersebut mulai dari yang saya nilai pantas merespon karena kemampuan dan pengalamannya di bidang kepailitan dan PKPU, sampai yang saya nilai tidak memiliki kualitas dan kapasitas untuk berbicara kepailitan dan PKPU. Tidak sedikit yang mengusulkan untuk merespon satu per satu, tetapi saya menolak. Karena saya berbicara tentang kepentingan Indonesia, sedangkan mereka bicara tentang tulisan saya.

Pada tulisan kali ini saya akan menyampaikan beberapa hal yang saya fikir harus diluruskan dalam memahami kepailitan dan PKPU, serta usulan moratorium kepailtan dan PKPU secara khusus. Agar terjadi pemahaman yang utuh di tingkat masyarakat umum, dan pemerintah yang saat ini sedang mengkaji usul Perppu Moratorium Kepailtan dan PKPU.

Dalam beberapa pemberitaan, terdapat dua argumentasi pokok mengapa moratorium kepailitan dan PKPU harus diterapkan di Indonesia. Pertama, karena sudah banyak negara yang menerapkan. Kedua, karena adanya moral hazard dalam pelaksanaan kepailitan dan PKPU. Jika merujuk pada argumentasi di atas tentu harus dikaji satu per satu dari setiap argumentasi tersebut untuk mendapatkan validasi dari setiap argumen.

Mengenai penerapan moratorium kepailitan di negara lain, memang benar ada beberapa negara yang menerapkan moratorium kepailitan seperti Australia, dan Rusia. Tetapi negara-negara tersebut telah menghentikan moratorium tersebut. Catatan saya, Australia sudah menghentikan moratorium sejak 31 Desember 2020, dan Rusia telah mengakhiri moratorium pada Januari 2021. Tetapi data juga menunjukkan bahwa tidak sedikit negara yang tidak menerapkan moratorium kepailitan, dan banyak dari negara tersebut adalah negara yang perekonomiannya sangat terdampak Covid-19, sebut saja, Afrika Selatan, Hongkong, Jepang, Thailand, Belanda, Swedia, bahkan Amerika Serikat.

Fakta ini menunjukkan bahwa sebenarnya argumentasi yang dibangun untuk menjustifikasi penerapan moratorium kepailitan dan PKPU, juga memiliki kontra argumentasi bahwa tidak sedikit negara yang secara ekonomi terpuruk karena pandemi Covid-19, tetapi tidak menerapkan moratorium kepailitan dan PKPU sebagai cara mengurangi dampak atau akibat pandemic Covid 19.

Belum lagi terdapat fakta bahwa ada berbagai contoh perbandingan di luar dua mainstream di atas. Seperti Inggris yang diawal pandemi Covid-19 mengundangkan The Corporate Insolvency and Governance Act 2020, yang mengatur Temporary Restriction bagi kreditur mengajukan permohonan pailit kepada debitur yang terdampak Covid-19, dengan tetap memberikan hak kepada kreditur untuk mengajukan kepailitan dengan membuktikan bahwa debitor akan tetap bangkrut terlepas dari dampak Covid-19.

Contoh varian lain adalah Spanyol yang masih menerapkan moratorium sampai 31 Desember 2021, tetapi moratorium hanya berlaku bagi permohonan pailit yang diajukan oleh kreditor, adapun debitor tetap dapat mengajukan permohonan pailit. Adalagi contoh Singapura yang mengundangkan The Covid 19 (Temporary Measures) Act yang secara komprehensif mengatur pemberian keringanan kepada masyarakat dan pelaku usaha dari kewajiban pemenuhan kontrak, yang di dalamnya mengatur pula pembatasan permohonan pailit selama 6 bulan. Kemudian diperpanjang sampai saat ini, tetapi khusus kontrak dan surat utang (bond) terkait konstruksi atau persediaan. Atau ada juga contoh lain yaitu India, yang menerapkan moratorium kepailitan (Corporate Insolvency Resolution Process) hanya terbatas bagi UMKM, inipun sudah berakhir sejak 24 Maret 2021.

Fakta-fakta tersebut, seharusnya dilihat sebagai data yang hidup yang dijadikan pertimbangan Pemerintah karena ternyata pilihan tidak hanya pada melakukan moratorium atau tidak melakukan moratorium. Tetapi banyak negara yang menerapkan cara yang sesuai dengan kondisi perekonomian dan hukum mereka ketika menghadapi krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini.

Moral Hazard Kepailitan dan PKPU

Berikutnya adalah isu moral hazard. Dalam beberapa pemberitaan moral hazard dikaitkan dengan ketiadaan insolvensi test. Ini adalah pemahaman yang tidak tepat, karena Indonesia sejak tahun 1998 dengan diundangkannya Perppu No. 1 Tahun 1998 yang kemudian menjadi UU No. 4 Tahun 1998, terakhir menjadi UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU telah meninggalkan syarat kepailitan yang menggunakan insolvensi test tersebut, dan telah memilih menempatkan syarat insolvensi di belakang tahap kepailitan dan PKPU yaitu Pasal 127 UU No. 37 Tahun 2004, karena tidak ada kepailitan tanpa insolvensi. Sehingga yang dikatakan syarat yang mudah adalah syarat kepailitan bukan syarat insolvensi. Ini yang dikenal dengan syarat concursus creditorium yaitu syarat kepailitan dibuktikan dengan adanya minimum jumlah kreditur. Yang di dalam UU No. 37 Tahun 2004 diperberat dengan syarat utang dari satu kreditur tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Artinya melalui UU No. 37 Tahun 2004 kita telah memilih meninggalkan insolvency test, dan menggunakan syarat kepailitan berupa adanya jumlah minimal kreditur yang salah satu utangnya telah jatuh tempo, dan dapat ditagih. Syarat kepailitan dan PKPU yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 222 UU No. 37 Tahun 2004) disebut dengan presumed to be insolvent, oleh karena itu debitor yang sudah dinyatakan pailit atau PKPU, tetap diberikan hak untuk mengajukan rencana perdamaian. Pada wilayah dan waktu inilah, debitur diuji iktikad baik dan inisiatifnya dalam menyelesaikan utangnya.

Berdasarkan penjelasan di atas maka tidak tepat, jika mengaitkan moral hazard dengan mudahnya syarat kepailitan. Saya pribadi lebih setuju jika moral hazard ditujukan kepada manusianya, bukan aturannya. Karena moral hazard bisa terdapat pada setiap subyek dalam proses kepailitan dan PKPU. Bisa dimiliki oleh pengusaha, bisa juga dimiliki kuasa hukum, bisa juga pada kurator/pengurus, dan bisa juga pada penegak hukum.

Idealnya pemerintah telah memiliki data yang valid di siapa-siapa yang memiliki moral hazard ini, dan jalan keluarnya adalah penegakan hukum. Sehingga tindakan pemerintah fokus pada memerangi pihak-pihak yang melakukan moral hazard. Bukan dengan sederhana menutup saluran upaya hukum yang dimiliki warga negara yang mengalami financial distress dengan melakukan moratorium kepailitan dan PKPU.

Jika Pemerintah Menerapkan Moratorium

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa, moratorium kepailtan dan PKPU itu mengakibatkan tertundanya hak warga negara untuk melakukan upaya hukum, dan juga mendapatkan hak-haknya berupa pembayaran tagihan yang mereka miliki, serta mendapatkan jalan keluar melalui homologasi, jika mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit atau PKPU. Sehingga jika moratorium kepailitan dan PKPU tetap akan diterapkan maka akan ada empat pihak yang terdampak dari ditutupnya saluran tersebut.

Pertama, Kreditor. Kepailitan dan PKPU menjadi salah satu pilihan meskipun bukan pilihan utama bagi kreditor untuk melakukan collecting debt. Tetapi dalam beberapa kondisi tidak dapat dipungkiri bahwa kepailitan dan PKPU adalah cara yang efektif dalam melakukan tagihan. Sehingga jika ditutup saluran untuk menagih melalui kepailitan dan PKPU, Pemerintah harus menjamin bahwa penyaluran kredit oleh pihak kreditur dalam hal ini khususnya perbankan tidak terhambat, bahkan tidak memberikan persyaratan yang lebih berat, mengingat hilangnya saluran penagihan harus dikompensasi dengan jaminan kredit yang lebih kuat dan banyak. Jika ini tidak dijaga pemerintah, bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi akan terganggu.

Kedua, Debitur. Kepailitan dan PKPU tidak selalu menjadi senjata kreditur untuk menagih utang. Dalam banyak kasus sering juga dilakukan oleh debitur untuk menyelesaikan financial distress yang dialami. Dengan ditutupnya saluran untuk mengajukan kepailitan dan PKPU, maka ini memberikan konsekuensi bagi pemerintah untuk memberikan bantuan modal, dan dukungan lainnya agar debitur yang kesulitan keuangan tadi bisa kembali berusaha dan membayar utangnya. Jika tidak ini akan menghasilkan perusahaan-perusahaan zombie.

Ketiga, Pekerja. Kepailitan dan PKPU dalam banyak kasus diajukan oleh pekerja. Yang paling sering kita dengar adalah kepailitan salah satu BUMN yang diajukan oleh pekerjanya. Hal ini menunjukkan bahwa ketika suatu perusahaan sudah tidak mampu lagi membayar hak-hak pekerja, maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan oleh pekerja untuk mendapatkan haknya tanpa ada pemotongan karena sifat tagihannya preferen, adalah melalui kepailitan. Pemerintah harus siap dengan bantuan finansial khusus kepada para pekerja yang terhambat mendapatkan hak-haknya karena diterapkannya moratorium kepailitan dan PKPU.

Keempat, Negara. Sudah menjadi best practices bahwa tagihan negara berupa pajak baik pusat maupun daerah, bea, dan cukai yang sudah tidak dapat ditagih akan terbayarkan ketika wajib pajak, bea dan cukai dalam keadaan pailit. Khusus untuk pajak pemerintah pusat hal ini sudah dipastikan melalui pengaturan Pasal 21 ayat (3) dan (4) UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang menetapkan pajak sebagai tagihan preferen dan melarang pembagian harta pailit wajib pajak sebelum dilunasi utang pajak. Dengan ditutupnya saluran kepailitan dan PKPU maka negara harus siap bahwa tagihan-tagihan negara juga dapat tertunda pembayarannya selama masa moratorium. Apalagi di saat Presiden Jokowi telah menyatakan beban fiskal negara sedang sangat berat.

Penutup

Rencana moratorium kepailitan dan PKPU telah menimbulkan respon dari berbagai pihak. Tidak sedikit pihak yang menolak, tapi ada juga pihak yang mendukung. Saya menyarankan kepada pemerintah untuk tepat, dan teliti dalam menerima masukan dan dukungan, karena bisa saja mereka itu adalah pihak yang tidak kredibel, dan tidak pernah tercatat dalam sejarah memiliki pengetahuan atau pengalaman praktik kepailitan dan PKPU, mengingat kepailitan dan PKPU bukan bidang yang sederhana dan multi aspek. Bidang ini memerlukan penggabungan keilmuan dan praktik, serta jam terbang. Selain itu penting juga pemerintah melihat fakta-fakta, baik di dalam, dan di luar negeri dengan utuh. Sehingga bisa memutuskan dengan tepat masalah moratorium kepailitan dan PKPU ini.

Jika pemerintah, tetap memutuskan untuk menerapkan moratorium kepailitan dan PKPU, maka pertimbangkanlah jangka waktu atau lamanya penerapan yang terbaik, kemudian perhatikan kepentingan pihak-pihak yang terdampak moratorium seperti yang telah dipaparkan di atas, dan siapkan strategi untuk menghadapi efek yang dapat timbul dari penerapan moratorium tersebut. Sekali lagi ini untuk Indonesia.

*)Teddy Anggoro, Pengajar Hukum Kepailitan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ketua Pokja Penyusunan Naskah Akademik Amandemen UU No. 37 Tahun 2004, Anggota Panita Antar Kementerian Penyusunan RUU Amandemen UU No. 37 Tahun 2004.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait