Pidana Mati: Mengapa Tidak?
Kolom

Pidana Mati: Mengapa Tidak?

Kondisi sosial kemasyarakatan dan penegakan hukum di negara ini sudah begitu memprihatinkan. Perasaan aman (baca: bebas dari rasa takut), yang merupakan salah satu bentuk kebebasan yang seharusnya diperoleh setiap jiwa manusia, sudah demikian sulit untuk didapatkan.

Bacaan 2 Menit

Memang banyak dari anggota tim penyusun RUU KUHP itu yang bergelar doktor bahkan profesor. Namun bukan berarti apa yang disimpulkan oleh mereka, yang kemudian dituangkan dalam bentuk RUU KUHP, benar seluruhnya. Cobalah kita berkaca pada banyak kejadian di lapangan.

Berapa banyak seorang maling kelas 'teri' yang harus mati di tangan massa. Sementara koruptor kelas kakap dan pelaku pembantaian manusia di negeri ini bisa lolos dari jeratan hukum. Bagaimana dengan pelaku pembunuhan yang kemudian memotong-motong korban dengan puluhan potongan?. Bagaimana pula dengan pembunuhan massal seperti di Poso. Lalu, di manakah keseimbangan itu?

Kalau kita kaji RUU KUHP baru, ternyata upaya pembunuhan (belum tentu terbunuh) terhadap Presiden atau Wakil Presiden Republik Indonesia, dan kepala negara atau duta besar negara sahabat saja sudah dapat dijatuhi pidana mati. Bagaimana dengan Warga Negara Indonesia biasa yang benar-benar terbunuh atau terbantai seperti halnya di Ambon, Timor-Timur, Poso dan sebagainya.  Apakah nyawa mereka tidak sebanding dengan nyawa para pemimpin negara? Lalu di mana prinsip equality before the law harus diletakkan?

Tentu terhadap para pelaku pelanggaran HAM yang berat itu kita tidak ingin menghukumnya hanya dengan pidana denda seperti yang dijatuhi pengadilan negara Amerika Serikat atas penjahat perang di Bosnia Herzegovina, Radovan Karadzic, yang hanya dipidana denda AS $745 juta. Denda AS $265 juta sebagai kompensasi atas kerusakan yang ditimbulkan dan AS$480 juta sebagai uang pengampunan.

Penegakan di lapangan

Maka, sudah sewajarnya apabila masyarakat Indonesia yang selama ini mengalami perkosaan, pembunuhan, dan pelanggaran HAM yang berat lainnya menuntut diberlakukannya pidana mati bagi mereka para pelaku tindakan biadab itu.

Satu hal yang tidak boleh pula luput dari pandangan kita adalah,  pidana mati telah diatur (Indonesia masih mengaturnya) dalam produk hukum. Namun, produk hukum tersebut sama sekali tidak akan berfungsi sebagai penekan angka perkosaan, pembunuhan dan pelanggaran HAM yang berat lainnya, apabila hanya menjadi produk hukum semata. Terlebih lagi tertutup kemungkinan pidana mati dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana itu dalam RUU KUHP baru.

Penegakan pidana mati di lapangan harus terus diupayakan, seraya melakukan pendidikan berkesinambungan membentuk watak dari setiap pribadi untuk selalu memperhatikan hak asasi setiap manusia dan makhluk lainnya. Masih segar dalam ingatan kita tatkala lembaga pemasyarakatan ternyata menjadi sarang penjualan narkotika.

Artinya, ancaman terberat seperti pidana mati terhadap para pelaku perkosaan, pembunuhan, dan pelanggaran HAM berat lainnya, termasuk perdagangan narkotika harus diterapkan. Jangan sampai terjadi penjara seolah-olah menjadi sekolah bagi narapidana junior untuk belajar dari narapidana senior untuk kemudian melakukan kejahatan yang lebih besar lagi. Kiranya kita tidak ingin terperosok ke lubang kesalahan yang sama untuk beberapa kali. 

         

Tags: